Makna mengenal beliau adalah berimannya seorang mukallaf dan meyakini bahwa Allah s.w.t. telah mengutus Rasūlullāh s.a.w. kepada seluruh makhluk, baik menusia, jinn, bangsa ‘Arab maupun ‘Ajam (non-‘Arab), dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, supaya beliau memenangkannya atau agama seluruhnya, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya, dan bahwa beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasehati umat, dan beliau benar dalam segala hal yang disampaikannya dari Allah s.w.t.
Allah tidak akan menerima keimanan seorang hamba sekalipun ia beriman kepada-Nya hingga ia beriman kepada Muḥammad s.a.w. dan seluruh ajaran yang dibawanya berupa urusan dunia, barzakh (alam kubur), dan akhirat.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
أُمِرْتُ أَنْ أَقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ يُقِيْمُوا الصَّلَاةَ، وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ، وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada tuhan kecuali Allah dan beriman kepadaku serta kepada ajaran yang aku bawa. Jika mereka melakukan hal itu, terlindunglah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka kembali kepada Allah.”
Beliau adalah nabi yang ummī, rasul yang berbangsa ‘Arab, Muḥammad bin ‘Abdullāh bin ‘Abd-il-Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdu Manāf bin Qushay bin Kilāb bin Murrah bin Ka‘ab bin Lu’ay bin Ghālib bin Fihr bin Mālik bin an-Nadhr bin Kinānah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyās bin Mudhar bin Nizār bin Ma‘ad bin Adnān. Adnān ini dari keturunan Ismā‘īl adz-Dzabīḥ bin Ibrāhīm al-Khalīl a.s.
Ibunda beliau adalah Āminah binti Wahhāb bin ‘Abdu Manāf bin Zuhrah bin Kilāb dan seterusnya seperti pada nasab ayah beliau yang telah disebut sebelumnya.
Rasūlullāh s.a.w. lahir di Makkah pada hari Senin, tanggal 12 Rabī‘-ul-Awwal, 50 hari sesudah Tahun Gajah menurut pendapat yang masyhur.
Manakala usia beliau sampai 40 tahun, turunlah Rūḥ-ul-Amīn (Malaikat Jibril) kepada beliau. Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. Sesudah diangkat sebagai rasul, beliau tinggal di Makkah selama 13 tahun. Kemudian beliau hijrah ke Madīnah dan tinggal di sana selama 10 tahun.
Beliau wafat di Madīnah pada tahun 11 Hijriyyah dan dikuburkan di sana dalam usia 63 tahun.
Beliau hidup di dalam kuburnya. Beliau bisa mendengar shalawat orang-orang yang mengucap shalawat dan salam orang-orang yang mengucapkan salam kepadanya.
Diriwayatkan dari beliau:
حَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ.
“Di manapun kalian berada, ucapkanlah shawalat atasku sebab shalawat kalian itu sampai kepadaku.” (11)
Beliau juga bersabda:
أَكْثُرُوا الصَّلَاةَ عَلَىَّ فِي اللَّيْلَةِ الْغُرَاءِ وَ الْيَوْمِ الْأَزْهَرِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ.
“Perbanyaklah mengucap shalawat atasku pada malam yang terang dan hari yang cerah, sebab shalawatmu itu akan diperlihatkan kepadaku.” (22)
Beliau juga bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
“Tak ada seorang pun mengucapkan salam atasku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam atasnya.” (33).
Anak-anak beliau ada 7 orang: 3 laki-laki, yaitu al-Qāsim dan ‘Abdullāh; dan dia dipanggil “ath-Thayyib” dan “ath-Thāhir”, sementara yang ketiga adalah Ibrāhīm. Mereka semuanya meninggal dunia ketika masih kecil. Empat anak lainnya adalah perempuan, yaitu: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsūm, dan Fāthimah az-Zahrā’ yang paling kecil dan paling mulia, dan dia masih hidup sampai kira-kira 6 bulan sesudah wafat Nabi s.a.w.
Sebagian ulama menyusun sya‘ir nama mereka sebagai bentuk tawassul:
يَا رَبَّنَا بِالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ | فَبِزَيْنَبَ فَرُقَيَّةَ فَبِفَاطِمَهْ |
فَبِأُمِّ كُلْثُوْم فَعَبْدِ اللهِ | ثُمَّ بِحَقِّ إِبْرَاهِيْمَ نَجِّ نَاطِمَهْ |
Ya Tuhan kami, berkat al-Qāsim putra Muḥammad,
Juga dengan Zainab, Ruqayyah, dan dengan Fāthimah,
Juga dengan Ummu Kultsūm, dan dengan ‘Abdullāh,
Lalu dengan hak Ibrāhīm, selamatkan penyusun bait syair ini.
Ibunda-ibunda mereka – mereka Ibrāhīm – adalah:
Sedangkan istri-istri beliau yang lainnya adalah:
Adapun yang terkenal dari istri-istri beliau adalah 11 orang. Yang meninggal dunia di antara mereka semasa hidupnya adalah Khadījah dan Zainab binti Khuzaimah. Saat wafat, beliau meninggalkan 9 istri lainnya.
Ketahuilah bahwa ayah ibu dan kakek nenek Rasūlullāh s.a.w. seluruhnya bertauhid. Mereka bukanlah orang-orang musyrik. Hal tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَمْ يَزَلِ اللهُ يَنْقُلُنِيْ مِنَ الْأَصْلَابِ الْحَسَنَةِ إِلَى الْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ.
“Allah senantiasa memindahkan aku dari sulbi-sulbi yang baik ke rahim-rahim yang suci”, dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asākir, dan masih ada beberapa hadits lain yang semakna dengannya. (44).
Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS. at-Taubah [9]: 28); Maka wajiblah tak seorang pun dari kakek nenek beliau musyrik.
Banyak dari kalangan ḥuffāzh (ulama hadits yang hafal ribuan hadits) berpendapat bahwa Allah s.w.t. pernah menghidupkan untuk beliau kedua orangtuanya, lalu keduanya beriman padanya.
Mereka berargumentasi dengan hadits ‘Ā’isyah r.a. bahwa Nabi s.a.w. pernah mampir ke Hujun dalam keadaan sedih dan berduka cita. Lalu beliau tinggal di sana selama beberapa hari. Kemudian beliau kembali dalam keadaan gembira dan berkata:
سَأَلْتُ رَبِّيْ عَزَّ وَ جَلَّ فَأَحْيَا لِيْ أُمِّيْ فَآمَنَتْ بِيْ ثُمَّ رَدَّهَا.
“Aku telah meminta kepada Tuhanku ‘azza wa jalla. Lalu Dia menghidupkan ibuku untukku, kemudian ia beriman kepadaku. Kemudian Allah mengembalikannya.” Dikeluarkan oleh Ibn Syāhīn, al-Khathīb al-Baghdādī dalam as-Sābiqu wal-Lāḥiq, ad-Dāraquthnī, dan Ibn ‘Asākir dalam Gharā’ibu Mālik.
Sedang as-Suḥailī merilis di ar-Raudh-ul-Unūf dari ‘Ā’isyah r.a.:
سَأَلَ رَبَّهُ أَنْ يُحْيَ أَبُوَيْهِ فَأَحْيَا هُمَا لَهُ أُمَّتِيْ فَآمَنَا بِهِ ثُمَّ أَمَاتَهُمَا.
“Rasūlullāh s.a.w. pernah meminta kepada Tuhannya agar menghidupkan kedua orangtuanya. Lalu Tuhan menghidupkan mereka berdua untuknya. Lalu keduanya beriman kepadanya. Kemudian Tuhan mematikan keduanya kembali.”
Hadits tersebut sekalipun dha‘īf dari segi ilmu hadits, akan tetapi statusnya shaḥīḥ menurut sebagian ahli hakikat, sebagaimana yang diisyaratkan oleh sebagian mereka dengan perkataannya:
أَيْقَنْتُ أَنَّ أَبَ النَّبِيِّ وَ أُمَّهُ | أَحْيَاهُمَا الرَّبُّ الْكَرِيْمُ الْبَارِي |
حَتَّى لَهُ شَهِدَا بِصِدْقِ رِسَالَةٍ | حَقًّا وَ تِلْكَ كَرَامَةُ الْمُخْتَار |
هذَا الْحَدِيْثُ وَ مَنْ يَقُوْلُ بِضَعْفِهِ | فَهُوَ الضَّعِيْفُ عَنِ الْحَقِيْقَةِ عَارِي. |
Aku meyakini ayah-bunda Nabi pernah dihidupkan oleh Tuhan Yang Maha Mulia
Hingga keduanya bersaksi pada beliau atas kebenaran risalah, sungguh dan itu adalah kemuliaan al-Mukhtar (Sang Pilihan; Nabi)
Hadits ini dan orang yang mengatakan dha‘īf-nya adalah orang yang dha‘īf dari hakikat yang nyata.
Maka selamatnya kedua orang tua Rasūlullāh s.a.w. dan berimannya mereka, bahkan tergapainya kedudukan termulia sebagai ahli iman bagi keduanya, merupakan keyakinan kita. Hal tersebut didukung oleh kemuliaan derajat Rasūlullāh s.a.w. dan ketinggian kedudukannya di sisi Tuhannya.
Jika seseorang dari umatnya dapat meraih sebagian karunia dan rahmat Allah s.w.t. melalui perantaraan beliau dan keberkahannya apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati seorang manusia, lalu bagaimana bisa kedua orang tuanya tidak dapat meraih keberuntungan yang besar itu, padahal Allah telah menganugerahi keduanya kelebihan dengan melahirkan beliau sebagai rahmat bagi semesta alam.
Hal tersebut disebutkan oleh sebagian pensyarah hadits.
Hadits ini ditolak oleh kebanyakan ahli hadits dan ulama. Mereka mengatakan tak boleh menjadikan ini sebagai hujjah atas hal tersebut, karena pada redaksi kalimat: “Ayahku dan ayahmu” para perawi tidak sepakat menyebutkannya. Yang menyebutkan redaksi ini hanya Ḥammād bin Salamah dari Tsābit dari Anas r.a. pada jalur yang diriwayatkan oleh Muslim.
Sementara Ma‘mar meriwayatkannya dari Tsābit dengan redaksi kalimat yang berbeda. Ia tak menyebutkan: “Ayahku dan ayahmu berada di neraka”, melainkan ia mengatakan:
إِذَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ.
“Jika kau melewati satu kuburan orang kafir, maka kabarkanlah kepadanya tentang neraka.”
Dalam redaksi kalimat ini sama sekali tidak terdapat dalil yang menunjukkan itu ditujukan kepada ayahanda beliau.
Juga al-Bazzār, ath-Thabrānī, dan al-Baihaqī mengeluarkan hadits bahwa seorang ‘Arab Badui berkata: “Hai Rasūlullāh, di mana ayahku?”
Beliau menjawab: “Di neraka”.
‘Arab Badui itu kembali berkata: “Lalu di mana ayahmu?”
Beliau menjawab:
حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ.
“Di mana pun kau melewati satu kuburan orang kafir, maka kabarkanlah kepadanya tentang neraka.” (66)
Sanad hadits ini berdasarkan kriteria al-Bukhārī dan Muslim. Wajib bersandar kepada redaksi kalimat ini dan mendahulukannya dari redaksi-redaksi kalimat lainnya. As-Suyūthī telah menyebutkan ini.
Semua hadits itu dinukil oleh al-‘Allāmah ‘Umar bin Aḥmad bin Abī Bakar Ibn Sumaith dalam kitabnya Hadiyyat-ul-Ikhwāni Syarḥu ‘Aqīdah-il-Īmān.
Demikian pula halnya hadits yang terdapat dalam Shaḥīḥ Muslim bahwa Nabi s.a.w. pernah menziarahi kuburan ibundanya dan berkata:
اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِيْ فَاسْتَأْذَنْتُ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِيْ.
“Aku meminta idzin kepada Tuhanku untuk menziarahi kuburannya, lalu Dia mengidzinkan aku. Kemudian aku meminta idzin kepada-Nya untuk memintakan ampunan untuknya, lalu Dia tidak mengidzinkan aku.” (77).
Makna yang terkandung pada hadits ini dalam keadaan sebelum ibundanya dihidupkan kembali dan beriman. Dan keadaan iman yang bermanfaat sesudah mati merupakan satu keisitimewaan khusus bagi keduanya dan karamah bagi beliau.
Ambillah pendapat ini, niscaya kamu selamat.
وَ اللهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Baqarah [2]: 105).