Air yang Dapat Berubah Menjadi Najis dan yang Tidak.
(Bagian 1 dari 2)
Imām Syāfi‘ī berkata: Air terbagi atas dua macam; yang mengalir dan yang tergenang.
a. Air mengalir.
Apabila di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan; seperti bangkai, darah, atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka air yang tergenang itu menjadi najis bila kadar air lebih sedikit dari jumlah bangkai, yaitu kurang lebih lima geriba (111) Akan tetapi bila airnya lebih dari lima geriba, maka ia tidak dikategorikan najis, kecuali apabila rasa, warna dan baunya telah berubah karena najis, sebab air yang mengalir akan menghanyutkan semua kotoran.
Apabila bangkai atau kotoran hanyut dalam aliran air, maka boleh bagi seseorang bersuci pada bagian air yang datang sesudahnya, sebab air yang mengikuti bangkai tersebut tidak dianggap air yang ditempati bangkai itu dikarenakan tidak dicampuri oleh najis. Apabila kadar air yang mengalir itu sedikit dan di dalamnya terdapat bangkai, lalu seseorang berwudhu’ dengan air di sekitarnya, maka hal itu tidak diperbolehkan jika air yang berada di sekitar bangkai itu kurang dari lima geriba. Namun boleh baginya bersuci dengan air yang berikutnya:
Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila air yang mengalir – baik kadarnya sedikit maupun banyak – itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air di mana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.
b. Air tergenang.
Air tergenang terdiri dari dua macam:
Pertama, air yang tidak najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali apabila warna, bau dan rasanya telah berubah. Apabila sesuatu yang haram terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan; baik warna, bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik sedikit maupun banyak.
Kedua, air yang najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang haram itu tidak terdapat padanya. Apabila seseorang bertanya: “Apa alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis, padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya? Maka jawabnya adalah, hujjah dalam hal ini adalah Sunnah (hadits). Telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, dari bapaknya, bahwa Nabi bersabda:
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يْحْمِلْ نَجَسًا.
“Apabila air ada dua qullah, maka ia tidak membawa najis.” (122)
Imām Syāfi‘ī berkata: Apabilla kadar air berukuran lima geriba, maka air (yang mengalir) itu tidak mengandung najis. Akan tetapi jika air kurang dari lima geriba dan bercampur dengan bangkai, maka air itu dikategorikan sebagai air yang najis. Bejananya pun najis walaupun isinya telah dituang, namun dapat suci kembali bila dicuci.
Namun apabila air yang kurang dari lima geriba itu bercampur dengan najis dan keadaan air itu menjadi berubah, maka hukumnya adalah najis. Akan tetapi jika dituangkan air lain hingga menjadi lima geriba atau lebih, maka air tersebut dianggap sebagai air yang suci. Demikian pula apabila air yang bercampur najis itu dituangkan ke air lain yang lebih sedikit darinya atau lebih banyak, dan setelah dicampur keduanya mencapai kadar lima geriba atau lebih, maka salah satu dari keduanya tidak merubah yang lainnya menjadi najis. Apabila keduanya telah mencapai lima geriba, maka keduanya adalah suci. Lalu bila dipisahkan kembali, keduanya tidak dihukum najis setelah keduanya dalam keadaan suci, kecuali bila ada najis lain yang mencampurinya.
Imām Syāfi‘ī berkata: Kotoran burung – baik dagingnya dimakan atau tidak – apabila berbaur dengan air, maka air itu menjadi najis, karena kotoran itu menjadi basah akibat berbaur dengan air. Adapun keringat orang Nasrani, orang Majusi, orang junub dan wanita haid tidak najis. Begitu juga keringat setiap binatang ternak dan binatang buas tidak najis, kecuali anjing dan babi.
Imām Syāfi‘ī berkata: Demikian juga dengan keringat manusia apabila bercampur dengan air, maka ia tidak najis, karena keringat seluruh manusia dan binatang ternak tidak najis dari tempat mana pun keringat itu keluar, baik dari ketiak manusia atau yang lainnya.
Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila bejana tanah atau sumur yang dibangun (dibeton) terkena najis yang di dalamnya terdapat sedikit air, padahal dapat menampung banyak air, kemudian terdapat pula benda haram yang bercampur dengan air itu, lalu dituangkan ke dalamnya air lain sehingga benda haram itu menjadi tidak ada, namun kadar air masih sedikit, maka air itu dianggap najis. Lalu apabila dituangkan lagi padanya air lain sebanyak air tadi, dan tidak ada lagi padanya benda yang haram, maka air itu menjadi suci. Bejana tanah dan sumur yang berisi air itu menjadi suci, keduanya dihukumi najis karena airnya.
Apabila air telah menjadi suci, maka sesuatu yang disentuh oleh air itu juga dihukumi suci. Bejana itu tidak merubah hukum air; sebagaimana air tidak merubah hukum bejana, hanya saja bejana mengikuti hukum air; ia suci dengan sucinya air dan dianggap najis karena airnya najis.
Apabila air sedikit yang berada dalam suatu bejana bercampur dengan najis, maka cukup dengan membuang airnya dan mencucinya. Kecuali apabila anjing dan babi meminum dari bejana itu, maka cara menyucikannya dengan mencucinya sampai tujuh kali di mana pada cucian yang pertama atau yang terakhir menggunakan tanah, karena ia tidak suci selain dengan cara seperti itu.
Catatan: