07 Iman Kepada Taqdir Allah – Intisari Ilmu Tauhid

قَطْرُ الْغَيْث
INTISARI ILMU TAUHID
Terjemah dari Kitab Qathr-ul-Ghaits.

Pengarang: Asy-Syaikh Naser bin Muhammad as-Samarqandi
& asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar al-Jawi
 
 
Penerjemah: Muhammad Tsaqief
Penerbit: MUTIARA ILMU

BAB VII

ĪMĀN KEPADA TAQDĪR ALLAH

 

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ كَيْفَ تُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى؟

فَالْجَوَابُ أَنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلَائِقَ وَ أَمَرَ وَ نَهَى وَ خَلَقَ اللَّوْحَ وَ الْقَلَمَ وَ أَمَرَ هُمَا أَنْ يَكْتُبَا أَعْمَالَ الْعَبْدِ. فَالطَّاعَةُ بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالَى وَ قَدَرِهِ فِي الْأَزَلِ وَ إِرَادَتِهِ وَ أَمْرِهِ وَ رِضَاهُ. وَ الْعِصْيَانُ بِقَضَاءِ اللهُ تَعَالَى وَ قَدَرِهِ فِيْ الْأَزَلِ وَ لَيْسَ بِأَمْرِهِ وَ لَا بِرِضَاهُ وَ هُمْ يُثَابُوْنَ وَ يُعَاقَبُوْنَ وَ كُلُّ ذلِكَ بِوَعْدِهِ تَعَالَى وَ وَعِيْدِهِ.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Bagaimana anda berīmān kepada taqdīr baik dan buruknya dari Allah ta‘ālā?”.

J: “Īmān kepada taqdīr baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allah-lah pencipta semua makhluk, Dia pemberi perintah dan larangan, Dia menciptakan Lauḥ dan Qalam (pena) dan memerintahkan keduanya mencatat ‘amal-‘amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadhā’ dan taqdīr Allah s.w.t. pada zaman Azali (dahulu) dan sebab Irādat (kehendak)-Nya, perintah dan Ridhā-Nya. Perbuatan maksiat itu juga sebab qadhā’ Allah, taqdīr dan Irādat-Nya di zaman Azali, tetapi bukan sebab perintah atau keridhaan-Nya, semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalui janji dan ancaman-Nya.”

Keterangan:

Sesungguhnya Allah s.w.t. Dia-lah yang menciptakan semua makhluk dan memerintahkan berbuat taat dan melarang perbuatan-perbuatan yang tidak baik, Dia telah menciptakan al-Lauḥ, yaitu sebuah lembaran yang terbuat dari mutiara berwarna putih sangat luas karena panjangnya setinggi antara langit dan bumi, selebar antara timur dan barat, pinggirnya berupa mutiara dan yaqut, dua sampulnya terbuat dari yaqut berwarna merah, dipangku seorang malaikat di tengah-tengah udara di atas langit. Dalam hadits Nabi s.a.w. disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ فِيْ صَدْرِ اللَّوْحِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ دِيْنُهُ الْإِسْلَامُ وَ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ فَمَنْ آمَنَ بِاللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ صَدَّقَ بِوَعِيْدِهِ وَ اتَّبَعَ رُسُلَهُ أَدْخلَهُ الْجَنَّةَ.

“Bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya di depan al-Lauḥ terdapat tulisan (yang artinya) tiada tuhan selain Allah, hanya dia saja, agama-Nya adalah Islam, Muḥammad adalah hamba dan Rasūl-Nya. Barang siapa Īmān kepada Allah membenarkan ancaman-Nya dan mengikuti rasūl-rasūlNya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.

Allah juga menciptakan Qalam (pena) dari cahaya yang panjangnya setinggi jarak antara langit dan bumi. Dalam hadits Nabi s.a.w. dijelaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ تَعَالَى الْقَلَمَ ثُمَّ قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ قَالَ: مَا اَكْتُبُ؟ قَالَ: مَا كَانَ وَ مَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلٍ أَوْ أَجَلٍ أَوْ رِزْقٍ أَوْ شَرٍّ فَجَرَى الْقَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

“Bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwasanya beliau (Nabi s.a.w.) bersabda: “Sesuatu yang paling pertama diciptakan oleh Allah adalah Qalam (pena), kemudian Dia berfirman: “Catatlah!” Pena itu berkata: “Apa yang aku catat?” Dia berfirman: “Sesuatu yang telah ada (berupa ‘amal, ajal, rezeki, atau keburukan) maka dituliskanlah pena semua itu dan terus menuliskan (segala yang) akan ada (terjadi) sampai hari kiamat.

Al-Mujāhid berkata: “Sesuatu yang pertama diciptakan oleh Allah s.w.t. adalah Qalam, lalu Dia berfirman: “Catatlah semua yang ditaqdīrkan.” Qalam itu lalu mencatat apa yang akan terjadi sampai hari kiamat, sesungguhnya apa saja yang terjadi pada setiap orang itu atas perintah yang telah keluar dari-Nya.

Sesungguhnya apa saja yang terjadi pada setiap orang itu atas perintah yang telah keluar daripada-Nya, demikianlah yang dimaksud oleh al-Mujāhid.

Sesudah menciptakan al-Lauḥ dan al-Qalam, maka Dia memerintahkan keduanya agar mencatat perbuatan-perbuatan seluruh hamba, Dia berfirman:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرِ. (القمر: 49).

Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. al-Qamar: 49).

Maksudnya Allah menciptakan segala sesuatu itu baik makhluk besar maupun kecil dengan ketentuan dan ketetapan hukum serta ukuran yang dibatasi, kekuatan yang sempurna dan mengatur secara rapi pada waktu yang ditentukan dan tempat yang dibatasi. Semuanya itu ditetapkan pada Lauḥ Mahfūzh. Allah ta‘ālā berfirman:

وَ كُلُّ صَغِيْرٍ وَ كَبِيْرٍ مُسْتَطَرٌ. (القمر: 53).

Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS. al-Qamar: 53).

Maksud ayat di atas adalah semua makhluk baik yang kecil maupun yang besar dan semua perbuatan mereka serta ajal mereka telah dipastikan tercatat di al-Lauḥ-ul-Mahfūzh yang terjaga dari syaithan dan terpelihara dari penambahan atau pengurangan. Nabi Muḥammad s.a.w. telah bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلَائِقِ كُلِّهَا قَبْلَ إِنْ يَخْلُقَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفِ عَامٍ.

Allah telah menciptakan ketentuan-ketentuan makhluk seluruhnya sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.

لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعَةٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ بَعَثَنِيْ بِالْحَقِّ وَ يُؤْمِنُ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَ يُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ.

Seorang hamba tidak dianggap berīmān sebelum beriman pada empat perkara: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan sesungguhnya saya adalah utusan Allah, Dia mengutusku dengan ḥaqq. Berīmān pada kebangkitan kembali sesudah mati, dan berīmān pada taqdīr baik dan buruknya.

Orang dapat melakukan perbuatan taat (yaitu perbuatan yang akan mendapatkan balasan pahala) itu sebab qadhā’ dan taqdīr Allah s.w.t. pada zaman azali (dahulu) dan juga kehendak, perintah, kerelaan, kecintaan, taufīq dan pencipta-Nya. Menurut sementara ‘Ulamā’, bahwa yang disebut Qadhā’ adalah kehendak Allah sejak zaman azali yang berhubungan dengan seluruh perkara yang ada. Sedangkan Qadar adalah perwujudan kehendak Allah dari semua makhluk sesuai ilmu Allah. Maka Qadhā’ itu ibarat pondasi, dan Qadar bangunan. Qadhā’ ibarat alat takar, sedangkan Qadar ibarat barang yang ditakar. Qadhā’ ibarat pakaian, sedangkan Qadar ibarat memakai pakaian. Qadhā’ ibarat gambar tukang ukir yang ada pada pikirannya, sedangkan Qadar ibarat ukirannya.

Melakukan perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang menyebabkan pelakunya disiksa itu disebabkan Qadhā’ Allah s.w.t., taqdīr dan kehendak-Nya sejak zaman azali, tetapi bukan karena perintah-Nya, bukan karena kerelaan-Nya, dan bukan karena taufīq-Nya. Perlu dimengerti bahwa maksud yang dikehendaki kemauan, perintah itu tidak selalu berkaitan dengan kehendak, kadang-kadang terlepas dari kehendak, seperti kasus, jika anak seorang hakim membunuh seseorang secara sengaja, ketika mengadili kasus ini, sebagai hakim ia memerintahkan agar si pembunuh yang tidak lain adalah anaknya sendiri dibunuh, tentu saja perintah ini sebenarnya tidak ia kehendaki.

Arti ridhā’ adalah menerima suatu perkara dan memberi pahala atau meninggalkan menyiksa. Adapun perkara yang diperbolehkan itu tidak diperintahkan oleh Allah. Jadi segala perkara yang diketahui Allah bakal terjadi itu Allah pasti menghendaki terjadinya. Baik Allah memerintahkan maupun tidak.

Ketahuilah bahwa orang kāfir itu diperintah melakukan syarī‘at seperti halnya ia diperintah beriman, ini menurut Madzhab Syāfi‘ī, berbeda dengan pendapat Imām Ḥanafī, dia berpendapat, bahwa orang kāfir itu tidak diperintah menjalankan (syarī‘at), tetapi hanya diperintah beriman saja, dasarnya adalah firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ. (النساء: 1).

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” (QS. an-Nisā’: 1).

Imām Ḥanafī menafsirkan ayat ini: “Hai orang-orang yang berīmān taatlah, hai orang-orang kafir berīmānlah, hai orang-orang munāfiq ikhlaslah dalam berīmān.”

Manusia itu terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

  1. Manusia yang beriman secara tulus, yaitu orang yang telah berikrar Īmān dengan lisan, membenarkan dalam hati (terhadap hal-hal yang wajib dipercayai) dan merefleksikan dalam tindakan.
  2. Manusia Kāfir, yaitu orang yang tidak mau menyatakan īmān secara lisan dan tidak juga īmān dalam hatinya.
  3. Orang Munāfiq yang menghias ke-munāfiq-annya, yaitu orang yang mengakui dalam lisannya dan tidak membenarkan dalam hatinya, serta berpura-pura beserta orang mu’min.

Semua manusia diberi pahala karena ketaatannya, dan disiksa karena maksiatnya. Semua pahala dan siksa itu dengan janji dan ancaman Allah. Janji Allah untuk ketaatan dan ancaman Allah untuk maksiat. Allah berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى. وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى. وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى. (النازعات: 37-41).

Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kesabaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nāzi‘āt: 37-41).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *