005-0 Perihal Sunnat-Sunnat Wudhu’ – Kifayat-ul-Akhyar (1/3)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 005 Perihal Sunnat-Sunnat Wudhu' - Kifayat-ul-Akhyar

[Fasal]

Perihal Sunnat-sunnat Wudhū’

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَصْلٌ: وَ سُنَنُهُ عَشْرُ خِصَـالٍ: التَّسْمِيَةُ).

[Sunnat-sunnatnya berwudhū’ ada sepuluh perkara. Yang pertamanya ialah membaca basmalah. (Bism-illāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm)].

Di dalam wudhū’, banyak terdapat pekerjaan-pekerjaan yang disunnatkan. Di antaranya ialah membaca basmalah pada permulaan wudhū’.

رُوِيَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ فِيْ إِنَاءٍ، وَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ: تَوَضَّأُوْا بِسْمِ اللهِ.

Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah meletakkan tangannya di dalam wadah air dan berkata kepada para sahabatnya: Hendaklah kamu semua berwudhū’ dengan menyebut nama Allah.

(Riwayat al-Baihaqī).

Imām Nawawī berkata: Isnād-nya Hadits ini bagus. Di dalam sebuah Hadits juga telah disebutkan:

كُلِّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ أَجْذَمُ.

Semua perkara yang mempunyai kedudukan yang penting, yang tidak dimulai dengan Bismillāh, sama seperti hewan yang terserang penyakit lepra (artinya buntung ekornya).

Membaca basmalah pada permulaan wudhū’, hukumnya sunnat yang dikukuhkan. Imām Aḥmad bin Ḥanbal mengatakan: Wajib.

Andaikata seseorang lupa membaca basmalah pada permulaan wudhū’, bolehlah ia membaca basmalah bila ia teringat pada pertengahan wudhū’nya. Seperti halnya kesunnatan membaca basmalah sewaktu hendak makan.

Andaikata orang tersebut sengaja meninggalkan membaca basmalah, apakah disunnatkan menyusulkan basmalahnya? Ada khilāf. Qaul yang rājiḥ: Ya, disunnatkan. Di dalam sebuah Hadits disebutkan:

مَنْ تَوَضَّأَ وَ ذَكَرَ اسْمَ اللهِ كَانَ طَهُوْرًا لِجَمِيْعِ بَدَنِهِ، وَ إِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى كَانَ طَهُوْرًا لِأَعْضَاءِ وُضُوْئِهِ.

Barang siapa yang berwudhū’ dan berzikir dengan menyebut nama Allah, wudhū’ dapat mensucikan seluruh badannya. Dan apabila tidak berzikir kepada Allah (tidak menyebut nama Allah), wudhu’nya hanya dapat mensucikan anggota wudhū’nya saja.

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dāraquthnī dan al-Baihaqī. Dan al-Baihaqī mengaggap dha‘īf semua riwayat Hadits ini.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ غَسْلُ الْكَفَّيْنِ قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ)

[Dan membasuh keuda tapak tangan sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah air].

Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ yang keduanya ialah membasuh kedua tapak tangan sebelum membasuh muka. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan tapak tangan ini:

  1. Dia yakin akan najisnya tapak tangan. Orang seperti ini dimakruhkan memasukkan kedua tapak tanggannya ke dalam wadah air sebelum membasuhnya tiga kali. Makruh-nya sebagai makrūh Taḥrīm, sebab memasukkan kedua tapak tangan ke dalam air yang sedikit boleh merusakkan air tersebut.
  2. Dia ragu-ragu akan najisnya tapak tangan, seperti orang yang tidur, sedang dia tidak tahu di mana tangan itu berada semalaman. Orang yang demikian ini, dimakruhkan memasukkan tapak tangannya ke dalam wadah air sebelum membasuhnya tiga kali. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي الْإِنَاءِ ثَلَاثًا، فِإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ. (وَ فِيْ رِوَايِةٍ) فَلَا يَغْمِسْ يَدَيْهِ فِ الْإِنَاءِ قَبْلَ أَنْ يَغْسِلَهُمَا ثَلَاثًا.

Apabila seseorang di antara kamu bangun dari tidurnya, hendaklah ia membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air, tiga kali basuhan. Sebab kamu tidak mengetahui di mana tangan itu berada semalaman (dan dalam riwayat lain) “janganlah ia memasukkan kedua tangannya ke dalam wadah sebelum membasuhnya tiga kali.”

Ini adalah madzhabnya Imām Syāfi‘ī dan Imām Mālik. Sebagian Ulama ada yang menghukumkan wajib membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air sesudah bangun tidur. Sebab di dalam Hadits tadi, dijelaskan larangannya, yaitu falā yaghmis.

Tidak ada perbedaan antara tidur siang dan tidur malam. Imām Aḥmad bin Ḥanbal menghukumkan wajib membasuh bila tidur malam, bukan tidur siang. Sebab kata Nabi, Aina Bātat Yaduhu. Kata-kata Bātat itu tentu pada malam Hadits tersebut kepada selain wajib, karena ada beberapa alasan yang dapat menunjukkan.

  1. Dia yakin akan sucinya kedua tapak tangannya. Orang yang demikian, tidak dimakruhkan memasukkan kedua tapak tangannya ke dalam wadah air sebelum dibasuh, tetapi ia disunnatkan membasuhnya lebih dahulu. Hal yang ketiga inilah yang diterangkan oleh pengaran mengenai sifat wudhū’nya Nabi Muḥammad s.a.w., tanpa memandang tidur sebelumnya. Dan tidak makruh, karena tidak terdapat ‘illat dalam Hadits tersebut. Sebab hukum itu akan berputar bersama ‘illat wujud dan ‘adam-nya.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ الْمَضْمَضَةُ وَ الْاِسْتِنْشَاقُ).

[Dan berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung].

Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ yang ketiganya, yaitu berkumur-kumur dan keempatnya menghirup air dengan hidung. Sebab hal tersebut pernah dikerjakan oleh Rasūlullāh s.a.w. Imām Aḥmad bin Ḥanbal berkata: Berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung, hukumnya wajib.

Ḥujjah yang digunakan oleh Imām Syāfi‘ī yaitu sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

عَشْرٌ مِنَ السَّنَّةِ وَ عَدَّ مِنْهَا الْمَضْمَضَةَ وَ الْاِسْتِنْشَاقَ.

Perkara sepuluh ini termasuk sunnat. Dan Rasūlullāh s.a.w. mengganggap berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung termasuk di antara kesepuluh perkara itu.

(Riwayat Muslim).

Kemudian, yang menjadi pokok keberhasilan sunnat, yaitu asal sudah menyampaikan air ke dalam mulut dan hidung. Baik air itu diputar-putarkan di dalam mulut maupun tidak. Qaul ini adalah qaul yang rājiḥ. Namun Imām Syāfi‘ī menerangkan dengan jelas, harus ia memutar-mutarkan air itu dalam mulut.

Untuk mendapatkan kesunnatan, tidak diisyaratkan memuntahkan (mengeluarkan semula) air itu, sehingga kalau seumpama oran itu menelan airnya, tetap ia mendapat kesunnatannya. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Ada sekelompok Ulama yang memberlakukan syarat: “memuntahkan air” untuk dapat menghasilkan sunnat. Mendahulukan berkumur-kumur, mengakhirkan menghirup air dengan hidung, itu menjadi syarat dalam menghasilkan kesunnatan, menurut qaul yang rājiḥ. Ada yang mengatakan: Disunnatkan. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *