مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:
الْإِيْمَانُ بِصِفَةِ الطَّهَارَةِ أَمْ لَا؟
فَالْجَوَابُ: الْإِيْمَانَ بِصِفَةِ الطَّهَارَةِ وَ الْكُفْرُ بِصِفَةِ الْحَدَثِ وَ يَنْتَقِضُ بِهِ جَمِيْعَ الْجَوَارِحِ.
S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Īmān itu bersifat suci (thahārah) atau tidak?”.”
J: “Īmān itu bersifat suci dan kekufuran itu sesuatu yang bersifat najis dan menyebabkan semua anggota badan rusak.”
Īmān itu bersifat thahārah, dengan iman semua ‘amal perbuatan menjadi sah, sedang kekufuran itu merupakan hadats dan najis bathin. Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. at-Taubah: 28).
Orang-orang musyrik itu dihukum najis dalam keyakinannya (najis bathinnya), bukan najis fisiknya, sebab kekufuran, semua ‘amal perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan batal, tidak diterima. Tetapi kalau ia masuk Islam, maka ia akan mendapatkan pahala karena ketaatan yang dilakukan. Ketaatan yang tidak memerlukan niat seperti sedekah, menyambung hubungan keluarga, memerdekakan budak. Ketaatannya dihukumi sah sejak ia masuk Islam. Sebagaimana yang dikutip Syaikh Wana’ī dari an-Nawawī berdasarkan firman Allah ta‘ālā:
وَ مَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَ هُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ. (الْمائدة: 5).
“Barang siapa yang kāfir sesudah ia berīmān, maka benar-benar hapus ‘amal (baik)nya dan di akhirat nanti tergolong orang-orang yang rugi.” (QS. al-Mā’idah: 5).
Tafsir ayat di atas ialah orang yang keluar dari īmān (murtad), maka ‘amal perbuatannya yang baik yang pernah ia lakukan menjadi rusak dan hapus, tidak diakui dan tidak diberi pahala, sekalipun ia masuk Islam kembali dan di akhirat nanti termasuk golongan orang-orang yang rugi, jika sampai mati tetap dalam keadaan kafir.
Kāfir yang dimaksud adalah kafir I‘tiqādī, yakni ingkar terhadap kalimat tauhid, yaitu Lā ilāha ilallāh (tidak ada tuhan selain Allah).
Jika ia masuk Islam sebelum mati, maka pahala ‘amalnya yang rusak bukan ‘amalnya. Jadi tidak wajib mengulangi haji yang sudah dilakukan. Begitu pula shalat yang telah dilakukan sebelum murtad.
مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:
الْإِيْمَانُ مَخْلُوْقٌ أَمْ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ؟
فَالْجَوَابُ: الْإِيْمَانُ هِدَايَةٌ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَ التَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ (ص) مِنْ عِنْدِ اللهِ تَعَالَى وَ الْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَ الْهِدَايَةُ صُنْعُ الرَّبِّ وَ هُوَ قَدِيْمٌ وَ التَّصْدِيْقُ وَ الإِقْرَارُ فِعْلُ الْعَبْدِ وَ هُوَ مُحْدَثٌ وَ كُلُّ مَا جَاءَ مِنَ الْقَدِيْمِ يَكُوْنُ قَدِيْمًا وَ كُلُّ مَا جَاءَ مِنَ الْمُحْدَثِ يَكُوْنُ مُحْدَثًا.
S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Apakah Īmān itu makhluk atau bukan?”.”
J: “Īmān adalah hidāyah dari Allah s.w.t. dan mempercayai (tashdīq) dalam hati terhadap apa saja yang dibawa oleh Nabi Muḥammad s.a.w. itu dari sisi Allah s.w.t. dan menyatakan dengan lisan. Hidāyah ialah perbuatan Allah dan perbuatan Allah itu mesti Qadīm sedangkan mempercayai dalam hati dan menyatakan dengan lisan adalah perbuatan hamba yang tentu saja adalah ḥadīts (makhluk), jadi setiap yang datang dari yang qadīm itu dihukumi qadīm sedangkan yang datang dari makhluk itu dihukumi makhluk baru.”
Īmān adalah hidāyah Allah s.w.t., pembenaran dengan hati terhadap apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dari Allah dan menyatakan dengan lisan dengan mengucapkan kalimat tauhid:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muḥammad adalah utusan Allah.”
Hidāyah adalah perbuatan Allah dan tentu saja bersifat Qadīm, sedangkan pembenaran dalam hati dan pernyataan dalam lisan, keduanya perbuatan hamba yang tentu saja baru, setiap yang bersandar pada yang Maha Qadīm meski dihukumi Qadīm pula dan sama sekali bukan makhluk, sedangkan apa saja yang berasal dari makhluk mesti baru (makhluk juga).
Syaikh Abū Ma‘īn an-Nasafī mengatakan: “Tidak dapat dikatakan kalau īmān dari seorang hamba itu adalah ikrar dengan lisan dan membenarkan dengan hati serta timbul petunjuk dan pertolongan dari Allah.”
Ada sebagian ‘ulamā’ berkata: “Īmān itu tidak boleh dijadikan nama untuk hidāyah dan taufīq, sekalipun īmān itu tidak mungkin ada tanpa keduanya, mengingat hamba itu diperintah berīmān dan perintah itu tentu saja dalam hal-hal yang berada dalam kemampuan hamba, jika demikian, maka īmān adalah makhluk.”
Syaikh al-Bajūrī berkata: “Yang benar itu adalah makhluk. Karena itu membenarkan dengan hati, atau membenarkan yang disertai dengan pernyataan lisan. Keduanya adalah makhluk. Kalau ada yang mengatakan qadīm dengan memandang hidāyah Allah adalah keluar dari hakikat īmān. Dan hidāyah itu juga baru. Tetapi jika kita memandang adanya īmān itu karena qadhā’ sejak azali, maka bisa benar kalau dikatakan bahwa Īmān itu qadīm.
Imām Muḥammad al-Khalīlī yang telah mengutip dan Imām ar-Ramlī menegaskan: Īmān menurut ‘ulamā’ ahli taḥqīq adalah kepercayaan hati terhadap hal-hal yang secara pasti disampaikan oleh Rasūlullāh s.a.w. dari Allah s.w.t. adapun mengenai pernyataan (ikrar) dengan lisan hanyalah sebagai syarat pemberlakuan hukum-hukum di dunia. Dikatakan juga: Īmān adalah ikrar (pernyataan dengan lisan) dan tashdīq (membenarkan dalam hati). Adalagi yang mengatakan: Īmān adalah ikrar dan tindakan. Berdasarkan dua pendapat ini maka īmān adalah makhluk, karena ia merupakan perbuatan hamba. Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ. (الصافات: 96).
“Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS. ash-Shāffāt: 96).
Adapun tentang pernyataan Imām Abul-Laits as-Samarqandī, dalam menjawab pertanyaan “Īmān itu makhluk atau bukan?” Dia menjawab bahwa īmān adalah ikrar dan hidāyah. Ikrar merupakan perbuatan manusia dan perbuataan manusia adalah makhluk. Sedangkan hidāyah atau petunjuk adalah ciptaan Allah, maka perbuatan Allah adalah makhluk. Ini sebagai toleransi saja, karena hidāyah Allah kepada hamba adalah menjadi sebabnya iman, bukan sebagian daripada īmān. Sedangkan yang ditanyakan adalah jiwa iman, bukan iman dan sebabnya. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Rahmat dan keselamatan semoga tetap atas junjungan kita Nabi Muḥammad beserta keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Wallāhu a‘lam.