1-1-1 Cobaannya bersama Para Khalifah Bani Umayyah (Bagian 1) – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 001 Sa‘id bin al-Musayyab - Kisah Para Tabi'in

Cobaannya bersama Para Khalifah Bani Umayyah

Syaikh Sa‘īd bin al-Musayyab memiliki seorang putri yang paling baik dan paling berpendidikan di antara para wanita yang lainnya, paling memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasūl-Nya, serta paling mengerti tentang hak suami. Lalu Khalīfah ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān memintanya untuk menikahkan putrinya dengan putranya, al-Walīd bin ‘Abd-ul-Mālik, namun Sa‘īd menolak untuk menikahkan al-Walīd dengan putrinya.

Tampaklah bahwa masalah pribadi ini telah menimbulkan hubungan yang tidak baik antar dua orang laki-laki, seorang khalifah dan seorang ahli fikih, Sa‘īd bin al-Musayyab; karena tidak lama setelah itu seorang laki-laki yang bernama Katsīr bin Abī Wadā‘ah datang dan meminta untuk dinikahkan dengan putri Sa‘īd bin al-Musayyab, lalu Sa‘īd langsung menyetujuinya dan menikahkannya dengan putrinya dengan mahar dua dirham, lalu dia memberikan lima ribu dirham kepada laki-laki tersebut seraya berkata: “Belanjakanlah ini.” Maksudnya, ambillah uang ini dan belanjakanlah untuk dirimu dan istrimu.

Pada sore harinya, Sa‘īd bin al-Musayyab berkata: “Siapkanlah pakaianmu dan kumpulkanlah semua kebutuhanmu, kemudian ikutilah aku.” Maka putrinya pun mempersiapkan pakaiannya. Lalu Sa‘īd berkata lagi kepadanya: “Shalatlah dua raka‘at.” Maka putrinya shalat, kemudian dia juga shalat dua raka‘at. Setelah dia dan putrinya selesai melaksanakan shalat, dia mengirimkan utusan kepada Katsīr bin Abī Wadā‘ah, lalu Katsīr pun langsung datang, kemudian Sa‘īd meletakkan tangan putrinya pada tangan Katsīr seraya berkata: “Bawalah dia pergi.”

Katsīr pun pergi bersama istrinya menuju ke rumahnya. Lalu ketika ibunya melihatnya, dia bertanya: “Siapakah wanita ini?”

Katsīr menjawab: “Ini istriku, putri dari Sa‘īd bin al-Musayyab, dia telah memberikannya kepadaku.”

Lalu ibunya memandang kepada istri putranya itu, dan dia mendapatinya seperti wanita biasa yang tidak mengenakan perhiasan pengantin yang merupakan hadiah perkawinan dari pengantin laki-laki untuknya. Kemudian dia berkata dengan semangat seorang ibu kepada putranya pada malam pengantinnya: “Sesungguhnya, aku tidak akan menemuimu jika engkau mendatanginya, sampai aku memperlakukannya sebagaimana layaknya perlakuan terhadap wanita-wanita Quraisy.” Maka Katsīr pun meninggalkan istrinya bersama ibunya, lalu ibunya meriasnya kemudian Katsīr pun melaksanakan malam pengantinnya. (71)

Kami telah menyebutkan bahwa terjadinya hubungan yang tidak baik antara ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān dan ahli fikih Madinah, Sa‘īd bin al-Musayyab, disebabkan oleh kisah pernikahan putrinya. Akan tetapi, apabila kita kembali lagi kepada sebab-sebab penolakan Sa‘īd bin al-Musayyab untuk menjadikan al-Walīd sebagai suami bagi putrinya, maka kita akan mendapatkan bahwa Sa‘īd banyak merasa tidak senang terhadap metode Bani Umayyah dalam pemerintahan. Banyak sekali periwayatan yang menunjukkan pada hal tersebut, bahkan banyak pula penduduk Madinah yang memiliki hubungan tidak baik dengan khalifah di Damaskus; di mana kekhalifahan mereka berdiri, tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat menyembunyikannya.

Pernah suatu ketika ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān datang ke Madīnah, namun orang-orang yang istirahat siang dan penduduk Madīnah tidak menemuinya, serta tidak ada satu ulama pun yang duduk bersamanya; lalu dia bangkit seraya berkata kepada pengawalnya: “Lihatlah, apakah di masjid ada seseorang dari kumpulan orang-orang kita dari kalangan penduduk Madinah?”

Maka pengawalnya itu keluar, dan ternyata Sa‘īd bin al-Musayyab sedang mengadakan halaqah di masjid, dia meneruskan pelajarannya bersama murid-muridnya. Maka pengawal itu mendekat sampai Sa‘īd bin al-Musayyab dapat melihatnya, lalu dia memberikan isyarat dengan mata dan telunjuknya, kemudian dia pergi. Namun Sa‘īd bin al-Musayyab tidak beranjak dan tidak pula mengikutinya. Maka pengawal itu mengira bahwa Sa‘īd bin al-Musayyab lupa atau tidak memperhatikan isyaratnya.

Lalu dia datang lagi dan mendekat kepadanya, kemudian dia memberikan isyarat dengan mata dan tangannya seraya berkata: “Tidakkah engkau melihatku memberikan isyarat kepadamu?”

Syaikh itu pun berkata: “Apa keperluanmu?”

Pengawal menjawab: “Amīr-ul-Mu’minīn telah bangun dari tidur siangnya, lalu dia berkata: “Lihatlah, apakah di masjid ada seseorang dari kumpulan orang-orangku.” Maka penuhilah panggilan Amīr-ul-Mu’minīn.”

Syaikh itu pun berkata: “Apakah dia mengutusmu kepadaku?”

Pengawal menjawab: “Tidak, akan tetapi dia berkata: “Lihatlah apakah di masjid ada seseorang dari kumpulan orang-orang kita dari kalangan penduduk Madinah?” Dan menurutku tidak ada yang lebih siap (untuk bertemu dengannya) daripada engkau.”

Maka Syaikh Sa‘īd bin al-Musayyab pun berkata: “Pergilah dan beritahukan kepadanya bahwa aku bukanlah kumpulan orang-orangnya.”

Pengawal itu pun keluar sambil berkata: “Aku tidak melihat syaikh ini kecuali sebagai orang gila.” Kemudian dia datang kepada ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān dan berkata kepadanya: “Aku tidak mendapatkan siapa pun di dalam masjid selain seorang syaikh yang telah aku beri isyarat kepadanya namun dia tidak berdiri. Lalu aku berkata kepadanya bahwa Amīr-ul-Mu’minīn berkata: “Lihatlah, apakah di masjid ada seseorang dari kumpulan orang-orangku? Maka syaikh itu berkata kepadaku: “Aku bukanlah bagian dari kumpulan orang-orangnya Amīr-ul-Mu’minīn.” Dia juga berkata kepadaku: “Sampaikanlah ini kepada Amīr-ul-Mu’minīn.”

‘Abd-ul-Mālik bin Marwān pun memandang kepada pengawalnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata: “Itu adalah kelakuan Sa‘īd bin al-Musayyab.” (82).

Kemudian hubungan yang tidak baik itu mencapai puncaknya ketika ‘Abd-ul-Mālik keluar dari rumahnya dalam keadaan marah ketika utusannya kembali lagi kepada Sa‘īd seraya mengulangi perimintaannya: “Penuhinya panggilan Amīr-ul-Mu’minīn.” Lalu Sa‘īd menjawab: “Sepertinya engkau salah dengan namaku, atau, sepertinya dia mengutusmu kepada orang lain.”

Maka pengawal pun kembali dan memberitahukan hal tersebut kepada Amīr-ul-Mu’minīn. Maka dia pun marah dan berniat menghukumnya, sehingga orang-orang pun banyak yang mendatangi ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān seraya berkata kepadanya: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, dia adalah ahli fikih di Madinah, seorang Syaikh dari kaum Quraisy, teman ayahmu, dan tidak ada seorang raja pun sebelum engkau yang berniat menghukumnya.” Mereka terus saja mengatakan hal tersebut kepadanya sampai dia meninggalkannya bersama urusannya.

Kemudian perkara itu mencapai puncaknya ketika wafatnya ‘Abd-ul-‘Azīz bin Marwān, saudara sekandung dari Amīr-ul-Mu’minīn, di Mesir pada bulan Jumādi Ūlā tahun delapan puluh empat Hijriyyah. Padahal dia telah dibai‘at untuk menjadi khalifah setelah ‘Abd-ul-Mālik. Ketika itu, ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān mengadakan perjanjian untuk kedua putranya, al-Walīd dan Sulaimān, untuk pemerintahan pada masanya (menggantikan ‘Abd-ul-‘Azīz bin Marwān). Lalu ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān mengirimkan surat ke seluruh negeri yang berada di bawah kekuasaan Amīr-ul-Mu’minīn untuk berbai‘at kepada kedua putranya itu.

Pada saat itu, yang menjadi gubernur Madīnah adalah Hisyām bin Ismā‘īl al-Makhzūmī, dia merupakan salah seorang putra dari paman-paman Sa‘īd bin al-Musayyab ahli fikih Madīnah, karena dia adalah orang Quraisy dari Bani Makhzūm, sama sepertinya. Maka Hisyām pun menyeru orang-orang untuk berbai‘at kepada keduanya, dan orang-orang pun berbai‘at. Lalu dia mendatangi Sa‘īd bin al-Musayyab dan mengajaknya untuk berbai‘at, namun Sa‘īd menolak seraya berkata: “Tangguhkanlah aku sampai aku mempertimbangkan bai‘atku kepada mereka.”

Maka Hisyām pun marah dan tidak memberikan penangguhan kepadanya, lalu dia berkata: “Berikan aku cambuk.” Mereka pun memberinya cambuk, dan dia memukuli Syaikh Sa‘īd bin al-Musayyab sebanyak enam puluh kali cambukan, dia juga membawanya mengelilingi Madinah sebentar. Setiap kali mereka memintanya berbai‘at, dia berkata: Aku tidak akan berbai‘at selama ‘Abd-ul-Mālik masih hidup.” Karena dia tidak suka dengan pergantian khalifah secara turun-temurun tanpa permusyawarahan. Kemudian Hisyām masih terus memukulinya dengan pukulan yang sangat kuat, dan memakaikannya baju yang terbuat dari bulu yang kasar, lalu mengirimkannya ke suatu tempat di Madinah yang bernama “ats-Tsaniyyah” yaitu tempat disalib dan dibunuhnya para pembangkang. Ketika mereka telah sampai ke sana, mereka kembali lagi membawanya pergi.

Lalu Sa‘īd bin al-Musayyab pun bertanya: “Ke mana lagi kalian akan membawaku?”

Mereka menjawab: “Ke penjara.”

Sa‘īd bin al-Musayyab pun berkata: “Demi Allah, sekiranya aku tidak menyangka bahwa itu adalah pensaliban atau pembunuhan, niscaya aku tidak akan pernah memakai celana pendek ini selamanya.” Lalu mereka mengembalikannya ke penjara dan terlaksanalah pemenjaraannya. Sementara itu Hisyām mengirimkan surat kepada ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān untuk memberitahukan kepadanya tentang apa yang terjadi pada Sa‘īd bin al-Musayyab.

Catatan:


  1. 7). Riwayat ini diceritakan dengan berbagai peristiwanya sebagaimana yang tercantum di dalam kitab: Al-Bidāyatu wan-Nihāyah, Ibnu Katsīr: V/106, Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/138, Al-‘Aqd-ul-Farīd, Ibnu ‘Abdi Rabbih: III/115. 
  2. 8). Selengkapnya silakan lihat: Thabaqātu Ibni Sa‘ad dan Tārīkh Ibni Katsīr

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *