Kisah Nabi Ibrahim A.S. – Kisah 25 Nabi & Rasul (1/2)

KISAH 25 NABI DAN RASŪL
Diserti Dalil-dalil al-Qur’ān
 
Penyusun: Mahfan, S.Pd.
Penerbit: SANDRO JAYA

Rangkaian Pos: Kisah Nabi Ibrahim A.S. - Kisah 25 Nabi & Rasul

6. KISAH NABI IBRĀHĪM A.S.

 

Nabi Ibrāhīm dilahirkan ditengah masyarakat yang musyrik dan kafir. Beliau adalah anak Āzar, yang juga masih keturunan Sām bin Nūḥ. Nabi Ibrāhīm dilahirkan pada tahun 2295 sebelum Masehi, di negeri Mausul, pada zaman Raja Namrūd. Āzar ayahnya, adalah tukang membuat patung untuk sesembahan kaumnya. Ketika itu, Raja Namrūd memerintah dengan sangat zhalim dan tanpa undang-undang. Bahkan, raja mengaku dirinya sebagai tuhan. Semua rakyatnya menyembah berhala.

Nabi Ibrāhīm Dibuang ke Hutan

Raja Namrūd adalah raja yang keji dan bengis. Ia seorang raja yang tidak mau lengser dan ingin berkuasa terus-menerus bahkan ingin hidup terus menerus. Karena itu ia tidak segan-segan untuk membodohi rakyatnya agar menyembah berhala. Bahkan ia juga memproklamirkan diri sebagai salah satu tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Sehingga segala perintahnya tak ada yang berani membangkang.

Sebelum Nabi Ibrāhīm lahir, raja Namrūd pernah bermimpi melihat seorang anak lelaki melompat masuk ke dalam kamarnya lalu merampas mahkota dan menghancurkannya. Esok harinya ia memanggil tukang ramal dan tukang tenung untuk menafsirkan arti mimpi itu. Menurut tukang ramal, anak laki-laki dalam mimpi sang raja itu kelak akan meruntuhkan kekuasaan sang raja. Tentu saja raja Namrūd murka. Ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir.

Nabi Ibrāhīm a.s. yang baru lahir secara diam-diam diselamatkan oleh ayahnya dengan jalan disembunyikan dalam sebuah gua di hutan. Dengan idzin Allah s.w.t. beliau dapat hidup dengan selamat tanpa gangguan binatang buas. Karena jauh dari kaumnya, maka sejak kecil Nabi Ibrāhīm a.s. terbebas dari segala macam bentuk syirik dan maksiat. Hidayah Allah merasuk ke dalam hatinya, sehingga Nabi Ibrāhīm a.s. sering kali berpikir dan merenungkan berhala-berhala dan batu yang dipuja dan disembah oleh kaumnya. Kemudian timbul pertanyaan di hatinya, mengapa benda-benda yang tidak dapat berbuat apa-apa itu disembah? Lalu, di manakah Tuhan yang sebenarnya?

Ketika Nabi Ibrāhīm melihat bulan dan bintang di malam hari, lalu matahari di siang hari, ia berkata di dalam hatinya, mungkinkah benda-benda itu Tuhan? Tetapi, ketika ternyata bulan dan bintang menghilang, dan matahari pun terbenam, ia kemudian berkata: “Aku tak akan bertuhan kepada benda-benda seperti itu.” Allah s.w.t. berfirman:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هذَا رَبِّيْ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هذَا رَبِّيْ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هذَا رَبِّيْ هذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ بَرِيْءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ. إِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ حَنِيْفًا وَ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Artinya:

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inikah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inikah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inikah Tuhanku, ini yang lebih besar,” maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. al-An‘ām: 76-79)

Ibrahim Bergaul dengan Kaumnya

Sesudah dewasa dan berita tentang pembunuhan bayi-bayi sudah sirna. Ibrāhīm diidzinkan kedua orang tuanya keluar dari gua. Hidup di tengah-tengah masyarakat.

Kesedihan menggerogoti hatinya, ternyata masyarakat di sekitarnya sudah bobrok mental dan akhlaknya. Akal pikiran mereka benar-benar sudah tumpul sehingga patung dan batu-batu bergambar mereka jadikan tuhan yang disembah-sembah. Ayah Ibrāhīm sendiri adalah tukang pembuat patung yang dijual ke masyarakat banyak. Dan ayahnya juga menyembah patung yang dibuatnya sendiri.

Ibrāhīm kemudian mengadu kepada Tuhan: “Ya Tuhan, aku sedang menderita, derita bathin. Aku melihat kemungkaran dan kesesatan. Untuk apa gerangan akal pikiran yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka? Apakah akal pikiran itu hanya digunakan untuk mencari kekayaan dan berbuat kerusakan belaka. Oh Tuhanku, tunjukilah aku, kalau Tuhan tidak menunjuki aku, sungguh aku akan menjadi orang yang tersesat dan berbuat aniaya.”

Lalu Allah memberikan petunjuk kepadanya. Ia diangkat menjadi Nabi dan Rasūl. Ia diberi wahyu sehingga keyakinan tentang adanya Tuhan bukan sekedar kesimpulan akal pikirannya belaka melainkan berasal dari ketetapan Tuhan.

Allah mengajarkan segala rahasia yang ada di balik alam nyata ini. Bahwa di balik alam nyata ini ada juga alam ghaib. Setiap manusia yang mati kelak akan dibangkitkan lagi di alam akhirat.

Ibrāhīm Menyakinkan Dirinya

Nabi Ibrāhīm sebenarnya sudah percaya akan adanya hari pembalasan di akhirat. Pada suatu hari ia ingin memperoleh petunjuk yang lebih nyata dan menyakinkan hatinya.

Maka berdo’alah ia kepada Tuhan: “Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku, bagaimana Engkau menghidupkan dan orang-orang mati.” Allah menjawab: “Apakah engkau belum percaya, Ibrāhīm?” Nabi Ibrāhīm menjawab: “Saya telah percaya tetapi supaya bertambah yakin hati saya.”

Tuhan kemudian memerintahkan Nabi Ibrāhīm mengambil empat ekor burung. Keempatnya dipotong-potong dan tubuhnya dicerai beraikan atau dipisah-pisahkan. Potongan-potongan kecil dari keempat burung itu dilumatkan kemudian dijadikan empat onggok, masing-masing onggokkan diletakkan di puncak empat bukit yang letaknya berjauhan. Ibrāhīm kemudian mengambil mengambil burung-burung yang sudah hancur tadi. Tiba-tiba saja burung itu hidup lagi seperti sedia kala dan menghampiri Nabi Ibrāhīm. Peristiwa ini dengan jelas Allah gambarkan dalam al-Qur’ān:

وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَ لَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَ لكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا وَ اعْلَمْ أَنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya:

Dan (ingatlah) ketika Ibrāhīm berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati,” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrāhīm menjawab: “Aku telah menyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semua olehmu.” (Allah berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 260)

 

Ajakan Kepada Ayahnya Untuk Meninggalkan Berhala

Sebelum Nabi Ibrāhīm mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala, pertama kali yang diajaknya menyembah Allah adalah ayahnya sendiri.

Ayah Ibrāhīm bernama Āzar adalah pembuat patung berhala. Ia memperingatkan ayahnya dengan bahasa yang lemah lembut penuh kesopanan: “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang diberikan Allah dan tidak mungkin diberikan kepadamu. Maka ikutilah nasehat-nasehatku, niscaya akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku kuatir engkau akan ditimpa ‘adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan dari syaithan.” Allah jelaskan dengan firman-Nya:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Artinya: “Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (QS. Maryam: 42)

Tapi ayahnya tidak mau mengikuti ajakan Nabi Ibrāhīm. Ayahnya berkata: “Bencikah kamu terhadap Tuhanku, Ibrāhīm?” Jika kamu tidak berhenti mengajakku niscaya aku akan merajammu. Tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.

Karena ayahnya tidak mau mengikuti ajakan ia hanya berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampunan bagimu pada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik padaku. Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku. Mudah-mudahan aku tidak kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.”

Do’a atau permohonan Nabi Ibrāhīm untuk ayahnya tak lain karena kasih sayangnya selaku anak kepada ayahnya. Namun setelah Allah menerangkan bahwa ayah Ibrāhīm adalah musuh Allah maka Ibrāhīm berlepas diri daripadanya. Tak ada beban moral lagi selaku anak kepada ayahnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *