[67] فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ وَ لَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيْمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيْدِ، وَ صَافِي الْـمَعْرِفَةِ، وَ صَحِيْحِ الْإِيْمَانِ،
“Barang siapa yang ingin mengetahui sesuatu yang tidak diperlihatkan ilmu tentangnya dan pemahamannya tidak puas dengan sikap menyerahkan diri, maka dia akan dihalangi oleh keinginannya tersebut dari tauhid yang murni dan ma‘rifat yang bersih serta iman yang shaḥīḥ.”
[68] فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنِ الْكُفْرِ وَ الْإِيْمَانِ وَ التَّصْدِيْقِ وَ التَّكْذِيْبِ، وَ الْإِقْرَارِ وَ الْإِنْكَارِ،
“Sehingga dia ragu-ragu antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari.”
[69] مُوَسْوِسًا تَائِهًا شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَ لَا جَاحِدًا مُكَذِّبًا.
“Dia senantiasa waswas, kehilangan arah, dan ragu-ragu; tidak sebagai seorang Mu’min yang membenarkan tapi juga tidak sebagai seorang yang mengingkari lagi mendustakan.”
[70] وَ لَا يَصِحُّ الْإِيْمَانُ بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنْ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ
“Tidak sah keimanan terhadap ar-Ru’yah (akan dilihatnya Allah) oleh penduduk negeri keselamatan (surga) bagi orang yang mengibaratkan dengan sangkaan atau mentakwilkannya dengan daya pemahamannya.”
[71] إِذْ كَانَ تَأْوِيْلُ الرُّؤْيَةِ وَ تَأْوِيْلُ كُلِّ مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوْبِيَّةِ بِتَرْكِ التَّأْوِيْلِ وَ لُزُوْمِ التَّسْلِيْمِ،
“Karena menakwilkan ar-Ru’yah dan semua makna yang disandarkan kepada ar-Rubūbiyyah adalah dengan meninggalkan takwil dan berpegang kepada sikap berserah diri.”
[72] وَ عَلَيهِ دِيْنُ الْـمُسْلِمِيْنَ.
“Berdasarkan itulah agama kaum Muslimin.”
[73] وَ مَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَ التَّشْبِيْهَ زَلَّ وَ لَمْ يُصِبِ التَّنْـزِيْهَ.
“Dan barang siapa yang tidak menjauhi sikap menafikan dan menyerupakan, dia akan terperosok dan tidak akan benar dalam menyucikan (Allah).”
[74] فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَ عَلَا مَوْصُوْفٌ بِصِفَاتِ الْوَحْدَانِيَّةِ،
“Karena sesungguhnya Rabb kita yang Maha Agung lagi Maha Tinggi menyandang sifat-sifat keesaan.”
[75] مَنْعُوْتٌ بِنُعُوْتِ الْفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِيْ مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَرِيَّةِ.
“Allah tersifati dengan sifat-sifat yang tak tertandingi (an-Nu‘ut-ul-Fardaniyyah), yang tidak seorang pun dari makhluk-Nya yang menyandang makna sebanding dengannya.”
[76] وَ تَعَالَى عَنِ الْـحُدُوْدِ وَ الْغَايَاتِ، وَ الْأَرْكَانِ وَ الْأَعْضَاءِ وَ الْأَدَوَاتِ،
“Allah Maha Tinggi (tidak dibatasi oleh) batas-batas dan ujung akhir, dan (tidak membutuhkan) bagian-bagian, anggota-anggota, maupun perangkat-perangkat.” (21).
[77] لَا تَحْوِيْهِ الْـجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْـمُبْتَدَعَاتِ.
“Allah tidak dilingkupi oleh arah yang enam sebagaimana semua makhluk ciptaan-Nya.” (32)
[78] وَ الْـمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَ قَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ
“Mi‘rāj adalah ḥaqq adanya, dan Nabi s.a.w. telah diisrā’kan (Allah).”
[79] وَ عُرَجَ بِشَخْصِهِ فِي الْيَقَظَةِ إِلَى السَّمَاءِ،
“Beliau dimi‘rājkan ke langit dengan diri (jasmani)nya dalam keadaan terjaga.”
[80] ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللهُ مِنَ الْعُلَى، وَ أَكْرَمَهُ اللهُ بِمَا شَاءَ،
“Kemudian ke tempat yang paling tinggi sesuai dengan kehendak Allah. Dan Allah memuliakannya dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
[81] وَ أَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، { مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى}،
“Dan Allah mewahyukan kepada Rasūlullāh s.a.w. apa yang telah Dia wahyukan: “Hati (fu’ād)nya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”.” (an-Najm: 11).
[82] فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ فِي الْأَخِرَةِ وَ الْأُوْلَى.
“Maka shalawat dan salam semoga selalu Allah curahkan kepada beliau di akhirat dan di dunia.”
[83] وَ الْـحَوْضُ الَّذِيْ أَكْرَمَهُ اللهُ تَعَالَى بِهِ – غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ – حَقٌّ.
“Dan telaga Ḥaudh (telaga milik Rasūlullāh s.a.w. di Hari Kiamat) yang dengannya Allah memuliakan beliau dan sebagai air minum bagi umat beliau adalah benar adanya.”
[84] وَ الشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الْأَخْبَارِ.
“Syafā‘at yang beliau simpan (tangguhkan) bagi mereka adalah benar adanya, sebagaimana yang diriwayatkan dalam banyak hadits.”
[85] وَ الْـمِيْثَاقُ الَّذِيْ أَخَذَهُ اللهُ تَعَالَى مِنْ ءَادَمَ وَ ذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ.
“Perjanjian yang Allah ta‘ālā ambil dari Ādam a.s. dan keturunannya adalah benar adanya.”
[86] وَ قَدْ عَلِمَ اللهُ تَعَالَى فِيْمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الْـجَنَّةَ، وَ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِيْ ذلِكَ العَدَدِ وَ لَا يَنْقُصُ مِنْهُ،
“Dan sesungguhnya Allah ta‘ālā telah mengetahui sejak zaman azali jumlah orang yang akan masuk surga dan jumlah orang yang masuk neraka secara keseluruhan, maka jumlah itu tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang.”
[87] وَ كَذلِكَ أَفْعَالَهُمْ فِيْمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوْهُ،
“Demikian juga ‘amal perbuatan mereka (hanya berkutat) pada apa yang Allah ketahui dari mereka yang akan mereka kerjakan.”
[88] وَ كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ.
“Dan setiap orang dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan.”
[89] وَ الْأَعْمَالُ بِالْـخَوَاتِيْمِ.
“‘Amal perbuatan tergantung pada ‘amal-‘amal penutup (di akhir hidup).”
[90] وَ السَّعِيْدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالَى، وَ الشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالَى.
“Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia dengan ketentuan Allah, dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara dengan ketentuan Allah.”
[91] وَ أَصْلُ الْقَدَرِ سِرُّ اللهِ تَعَالَى فِيْ خَلْقِهِ،
“Pokok dasar (masalah) Qadar merupakan rahasia Allah ta‘ālā terhadap makhluk-Nya.”
[92] لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى ذلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَ لَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ.
“Rahasia-rahasia tersebut tidak diketahui oleh seorang malaikat yang dekat dengan Allah dan tidak pula seorang nabi yang diutus.”
[93] وَ التَّعَمُّقُ وَ النَّظَرُ فِيْ ذلِكَ ذَرِيْعَةُ الْـخِذْلَانِ، وَ سُلَّمُ الـْحِرْمَاِن، وَ دَرَجَةُ الطُّغْيَانِ،
“Mendalami dan meneliti terlalu jauh dalam masalah itu adalah jalan kehinaan, tangga yang terlarang dan derajat orang-orang yang angkuh.”
[94] فَالْـحَذَرَ كُلَّ الْـحَذَرِ مِنْ ذلِكَ نَظَرًا وَ فِكْرًا وَ وَسْوَسَةً،
“Maka haruslah sangat berhati-hati dari masalah tersebut; dari segi cara pandang, pikiran, dan waswas.”
[95] فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى طَوَى عِلْمَ الْقَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ
“Karena sesungguhnya Allah ta‘ālā menutup ilmu tentang Qadar dari (pengetahuan) makhluk-Nya.”
[96] وَ نَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ
“Dan Allah melarang mereka dari keinginan mereka untuk mengetahuinya.”
[97] كَمَا قَالَ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ:{ لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ}.
“Sebagaimana Firman Allah ta‘ālā di dalam Kitāb-Nya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiyā’: 23).
[98] فَمَنْ سَأَلَ لِمَ فَعَلَ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الْكِتَابِ،
“Maka barang siapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikian?” Berarti dia telah menolak hukum al-Qur’ān.”
[99] وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.
“Dan barang siapa yang menolak (membantah) hukum al-Qur’ān, maka dia termasuk di antara orang-orang kafir.”
[100] فَهذِهِ جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَى،
“Semua ini adalah sejumlah (prinsip dasar) yang dibutuhkan oleh seseorang yang diterangi hatinya dari para kekasih Allah ta‘ālā.”
[101] وَ هِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِيْنَ فِي الْعِلْمِ،
“Inilah derajat orang-orang yang mendalam ilmu-Nya (ar-Rāsikhūna fil-‘Ilm).”
[102] لِأَنَّ الْعِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الْـخَلْقِ مَوْجُوْدٌ، وَ عِلْمٌ فِي الْـخَلْقِ مَفْقُوْدٌ،
“Karena ilmu itu dua macam: ilmu syari‘at yang diajarkan Allah kepada manusia (al-‘Ilm-ul-Maujūd) dan ilmu yang tidak dapat diketahui oleh malaikat (al-‘Ilm-ul-Mafqūd).”
[103] فَإِنْكَارُ الْعِلْمِ الْـمَوْجُوْدِ كُفْرٌ، وَ ادِّعَاءُ الْعِلْمِ الْـمَفْقُوْدِ كُفْرٌ،
“Mengingkari al-‘Ilm-ul-Maujūd adalah suatu kekufuran, dan sebaliknya, mengklaim mengetahui al-‘Ilm-ul-Mafqūd juga suatu kekufuran.”
[104] وَ لَا يَثْبُتُ الْإِيْمَانُ إِلَّا بِقَبُوْلِ الْعِلْمِ الْـمَوْجُوْدِ وَ تَرْكِ طَلَبِ الْعِلْمِ الْـمَفْقُوْدِ.
“Tidak akan tetap (sah) keimanan seseorang kecuali dengan menerima al-‘Ilm-ul-Maujūd dan meninggalkan pencarian al-‘Ilm-ul-Mafqūd.”
2). “Batas-batas”. Ini sangat umum. Jika yang dimaksud ath-Thaḥāwī adalah batas-batas yang bersifat makhluk, maka Allah memang Maha Suci (tidak dibatasi) oleh batas-batas tersebut dan Maha Suci untuk bertempat pada makhluk-makhluk-Nya. Namun jika yang dimaksud ath-Thahawi adalah batas-batas yang bukan bersifat makhluk, yaitu arah atas (al-‘Uluw), maka ini tsābit (tetap) bagi Allah ‘azza wa jalla. Maka Allah tidak boleh disucikan dari sifat al-‘Uluw (bersemayam di ketinggian), karena itu adalah haqq. Dan ini bukan termasuk dalam batas-batas dan arah-arah yang bersifat makhluk.
“Tujuan-tujuan” (al-Ghāyāt) juga terlalu umum, yang mengandung kemungkinan ḥaqq dan kemungkinan batil. Jika yang dimaksud adalah hikmah diciptakannya makhluk-makhluk, yaitu bahwasanya Allah menciptakannya untuk suatu hikmah, maka ini adalah ḥaqq. Akan tetapi, (seharusnya) dikatakan hikmah, bukan tujuan. Allah berfirman:
وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ.
“Dan Aku tidak menciptakan jinn dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzāriyāt: 56).
Jika yang dimaksud dengan tujuan-tujuan (al-Ghayat) adalah: hajat kepada makhluk-makhluk maka benar, ini adalah peniadaan yang shahih. Karena Allah tidak menciptakan makhluk karena hajat dan kebutuhannya kepada makhluk tersebut. Dia Maha Kaya dari (membutuhkan) alam semesta.
“Bagian-bagian, anggota-anggota, dan perangkat-perangkat” juga terlalu umum. Jika yang dimaksud adalah: sifat-sifat Dzāt (ash-Shifat-udz-Dzātiyyah) seperti “Wajah” dan “Dua Tangan”, maka ini adalah ḥaqq, dan menafikannya adalah batil. Dan jika yang dimaksud adalah menafikan anggota-anggota yang menyerupai anggota-anggota dan perangkat-perangkat makhluk, maka Allah Maha Suci dari hal semacam itu. Maka masalah “Bagian-bagian dan anggota-anggota” ini memiliki rincian-rincian sebagai berikut:
Pertama: Apabila yang dimaksud dengannya adalah menafikan ash-Shifat-udz-Dzātiyyah dari Allah, seperti “Wajah” dan “Dua Tangan” serta sifat-sifat yang tsabit bagi Allah, maka ini adalah batil.
Kedua: Sedangkan jika yang dimaksud adalah bahwasanya Allah Maha Suci dari terserupakan dengan bagian-bagian, anggota-anggota, dan perangkat-perangkat (jasmani) manusia, maka benar; Allah Maha Suci dari penyerupaan semacam itu, karena Allah tidak terserupakan oleh seorang pun (sesuatu pun) dari makhluk-makhluk-Nya; tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam nama-namaNya, dan tidak dalam sifat-sifatNya.
Ringkasannya: Bahwa lafazh-lafazh yang dibawakan oleh mu’allif mengandung keumuman, akan tetapi perkataannya tersebut dapat dimaknai secara ḥaqq. Karena beliau r.h. adalah di antara ulama-ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, juga karena beliau adalah di antara ulama Ahli Ḥadīts, sehingga tidak mungkin beliau memaksudkan makna-makna yang buruk, akan tetapi (dengan sangat yakin) bahwa yang beliau maksudkan makna-makna yang shaḥīḥ. Dan andai saja beliau lebih merinci masalah tersebut dan menjelaskannya (tentu akan lebih baik) daripada menyebutkannya secara global dan umum (seperti ini, yang dapat menimbulkan dualisme penafsiran). (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).