06 Iman Kepada Hari Kiamat – Intisari Ilmu Tauhid (2/2)

قَطْرُ الْغَيْث
INTISARI ILMU TAUHID
Terjemah dari Kitab Qathr-ul-Ghaits.

Pengarang: Asy-Syaikh Naser bin Muhammad as-Samarqandi
& asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar al-Jawi
 
 
Penerjemah: Muhammad Tsaqief
Penerbit: MUTIARA ILMU

Rangkaian Pos: 06 Iman Kepada Hari Kiamat - Intisari Ilmu Tauhid

Sesudah itu Allah s.w.t. memasang timbangan ‘amal, dan pandangan semua hamba tertuju pada buku catatan ‘amal, apakah condong ke arah kanan atau condong ke arah kiri, kemudian mereka mengawasi daun timbangan, apakah condong ke sisi ‘amal jelek ataukah ke sisi ‘amal baik, kemudian Allah s.w.t. menghukumi mereka secara adil.

Masalah yang pertama kali ditanyakan kepada hamba di al-Mauqif nanti adalah shalat, kemudian tentang pembunuhan. Sesudah proses penimbangan ‘amal berlangsung, maka mereka digiring ke ash-Shirāth (jembatan yang memanjang di tengah-tengah neraka yang membentang di antara mauqif dan surga) jembatan tersebut lebih kecil daripada rambut dan lebih tajam dari pada pedang.

Orang-orang yang selamat berhasil melalui jembatan bervariasi, ada yang sangat cepat tanpa rintangan, hanya sekejap mata, ada yang kecepatannya seperti kilat, ada yang seperti angin, seperti burung dan ada pula seperti kecepatan kuda. Ada pula orang yang melalui jembatan ini dengan lari, berjalan biasa, ada yang dengan merangkak bahkan ada pula yang berjalan dengan pantatnya (ngesot), keadaan mereka berbeda-beda namun berhasil sampai tujuan, yaitu surga. Orang yang celakapun juga berbeda-beda keadaannya ketika melalui jembatan ash-Shirāth ini, di antara mereka ada yang terpelanting saat pertama melangkahkan kakinya, orang seperti ini hatinya paling terakhir dari neraka, di antaranya ada juga yang terpeleset jauh sampai hampir tempat tujuan dan tinggal selangkah saja, orang seperti ini nantinya paling awal keluar dari neraka, perbedaan perjalanan di atas ash-Shirāth ini menurut perbedaan pengamalan ‘amalan-‘amalan baik dan menjauhi larangan-larangan Allah s.w.t. ketika terlintas dalam hati.

Orang yang pertama kali datang di neraka adalah Qābīl, pembunuh saudaranya sendiri Hābīl tanpa hak membunuh. Karena Qābīl sebagai pencetus tindak kejahatan pembunuhann, maka dialah manusia pertama yang akan masuk neraka dari golongan Jinn (????? Manusia ?????). Kemudian seluruh makhluk selain malaikat, jinn dan manusia semuanya akan berantakan mengalami kematian. Tapi ada seorang malaikat tidak akan mati sebelum peniupan Isrāfīl pertama. Akan tetapi dengan peniupan sangkakala yang dikehendaki Allah, yaitu malaikat pemikul ‘Arsy ada empat malaikat (Jibrīl, Mikā’īl, Isrāfīl, dan Izrā’īl). Mereka mati setelah diperintahkan oleh Allah, dihidupkan kembali sebelum peniupan yang kedua. Yang terakhir matinya adalah malaikat juru pati, sebagaimana disebutkan asy-Syarqawī.

Orang Fāsiq, yaitu orang yang membangkang kepada Allah s.w.t. dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa besar atau dosa kecil secara rutin dan kadar ‘amal baiknya lebih sedikit dibandingkan ‘amal buruknya, maka mereka masuk neraka, tetapi tidak kekal ia akan keluar setelah kadar dosanya habis, karena dosa-dosa besar itu tidak menyebabkan pelakunya keluar dari īmān, kecuali jika pelaku dosa itu menganggap halal atau boleh melakukan kemaksiatan, baik kemaksiatan itu menyebabkan dosa besar maupun kecil, sebab Īmān menurut ‘ulamā’ Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah adalah pengakuan (tashdīq) dalam hati saja. Adapun Ikrar dengan lisan bagi orang yang mampu merupakan syarat untuk pelaksanaan hukum-hukum di dunia, dan di antara hukum-hukum itu kewajiban mempercayai, bahwa orang mu’min yang melakukan dosa besar tidaklah kekal di dalam neraka. Jika īmān itu adalah membenarkan, maka seorang hamba tidak keluar dari sifat berīmān, kecuali apabila ia melakukan sesuatu yang meniadakan iman yaitu kufur dengan mengingkari kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi s.a.w. atau membangkang ketetapan syarat īmān yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Orang-orang mu’min yang ahli maksiat juga tidak akan kekal di neraka. Demikian pula syafā‘at atau pertolongan itu tidak akan sampai kepada orang-orang kāfir. Allah ta‘ālā berfirman:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةٌ الشَّافِعِيْنَ. (المدثر: 48).

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafā‘at dari orang-orang yang memberikan syafā‘at.” (QS. al-Muddatstsir: 48).

Para rasūl itu mempunyai hak memberikan syafā‘at (pertolongan) yang tidak terbatas. Syafā‘at yang paling besar adalah syafā‘at yang ditolak oleh para rasūl, yaitu Syafā‘at (pertolongan) yang diberikan untuk menyelamatkan seluruh makhluk dari ketakutan yang luar biasa, syafā‘at ini disebut dengan Syafā‘at-ul-‘Uzhmā, karena syafā‘at ini diberikan kepada seluruh makhluk, dan al-Maqām-ul-Maḥmūd, karena orang-orang terdahulu dan orang-orang yang terakhir memuji Nabi Muḥammad s.a.w. yang memberi syafā‘at itu kepada mereka. Selain Syafā‘at-ul-‘Uzhmā, adalah syafā‘at berupa:

  1. Syafā‘at (pertolongan) berupa memasukkan golongan ke surga dengan tanpa hisab. Syafā‘at ini merupakan keistimewaan Nabi Muḥammad s.a.w. seperti Syafā‘at-ul-‘Uzhmā yang hanya diberikan kepada beliau.
  2. Syafā‘at kepada orang-orang semestinya masuk neraka, tetapi karena syafā‘at ini orang masuk ke dalam surga.
  3. Syafā‘at pada urusan orang yang mestinya masuk neraka kemudian tidak jadi masuk neraka.
  4. Syafā‘at untuk meningkat derajat di surga.
  5. Syafā‘at bagi orang-orang shalih agar Allah mengampuni mereka karena kelalaian mereka dalam keta‘atan.
  6. Syafā‘at bagi orang yang meng-Esa-kan Allah namun mereka masuk neraka lalu dikeluarkan. Syafā‘at ini tidak khusus bagi Nabi s.a.w. tapi juga para nabi yang lain, para malaikat dan orang-orang mu’min.
  7. Syafā‘at untuk memperingan siksa orang yang masuk neraka bagi orang yang kekal di neraka pada waktu tertentu, seperti Abū Thālib paman Nabi Muḥammad s.a.w.
  8. Syafā‘at dalam urusan anak-anak bayi orang musyrik agar mereka masuk surga.
  9. Syafā‘at bagi orang yang meninggal di Madīnah, orang yang pernah ziarah ke makam beliau, orang yang selalu menjawabi Mu’adzdzin dan membaca doa sesudah adzan dengan doa al-Wasīlah, orang yang membaca shalawat kepada beliau pada hari Jum‘at dan malamnya, orang yang hafal empat puluh hadits Nabi tentang masalah agama dan mengamalkannya, orang yang selalu berpuasa Sya‘bān, dan orang-orang yang memuji Ahl-ul-Bait Nabi s.a.w.

Orang-orang yang berīmān yakni orang-orang yang mati dalam keadaan īmān, sekalipun sebelumnya kāfir, mereka itu akan masuk surga untuk selama-lamanya, tidak boleh dimasukkan surga terlebih dahulu kemudian dimasukkan neraka, karena orang yang di dalam surga itu tidak bakal dikeluarkan darinya, sebagaimanana difirmankan oleh Allah s.w.t.:

لَا يَمَسُّهُمْ فِيْهَا نَصَبٌ وَ مَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِيْنَ. (الحجر: 48).

Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.” (QS. al-Ḥijr: 48).

Masuk surga itu adakalanya tanpa masuk neraka sama sekali terlebih dahulu dan adakalanya masuk neraka terlebih dahulu sekadar dosa yang dilakukannya semasa hidupnya.

Adapun hamba-hamba yang kāfir, baik dari golongan manusia maupun jinn, yakni mereka yang mati dalam keadaan kāfir, sekalipun selama hidupnya hingga menjelang mati, beriman maka akan dimasukkan dalam neraka selama-lamanya, mereka mendapat siksaan secara terus-menerus, mungkin disiksa melalui ular-ular, kalajengking-kalajengking, pukulan-pukulan dan lainnya.

Kesimpulannya, manusia itu ada dua macam: orang mu’min dan orang kāfir. Orang kāfir akan kekal di neraka. Orang mu’min ada dua: mu’min yang ta‘at dan mu’min yang maksiat. Mu’min yang ta‘at akan masuk surga. Mu’min yang ahli maksiat ada dua yaitu: ada yang bertaubat dan ada yang tidak bertaubat. Yang bertaubat ada di surga. Yang tidak bertaubat terserah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, boleh jadi Allah mengampuni dan memasukkan mu’min ahli maksiat yang tidak bertaubat itu di surga dengan rahmat karunia-Nya, lantaran berkat īmān dan keta‘atannya, dan adakalanya dengan syafā‘at orang yang shalih-shalih. Jika Allah menghendaki, Allah berhak menyiksanya menurut ukuran dosanya, dosa kecil atau dosa besar, lalu pada akhirnya akan masuk surga, jadi ia tidak kekal di neraka.

Surga itu tidak akan binasa, ia dikekalkan oleh Allah s.w.t. Surga itu ada tujuh (7), yaitu:

  1. Surga Firdaus.
  2. Surga ‘Adn.
  3. Surga Khuldi.
  4. Surga Na‘īm.
  5. Surga Ma’wā.
  6. Surga Dar-us-Salām.
  7. Surga Dar-ul-Jalāl.

Semua surga di atas tembus dengan maqām (tempat) Nabi Muḥammad s.a.w. supaya penghuni surga-surga itu dapat merasakan nikmat melihat beliau, beliau itu tampak di hadapan para penghuni surga; karena maqāmnya yang tinggi di atas surga-surga tersebut, seperti halnya matahari di atas para penduduk bumi.

Neraka dan tingkatan-tingkatannya itu ada tujuh (7), yaitu:

  1. Neraka Jahannam, neraka ini berada di tempat paling atas dan menjadi tempat mu’min yang membangkang.
  2. Neraka Lazhā, menjadi tempat orang-orang Yahudi.
  3. Neraka al-Ḥuthamah, menjadi tempat orang-orang Kristen (Nasrani).
  4. Neraka Sa‘īr, menjadi tempat orang-orang Shabiah, yaitu suatu kelompok orang Yahudi.
  5. Neraka Saqar, menjadi tempat orang Majūsī. (juga orang yang tidak shalat, tidak mau memberi makan fakir miskin dan juga suka gossip).
  6. Neraka al-Jaḥīm, untuk tempat orang-orang yang semasa hidupnya menyembah patung/berhala.
  7. Neraka Hāwiyah, untuk tempat orang-orang munafiq.

Ahli surga dan neraka tidak akan rusak, baik dari bidadari, anak-anak muda beliau pelayan surga, petugas surga, para malaikat penyiksa kalajengking, maupun ular-ular.

Asy-Syarbinī mengutip pendapat an-Nasafī mengatakan: Ada tujuh hal yang tidak akan rusak atas kehendak Allah, yaitu ‘Arsy, Kursiy, Lauḥ, Qalam, Surga, Ahli Surga dan Neraka, Rūḥ. Para ‘Ulamā’ berbeda pendapat tentang tafsir Firman Allah ta‘ālā:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ.

Segala sesuatu akan binasa kecuali Dzāt Allah.”

Maksudnya segala sesuatu itu intinya dapat binasa kecuali Dzāt Allah, segala sesuatu selain Allah yang mungkin keberadaannya itu dapat musnah, jika tafsir ayat ini demikian maka tujuh hal yang tidak binasa tersebut tidak berlawanan dengannya, apabila tafsir ayat di atas berupa segala sesuatu pasti binasa dengan dimatikan atau dihancurkan, maka tujuh hak yang dikatakan di atas itu adalah hal yang dikecualikan.

Siapa yang ragu atau kurang mempercayai hal-hal yang diterangkan di atas, maka ia adalah kāfir.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *