1-1-1 Air Mutlak – Sabil-ul-Muhtadin

Kitab Sabil-ul-Muhtadin
Oleh: Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari

Disalin oleh: Drs. H.M. ASYWADIE SYUKUR Lc.
Penerbit: Pt. Bina ilmu

Rangkaian Pos: 1-1 Air Mutlak - Sabil-ul-Muhtadin

PASAL 1

AIR MUTLAK

(Bagian 1 dari 2)

 

Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadats dan menghilangkan najis dan yang semakna dengan mengangkat hadats dan menghilangkan najis melainkan dengan air mutlak. Yakni dengan air murni ialah zat cair yang dinamakan air yang tidak bercampur seperti air hujan, air embun, air laut, air sungai, air telaga, air sumur sekalipun air tadi berubah warnanya umpamanya merah atau hitam. Artinya ia masih dinamakan air mutlak sekalipun air tadi berubah warna dengan warna yang disebutkan tadi, karena segala perubahan warna hanya sementara karena itu, ia masih dapat dikatakan air yang tidak berubah, ini hanya dikenal oleh orang yang tahu tentang keadaan air itu. Demikian juga air yang keluar dari jari-jari Rasulullah s.a.w. yang lebih baik dari air biasa, juga uap air [yang suci lagi mensucikan yang direbus. Dan air yang keluar dari perut ulat air (gangga/plankton)] karena ulat air [gangga/plankton setara dengan tumbuhan, maka air yang keluar darinya disebut zulal (embun)] bukan termasuk binatang, sekalipun serupa dengan binatang, demikianlah yang diterangkan dalam kitab “Fatḥ-ul-Jawād”. Dan juga air yang menjadi beku seperti garam, air banyak yang berubah disebabkan oleh sesuatu yang tidak merusaknya seperti tercampur dengan lumpur, kembang, atau berdampingan [bercampur] dengan sesuatu yang suci, maka semua itu dinamakan air mutlak.

Ketahuilah tidak sah berwudhu’ yang fardhu, mandi wajib, mandi sunat, menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah dalam bertayammum, tanah dalam menghilangkan najis mughalazhah melainkan dengan air yang dicampur dengan tanah, dan juga seperti batu dalam beristinja’, semua obat yang dipergunakan untuk menyamak kulit bangkai, cahaya matahari, angin dan api. Juga tidak boleh dengan air yang bukan mutlak yaitu sesuatu zat yang tidak dinamakan air, yang bercampur sehingga tidak dinamakan air oleh orang yang tahu tentang keadaan air. Melainkan yang tercantum baik dengan cara idhāfah (disandarkan) seperti air mawar, air kelapa, air tebu atau menjadi sifat seperti yang terpencar dari alat kelamin yakni air mani, air musta‘mal (air yang sudah terpakai) air mutanajis (air yang menjadi najis) atau ditambah dengan huruf alif dan lain seperti kata al-mā’ dalam sabda Nabi s.a.w.:

نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ.

Artinya: “Ya (Wajib atasnya mandi) apabila ia melihat air (air mani).

(HR. Bukhārī, dan Muslim dari Ummu Salamah).

Dari uraian di atas, jelaslah air musta‘mal yang sedikit tidak termasuk air mutlak, seperti diakui oleh Imām Nawawī dalam penelitiannya dan pendapat itu disetujui pula oleh Ibnu Ḥajar dalam kitabnya yang bernama “Tuḥfah” dan Syaikh Ramlī di dalam kitabnya “Nihāyah”. Demikian pula air yang sedikit yang kena najis, tidak termasuk air mutlak seperti yang telah disetujui oleh kedua (ulama) di atas, karena orang yang tahu tentang keadaan air yang musta‘mal dan air mutanājis, tidak menamakannya air, melainkan dinamakan air musta‘mal dan mutanājis.

Adapun dalil al-Qur’ān yang menerangkan bahwa air adalah alat dalam mengangkat hadats dan menyuruh mempergunakan tanah di kala tidak ditemukan air dalam firman-Nya yang berbunyi:

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا…..

Artinya: “……lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah….” (al-Mā’idah: 6).

Maka jika kiranya hadats dapat diangkat dengan yang lain dari air niscaya tidak diwajibkan bertanyammum. Dan dalil menghilangkan najis dengan air karena Rasūlullāh menyuruh membasuh air kencing Zil-Khuwaisarah at-Tamīmī di kala kencing dalam masjid beliau bersabda:

صَبُّوْا عَلَيْهِ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ.

Artinya: “Tumpahkan di atas air kencing itu satu timba air.

Wajib membasuh air kencing dengan air sesuai dengan perintah Nabi s.a.w., maka jika yang lain dari air dapat dipergunakan menghilangkan najis tentu tidak wajib membasuh air kencing dengan air.

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab diperintahkan mengangkat hadats dan menghilangkan najis dengan mempergunakan air tidak boleh dengan yang lain. Imām Ḥarāmain mengatakan yang demikian itu adalah [amrun ta‘abbudiy, yaitu perkara yang tiada terakal maknanya]. Dan Ulama yang lainnya mengatakan yang demikian itu [ta’qul il- ma’na] yaitu, sesuatu yang dapat dipikirkan maksudnya. Karena air adalah jirim (molekul) yang halus yang tidak terdapat pada benda yang lain. Karena halusnya dapat dipergunakan untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis maka benda yang lain tidak dapat dikiaskan dengan air. Tentang kedua pendapat di atas, Syaikh Ramlī dalam kitabnya yang bernama “Nihāyah”, tidak memperkuat salah satu dari dua pendapat di atas. Namun oleh Ibnu Ḥajar dalam kitabnya yang bernama “Syaraḥ Libāb” memperkuat pendapat kedua.

Ḥadats menurut bahasa dapat diartikan:

الشَّيْءُ الْحَادِثُ

Artinya: “Sesuatu yang baru.”

Dan kata ḥadats menurut syara‘ ada mempunyai tiga arti yang akan diterangkan dalam Bāb-ul-Ḥadats, yang di antaranya:

أَنَّهُ أَمْرٌ اعْتِبَارِيٌّ يَقُوْمُ بِالْأَعْضَاءِ يَمْنَعُ صِحَّةَ نَحْوِ الصَّلَاةِ حَيْثُ لَا مُرَخَّصٌ.

Artinya: “Ḥadats itu suatu yang dianggap ada oleh syara‘, yang adanya di anggota badan, lagi mencegah akan sahnya umpamanya shalat yang sekiranya tidak ada yang meringankannya.”

Hadats yang dimaksudkan di sini tidak terangkat melainkan dengan air, baik hadats ashghar yaitu yang lebih kecil seperti membatalkan wudhu’ dan tempatnya pada seluruh anggota wudhu’. Atau hadats mutawāsith yaitu hadats pertengahan yang mewajibkan mandi seperti karena bersenggama dan keluar mani. Atau hadats akbar yaitu hadats besar yang mewajibkan mandi seperti haid dan nifas (melahirkan). Dan tempat hadats mutawāsith dan hadats akbar itu pada seluruh tubuh.

‘Ali Syibramilsi berkata: Dinamakan yang membatalkan wudhu’ itu hadats ashghar, karena sedikit hal-hal yang diharamkan kalau dibandingkan dengan yang diharamkan dalam janabat dan haid. Dinamai hadats yang disebabkan haid itu hadats akbar karena banyak hal-hal yang diharamkan kalau dibandingkan dengan yang lainnya. Dan dinamai hadats yang disebabkan janabat itu hadats mutawāsith karena hal-hal yang diharamkan lebih banyak kalau dibandingkan dengan yang diharamkan dalam hadats ashghar. Dan kurang dari yang diharamkan dalam haid seperti membaca al-Qur’ān dan tinggal dalam masjid, diharamkan karena hadats mutawāsith dan kedua perbuatan itu tidak diharamkan bagi orang yang berhadats ashghar. Hadats akbar seperti haid dan nifas diharamkan terhadap apa yang diharamkan dalam hadats asghar dan hadats mutawāsith, ditambah lagi yang diharamkan seperti puasa dan talak dan yang serupa itu yang akan diterangkan nanti.

Najis menurut bahasa yaitu kotor dan menurut istilah syara‘ ialah:

مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ صِحَّةَ نَحْوِ الصَّلَاةِ حَيْثُ لَا مُرَخَّصَ.

Artinya: “Kotoran yang mencegah sah seperti shalat sekira tidak ada yang dapat meringankannya.”

Dan inilah sebagian dari definisi najis dan yang lainnya akan dibicarakan kemudian.

Air mutlak itu mempunyai tiga sifat: (1) tha‘mun (rasa) (2) launun (warna) dan (3) rīḥun (bau). Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, yakni rasa, warna atau bau. Air mutlak itu terkadang berubah rasanya atau warnanya atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk ke dalam air itu kadang-kadang mukhālith dan kadang-kadang mujāwir. Arti mukhālith ialah bercampur dan air mujāwir ialah berhampiran dengan benda lain, dan inilah menurut arti bahasa.

Adapun menurut istilah, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan:

الْمُخَالِطُ مَا لَا يُمْكِنُ فَصْلُهُ عَنِ الْمَاءِ.

Artinya: “Al-Mukhālith itu apa yang tidak dapat diceraikan dari air.”

Dan sebagian lagi mengatakan:

الْمُخَالِطُ مَا لَا يُمَيِّزُ فِيْ رَأْسِ الْعَيْنِ.

Artinya: “Al-Mukhālith itu barang yang tidak dapat dibedakan dari air menurut pandangan mata.

Dan sebagian lagi mengatakan apa yang dinamakan mukhālith dan mujāwir itu menurut ‘uruf (adat) seperti yang disebutkan dalam kitab “Tuḥfah” dan “Nihāyah”.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *