BAB VI
مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:
وَ كَيْفَ تُؤْمِنُ بالْيَوْمِ الْآخِرِ؟
فَالْجَوَابُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُمِيْتُ الْخَلَائِقَ كُلَّهُمْ إِلَّا مَنْ كَانَ فِي الْجَنَّةِ وَ النَّارِ وَ يُحْيِيْهِمُ اللهُ تَعَالَى وَ يَحْشُرُهُمْ وَ يُحَاسِبُهُمْ وَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ بِالْعَدْلِ فَمَنْ كَانَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ فَإِنَّهُمْ يَتَلَاشَوْنَ فَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَمْ يَبْقَ فِي بَعْدِ الْحِسَابِ وَ أَمَّا الْمُؤْمِنُوْنَ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدُوْنَ وَ أَمَّا الْكَافِرُوْنَ فَفِي النَّارِ خَالِدُوْنَ. وَ لَا تَفْنَى الْجَنَّةُ وَ النَّارُ وَ لَا أَهْلُهُمَا وَ مَنْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ مِنْ هذِهِ الْأَشْيَاءِ فَقَدْ كَفَرَ.
S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Bagaimana anda berīmān kepada hari kiamat?”.”
J: “Īmān kepada hari kiamat caranya adalah, mempercayai bahwa Allah s.w.t. akan mematikan semua makhluk, kecuali makhluk yang di dalam surga dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Allah s.w.t. dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalu dihukumi secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), jinn dan manusia akan mati semua, mereka yang fāsiq masuk neraka sampai habis kadar dosanya, adapun orang-orang mu’min masuk surga untuk selama-lamanya, sedangkan orang-orang kāfir di neraka selama-lamanya. Surga dan neraka serta penghuninya itu tidaklah binasa, barang siapa yang ragu terhadap perisitwa-peristiwa tersebut sekalipun hanya sebagiannya maka ia dihukumi kāfir.”
Īmān kepada hari kiamat ini dengan cara meyakini bahwa Allah s.w.t. akan mematikan semua makhluk yang hidup, Allah s.w.t. yang telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ، وَ إِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (آل عمران: 185).
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS. Āli ‘Imrān: 185).
Kematian pasti ada batas waktunya yang telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman dahulu kala, sebagai batas kehidupan manusia. Maka tidak ada manusia mati tanpa ajal (batas kematian), baik dia itu dibunuh orang atau tidak. Sebagaimana Firman Allah ta‘ālā:
وَ مَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا. (آل عمران: 145).
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan idzin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan.” (QS. Āli ‘Imrān: 145).
Setiap makhluk yang bernyawa mati karena semata-mata ketentuan (qadhā’) Allah s.w.t., karena kehendak-Nya dan karena idzin-Nya kepada Malaikat Maut untuk mencabut ruhnya. Allah s.w.t. telah menetapkan kematian itu dalam waktu yang telah ditetapkan, tidak dirubah dan tidak dapat diajukan atau diundurkan, kecuali makhluk yang ada di surga dan ada di neraka tidak akan mati.
Kemudian Allah s.w.t. menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati dengan mengembalikan ruh ke seluruh jasad untuk ditanyai dua Malaikat (Munkar dan Nakir), sesudah ditanya ruh tersebut keluar dari jasad. Allah menyiksa orang yang dikehendaki-Nya, dengan cara menciptakan suatu model kehidupan tertentu dengan sebab hubungan ruh dan jasad, seperti hubungan sinar matahari dan bumi sehingga ruh dan jasad dapat merasakan sakit dan kepedihan siksaan secara bersama-sama. Sekalipun ruh berada di luar jasad.
Siksaan orang kafir terus-menerus sampai hari kiamat, sedangkan siksaan orang mu’min dihentikan setiap hari Jum‘at dan bulan Ramadhān berkat kemuliaan Nabi Muḥammad s.a.w. Jika seorang mu’min itu mati pada hari Jum‘at atau malamnya maka siksanya hanya sekali, demikian juga menghimpitnya kubur, kemudian terputus dan tidak kembali tersiksa lagi hingga hari kiamat.
Allah menghidupkan seluruh makhluk-Nya setelah mengalami kerusakan dengan mengembalikan ruh pada tubuhnya. Allah ta‘ālā berfirman:
كَذلِكَ يُحْيِ اللهُ الْمَوْتَى وَ يُرِيْكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْلَمُوْنَ. (البقرة: 73).
“Demikianlah Allah telah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, agar kamu mengerti.” (QS. al-Baqarah: 73).
Bangkitnya orang-orang yang telah mati ini sesudah adanya Nafkhat-ul-Ba‘ts yaitu tiupan sangkakala yang kedua sesudah Nafkhat-ush-Sha‘qi yakni tiupan sangkakala kematian, waktu antara dua Nafkhah adalah empat puluh tahun. Allah s.w.t. berfirman:
وَ نُفِخَ فِي الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّموَاتِ وَ مَنْ فِي الْأَرْض إِلَّا مَنْ شَاءَ اللهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُوْنَ. (الزمر: 88).
“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki oleh Allah, kemudian ditiup sangkakala itu lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS. az-Zumar: 88).
Setelah Allah menghidupkan seluruh jinn dan manusia, malaikat dan syaithan, kemudian dihalau tanpa alas kaki, tanpa pakaian dan dalam keadaan kulup ke bumi mahsyar, yaitu bumi putih yang datar. Allah mengumpulkan seluruh makhluk itu untuk dihadapkan, diperiksa ‘amal perbuatannya dan diputusi pada pengadilan Allah. Disebutkan dalam Firman-Nya:
يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذلِكَ يَومُ التَّغَابُنِ. (التغابن: 9).
“(Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan untuk (dihisab), itulah hari (waktu itu) ditumpahkan kesalahan-kesalahan.” (QS. at-Taghābun: 9).
Allah s.w.t. menghisab mereka seadil-adilnya, Allah berfirman:
وَ نَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا، وَ إِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا، وَ كَفَى بِنَا حَاسِبِيْنَ. (الأنبياء: 47)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (‘amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan.” (QS. al-Anbiyā’: 47).
Di antara orang-orang yang dihisab itu ada yang dihisab secara rumit dan melelahkan di hadapan orang banyak secara terbuka, orang-orang yang dihisab seperti ini adalah orang-orang yang saat itu menerima buku catatan ‘amalnya yang telah dicatat oleh Malaikat al-Ḥafazhah selama masih hidup di dunia dari balik punggungnya, orang-orang ini adalah orang-orang kāfir dan orang-orang munafiq, tangan kanan mereka di belenggu di atas leher dan tangan kirinya dijulurkan ke belakang punggung untuk mengambil buku catatan ‘amalnya.
Di antara orang-orang yang dihisab itu ada yang dihisab tanpa melalui perantara Malaikat atau lainnya, untuk menutupi ‘aib orang yang dihisab, melainkan dihisab langsung oleh Allah s.w.t., Dia memperdengarkan catatan ‘amal langsung kepada yang bersangukutan seraya berfirman: “Inilah ‘amal perbuatan yang telah kamu lakukan sewaktu hidup di dunia tetapi Aku tutupi ‘amal-‘amal burukmu ini dan sekarang Aku memaafkan.” Orang yang dihisab dengan cara ini adalah orang mu’min yang taat, ia menerima catatan ‘amalnya dari arah depan.
Buku-buku catatan atau perbal ‘amal sesudah manusia mati ditempatkan di gudang yang berada di bawah “‘Arsy”. Apabila para manusia sudah di tempat menunggu Pengadilan Allah, maka Allah menghembuskan angin yang keras dan menerbangkan kitāb (buku-buku) perbuatan ‘amal. Lalu setiap buku perbal ‘amal itu menempel pada leher-leher orang yang memiliki ‘amal, dan tidak akan menempel pada leher orang lain. Kemudian diambil oleh malaikat dari masing-masing leher diberikan pada pemiliknya dan diterima dengan tangan mereka.
Orang yang pertama kali mengambil buku catatan ‘amal dengan tangan kanannya adalah ‘Umar bin Khaththāb r.a., buku catatan ‘amal khalīfah ‘Umar bersinar bagaikan sinar matahari.
Adapun khalīfah Abū Bakar r.a. memimpin rombongan yang terdiri dari tujuh puluh ribu orang menuju surga tanpa hisab, mereka ini tidak perlu mengambil catatan ‘amalnya, setelah ‘Umar bin Khaththāb, di susul oleh Abū Salamah ‘Abdullāh bin Abil-Asad al-Makhzūmī, mengambil buku catatan ‘amalnya, maka pasti melihat huruf-hurufnya bersinar terang atau gelap menurut baik dan buruknya ‘amal.
Tulisan yang terdapat pada baris pertama lembaran buku catatan ‘amal adalah:
اِقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا.
“Bacalah buku catatan ‘amalmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS. al-Isrā’: 14).
Jika seorang hamba membaca kitab perbal ‘amalnya, maka mukanya menjadi putih berseri. Demikian jika seorang mu’min. Tetapi jika dia seorang kāfir, maka mukanya menjadi hitam muram. Begitulah sebagaimana firman Allah ta‘ālā:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَ تَسْوَدُّ وُجُوْهٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ أَكْفَرْتُمْ بَعْدَ إِيْمَانِكُمْ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ. وَ أَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَفِيْ رَحْمَةِ اللهِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ. (آل عمران: 106-107).
“Pada hari yang waktu itu ada muka yang berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kāfir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah ‘adzab disebabkan kekafiran itu.” Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.” (QS. Āli ‘Imrān: 106-107).
Di dalam hadits Nabi disebutkan:
إِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُحَاسِبُ اللهُ تَعَالَى اللَّوْحُ الْمَحْفُوْظُ بَحِيْثُ يَرْكَبُ فِيْهِ إِدْرَاكًا وَ عَقْلًا فَيُدْعَى بِهِ فَتَرْتَعِدُ فَرَائِصُهُ فَيَقُوْلُ لَهُ هَلْ بَلَّغْتَ مَا فِيْكَ لِإِسْرَافِيْلَ فَيَقُوْلُ بَلَّغْتُ فَيُدْعَى بِإِسْرَافِيْلَ فَتَرْتِعَدُ فَرَائِصُهُ خَوْفًا مِنَ اللهِ فَيَقُوْلُ لَهُ مَا صَنَعْتَ فِيْمَا رَوَى إِلَيْكَ اللَّوْحُ فَيَقُوْلُ بَلَّغْتُهُ لِجِبْرِيْلَ فَتَرْتَعِدُ فَرَائِصُهُ فَيَقُوْلُ لَهُ مَا صَنَعْتَ فِيْمَا رَوَاهُ إِلَيْكَ إِسْرَافِيْلُ فَيَقُوْلُ بَلَّغْتُهُ إِلَى الرُّسُلِ فَيُدْعَى بِهِمْ فَيَقُوْلُ لَهُمْ مَا صَنَعْتُمْ فِيْمَا رَوَاهُ إِلَيْكُمْ جِبْرِيْلُ فَيَقُوْلُوْنَ بَلَّغْنَاهُ إِلَى النَّاسِ فَيُسْأَلُوْنَ عَنْ غُمْرِهِمْ فِيْمَا أَفْنُوْهُ وَ عَنْ شَبَابِهِمْ فِيْمَ أَبْلُوْهُ وَ عَنْ أَمْوَالِهِمْ مِنْ أَيْنَ إِكْتَسَبُوْهَا وَ فِيْمَ أَنْفَقُوْهَا وَ عَنْ عُلُوْمِهِمْ مَاذَا يَحْمِلُوْا بِهَا وَ ذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِيْنَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَ لَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِيْنَ فَلَنَقُصَّنَ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَ مَا كُنَّا غَائِبِيْنَ فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali dihisab oleh Allah s.w.t. pada hari kiamat nanti adalah Lauḥ-ul-Maḥfūzh, karena di dalamnya termuat berbagai pesan, dia panggil oleh Allah s.w.t. panggilan dengan penuh ketakutan dan penuh gemetaran, Allah s.w.t. berfirman kepadanya: “Apakah kamu telah menyampaikan semua yang termuat padamu kepada Isrāfīl?” Lauḥ-ul-Maḥfūzh menjawab: “Engkau Maha Mengetahui tentang diriku, aku telah menyampaikan semuanya.” Malaikat Isrāfīl dipanggil oleh Allah, dia datang dengan gemetar karena takut kepada-Nya, Allah berfirman: “Hai Isrāfīl, apa yang kamu lakukan setelah Lauḥ-ul-Maḥfūzh menceritakan isinya kepada kamu?” Isrāfīl memjawab: “Engkau Maha Mengetahui tentang diriku, aku sampaikan apa yang telah aku aku dapat dari Lauḥ-ul-Maḥfūzh kepada Jibrīl.” Allah s.w.t. memanggil Malaikat Jibrīl, Jibrīl pun datang dengan gemetar, Allah berfirman: “Hai Jibrīl, apa yang kamu perbuat terhadap hal-hal yang disampaikan oleh Isrāfīl kepadamu?” Jibrīl menjawab: “Aku sampaikan semuanya kepada para rasūl.” Kemudian para rasūl itu dipanggil oleh Allah, Dia bertanya kepada mereka: “Apa yang kamu lakukan terhadap hal-hal yang disampaikan oleh Jibrīl kepada kamu semua?” Para rasul itu menjawab: “Semua telah kami sampaikan kepada umat manusia.” Allah s.w.t. lalu bertanya kepada setiap orang empat perkara, yaitu:
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِيْنَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَ لَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِيْنَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَ مَا كُنَّا غَآئِبِيْنَ. (الأعراف: 6-7).
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasūl-rasūl kepada mereka dan sesungguhnya kami akan menanyai (pula) rasūl-rasūl (Kami), maka sesungguhnya akan kami lakukan kepada mereka (apa-apa yang mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui, dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (QS. al-A‘rāf: 6-7).
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ. عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ. (الحجر: 92-93)
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. al-Ḥijr: 92-93).