05 Iman Kepada Para Nabi – Intisari Ilmu Tauhid

قَطْرُ الْغَيْث
INTISARI ILMU TAUHID
Terjemah dari Kitab Qathr-ul-Ghaits.

Pengarang: Asy-Syaikh Naser bin Muhammad as-Samarqandi
& asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar al-Jawi
 
 
Penerjemah: Muhammad Tsaqief
Penerbit: MUTIARA ILMU

BAB V

ĪMĀN KEPADA PARA NABI

 

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ كَيْفَ تُؤْمِنُ بِالْأَنْبِيَاءِ؟

فَالْجَوَابُ إِنَّ أَوَّلَ الْأَنْبِيَاءِ آدَمُ (ع) وَ آخِرُهُمْ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ.كُلُّهُمْ كَانُوْا مُحْبِرِيْنَ نَاصِحِيْنَ صَادِقِيْنَ مُبَلِّغِيْنَ نَاهِيْنَ أُمَنَاءَ اللهِ تَعَالَى مَعْصُوْمِيْنَ مِنَ الزَّلَلِ وَ الْكَبَائِرِ وَ مَحَبَّتُهُمْ شَرْطُ الْإِيْمَانِ وَ بُغْضُهُمْ كُفْرٌ.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Bagaimana engkau berīmān kepada para nabi?”.

J: “Kami mempercayai (berīmān) kepada para nabi dengan keyakinan bahwa Nabi yang pertama adalah Ādam a.s. dan nabi yang terakhir adalah Muḥammad s.a.w., semua nabi itu bertugas menyampaikan berita (tentang hal-hal ghaib) memberikan nasihat jujur, selalu menyampaikan (hal-hal yang diperintahkan untuk disampaikan), memerintahkan (kebaikan) dan mencegah (kemungkaran), yang dipercaya oleh Allah ta‘ālā terpelihara dari perbuatan dosa kecil dan dosa besar, mencintai mereka merupakan syarat sahnya Īmān dan membenci mereka merupakan kekufuran.”

Keterangan:

Īmān kepada para nabi Allah s.w.t. itu caranya meyakini bahwa Allah s.w.t. itu memiliki Nabi-nabi dan di antara mereka itu ada yang ditunjuk sebagai rasūl. Rasūl-rasūl Allah s.w.t. yang wajib diketahui yang pertama adalah Ādam a.s. yang berkunyah Abul-Basyar bapak manusia, gelarnya adalah Shafiyyullāh, dan rasūl yang terakhir adalah Muḥammad s.a.w. Para nabi itu bertugas menyampaikan berita tentang hal-hal ghaib, seperti hari kiamat dan keadaannya, kebangkitan dari kubur, pengumpulan seluruh makhluk di padang mahsyar, penghitungan ‘amal, pembalasan, telaga, syafā‘at, timbangan ‘amal, jembatan (Shirāth), surga, neraka dan lainnya. Mereka bertugas memberi nasihat agar ‘amal mereka bersih dari hal-hal yang dapat merusak ‘amal tersebut dan mereka itu jujur tidak menipu kaumnya. Mereka itu pasti benar dalam berita-berita dan pengakuan-pengakuan mereka, para nabi itu selalu menyampaikan hukum-hukum yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. agar disampaikan kepada umatnya, mereka selalu memerintahkan taat kepada Allah s.w.t. dan mencegah perbuatan-perbuatan mungkar dan makisat.

Para rasūl adalah manusia-manusia yang dipercaya oleh Allah ta‘ālā untuk menyampaikan wahyu-Nya, yaitu pengetahuan rahasia yang datangnya dari Allah untuk para Nabi-Nya sesuai yang dikehendaki, dengan perantaraan kitab atau mengutus malaikat melalui mimpi dalam tidur atau dengan ilham atau dengan tanpa perantara. Seperti yang terjadi pada diri Nabi Muḥammad s.a.w. di malam Isrā’ tentang perintah shalat fardhu lima waktu diterima secara langsung dari Allah tanpa perantara.

Para Nabi terjaga dari “zilal” yaitu kesalahan. Yang dimaksud “zilal” adalah dosa-dosa kecil. Lafazh “zilal” adalah lafazh jama‘ dari “zillah”, demikian menurut Muḥammad al-Jauharī dalam komentar kitab Nazham Jazariyyah. Lafazh “zalal” itu pasti mashdar dari “zalla-yazillu” dari bab “alima” dan “dharaba” sebagaimana tersebut dalam kamus dan al-Mishbāḥ.

Para nabi itu terpelihara dari perbuatan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa besar, Allah s.w.t. menjaga zhahir dan bathin mereka dari hal-hal terlarang, sekalipun larangan itu bersifat makruh, sejak mereka kecil, menurut Syaikh Aḥmad ad-Dardīr. Menurut pendapat mayoritas ‘ulamā’ bahwa para nabi itu terpelihra dari perbuatan-perbuatan dosa kecil dan dosa-dosa besar sebelum menjadi nabi dan sesudah menjadi nabi.

Kesimpulan uraian tersebut adalah īmān kepada nabi itu meyakini bahwa Allah s.w.t. itu mempunyai rasūl-rasūl dari para nabi, rasūl yang pertama adalah Ādam dan yang terakhir adalah Muḥammad s.a.w., mereka itu mengemban wahyu Allah s.w.t. dan mereka pasti memiliki sifat ash-Shiddīq (benar semua perkataannya), al-Amānah (jujur dalam menyampaikan wahyu), at-Tablīgh (selalu menyampaikan wahyu kepada umat sesuai dengan perintah), dan al-Fathānah (cerdas) dan mereka itu adalah orang-orang yang Ma‘shūm (dijaga oleh Allah dari dosa-dosa kecil dan besar).

 

MASALAH BERAPA NABI PEMILIK SYARĪ‘AT

 

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ كَمْ مِنْ أَصْحَاب الشَّرَائِعِ؟

فَالْجَوَابُ سِتَّةٌ آدَمٌ وَنُوْحٌ وَ إِبْرَاهِيْمُ وَ مُوْسَى وَ عِيْسَى وَ مُحَمَّدٌ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. وَ كُلُّ شَرِيْعَةٍ مَنْسُوْخَةٌ بِشَرِيْعَةِ مُحَمَّدٍ (ص).

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Berapakah Nabi yang memiliki syarī‘at?”.

J: “Nabi yang memiliki syarī‘at itu ada enam, yaitu: Nabi Ādam, Nabi Nūḥ, Nabi Ibrāhīm, Nabi Mūsā, Nabi ‘Īsā dan Nabi Muḥammad s.a.w. semua syarī‘at Nabi-nabi itu dinasakh (dilebur) oleh syari‘at Nabi Muḥammad s.a.w.”

Keterangan:

Di antara nabi-nabi Allah itu ada yang diberi syarī‘at oleh Allah s.w.t. Nabi yang diberi syarī‘at itu ada enam yaitu: Nabi Ādam, Nabi Nūḥ yang berusia 1450 tahun, Nabi Ibrāhīm, Nabi Mūsā, Nabi ‘Īsā dan Nabi Muḥammad s.a.w.. Ibnu ‘Abbās dan Qatādah berkata: “Nabi yang bergelar “Ulul-‘Azmi” ada lima: Muḥammad, Ibrāhīm, Mūsā, ‘Īsā dan Nūḥ. Mereka adalah pemilik Syarī‘at”. Sebagaimana disebutkan oleh ‘Ulamā’ dalam sebait nazham dari “Baḥar Thawīl”:

مُحَمَّدٌ إِبْرَاهِيْمُ وَ مُوْسَى كَلِيْمُهُ وَ عِيْسَى وَ نُوْحٌ هُمْ اُولُوا الْعَزْمِ فَاعْلَمْ

Nabi Muḥammad, Ibrāhīm, Mūsā, ‘Īsā dan Nūḥ, mereka semua adalah Ulul-‘Azmi. Ketahuilah masalah ini.”

وَ قَالَ مُقَاتِلٌ وَ اُوْلُوا الْعَزْمِ سِتَّةٌ: نُوْحٌ صَبَرَ عَلَى آذَى قَوْمِهِ وَ إِبْرَاهِيْمُ صَبَرَ عَلَى النَّارِ وَ إِسْمَائِيْلُ صَبَرَ عَلَى الذِّبْحِ وَ يَعْقُوْبُ صَبَرَ عَلَى فَقْدِ وَلَدِهِ وَ ذِهَابِ بَصَرِهِ وَ يُوْسُفُ فِي الْجِبِّ وَ السِّجْنِ وَ أَيُّوْبُ صَبَرَ عَلَى الضَّرِّ.

“Al-Muqātil berkata: Ulul-‘Azmi itu ada enam, yaitu:

  1. Nabi Nūḥ a.s., karena kesabarannya menghadapi tekanan dan siksaan dari kaumnya sendiri.
  2. Nabi Ibrāhīm a.s., karena kesabarannya menghadapi hukuman pembakarannya oleh Raja Namrūd.
  3. Nabi Ismā‘īl a.s., karena kesabarannya menghadapi penyembelihan.
  4. Nabi Ya‘qūb a.s., karena kesabarannya menghadapi cobaan berupa hilangnya Yusuf putra tercintanya dan gangguan pada penglihatannya.
  5. Nabi Yūsuf a.s., karena kesabarannya menghadapi hukuman penjara.
  6. Nabi Ayyūb a.s., karena kesabarannya terhadap sakit yang dideritanya.

Syarī‘at nabi-nabi sebelum Nabi Muḥammad s.a.w. itu dicabut hukumnya oleh syarī‘at Nabi Muḥammad s.a.w. jika hukum-hukum yang terdapat dalam syarī‘at nabi-nabi tersebut tidak cocok dengan syarī‘at Muḥammad s.a.w. sebagai contoh adalah hukum dalam syarī‘at Nabi Ādam a.s. berupa boleh mengawinkan saudara laki-laki dengan saudara perempuan sendiri yang bukan kembarannya, ketentuan hukum ini dihapus, dan para ‘ulamā’ sepakat bahwa sesudah Nabi Ādam a.s. perkawinan antara saudara laki-laki dan saudara perempuannya adalah haram, sebagaimana dikemukakan oleh Imām Muḥammad al-Jauharī, dalilnya adalah firman Allah s.w.t.:

وَ مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ. (آل عمران: 85).

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (QS. Āli ‘Imrān: 85).

 

MASALAH BERAPAKAH JUMLAH NABI

 

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ كَمْ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ؟

فَالْجَوَابُ مِائَةُ أَلْفٍ وَ أَرْبَعَةٌ وَ عِشْرُوْنَ أَلْفَ نَبِيٍّ.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Berapakah jumlah nabi-nabi Allah?”.

J: “Jumlah nabi Allah ada 124.000 orang.”

Keterangan:

Syaikh Aḥmad ad-Dardīrī berkata: Sebaiknya tidak perlu membatasi nabi-nabi Allah s.w.t. dengan jumlah tertentu, karena pembatasan seperti ini akan terjadi masukan orang yang bukan nabi ke dalamnya, jika jumlah yang ditentukan ternyata banyak. Dan akan terjadi pula mengeluarkan (tidak memasukkan) orang yang semestinya nabi ke dalamnya, jika jumlah yang ditentukan itu sedikit. Dalam sebuah hadits ada riwayat sebagai berikut:

إنَّ النَّبِيَّ (ص) سُئِلَ عَنْ عَدَدِهِمْ فَقَالَ: مِائَةُ أَلْفٍ وَ أَرْبَعَةٌ وَ عِشْرُوْنَ أَلْفًا.

Sesungguhnya Nabi Muḥammad s.a.w. pernah ditanya tentang jumlah para nabi Allah, beliau bersabda: “Jumlah mereka ada seratus dua puluh empat ribu”.

Dalam riwayat lain disebutkan:

قَالَ: مِائَتَا أَلْفٍ وَ أَرْبَعَةٌ وَ عِشْرُوْنَ أَلْفًا.

….Beliau bersabda: “Jumlah nabi ada 224.000 (dua ratus duapuluh empat ribu).

Dua hadits di atas adalah hadits aḥad, dan hadits aḥad itu tidak dapat memberi pengertian yang pasti sedangkan dalam bab ‘aqīdah itu tidak boleh berdasar pada hadits yang memberi pengertian Zhannī.

 

MASALAH BERAPA JUMLAH NABI YANG DIUTUS

 

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ كَمْ كَانُوْا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ الْمُرْسَلِيْنَ؟

فَالْجَوَابُ ثَلَاثُمِائَةٍ وَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ مُرْسَلًا.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Berapakah jumlah nabi yang diangkat menjadi rasūl?”.

J: “Nabi yang diangkat menjadi rasūl ada 313 (tiga ratus tiga belas) orang.”

Keterangan:

Menurut satu riwayat jumlah nabi yang diangkat menjadi rasūl itu ada 313 orang, seperti jumlah pahlawan perang badar. Dalam riwayat lain disebutkan 314 orang, seperti bilangan tentara Thālūt (طالوت) yang tetap setia kepadanya dalam menghadapi pasukan Jālūt (جالوت). Dalam riwayat lain dikatakan 315 orang, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah s.w.t. telah mengutus delapan ribu nabi, empat ribu di antaranya dari bangsa Isrā’īl dan empat ribu lainnya dari kalangan lainnya.

Perbedaan antara nabi dan rasūl adalah kalau rasūl yaitu manusia yang diperintahkannya menyampaikan hukum-hukum kepada umatnya, sedangkan nabi tidak diperintahkan. Tetapi ia disuruh menyampaikan pada kaumnya kalau dirinya itu seorang nabi agar dihormati.

 

MASALAH APAKAH MENGETAHUI NAMA DAN JUMLAH RASŪL TERMASUK SYARAT ĪMĀN

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

وَ أَسْمَاؤُهُمْ وَ عَدَدُهُمْ شَرْطُ الْإِيْمَانِ أَمْ لَا؟

فَالْجَوَابُ لَيْسَ عِنْدَنَا بِشَرْطِ الْإِيْمَانِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Menghafal nama-nama nabi dan jumlahnya menjadi syarat sahnya Īmān atau tidak?

J: “Menghafal nama-nama rasūl dan jumlah mereka menurut kita adalah bukan syarat sahnya Īmān dan kesempurnaannya, karena Allah s.w.t. telah berfirman:

مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ.

Di antara para rasūl itu ada yang telah Kami ceritakan kepada kamu, dan di antara mereka tidak Kami ceritakan kepada kamu.” (QS. Ghāfir: 74).

Keterangan:

Īmān kepada para nabi Allah adalah hal yang wajib dilakukan setiap orang, adapun mengetahui nama-nama dan jumlah mereka bukanlah hal yang wajib menjadi syarat sahnya keīmānan dan kesempurnaannya, berdasarkan firman Allah s.w.t. dalam surah Ghāfir, ayat 74:

وَ لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ.

Di antara para rasūl itu ada yang telah Kami ceritakan kepada kamu, dan di antara mereka tidak Kami ceritakan kepada kamu.” (QS. Ghāfir: 74).

Ayat di atas menegaskan bahwa tidak semua rasūl diceritakan kepada kita oleh Allah s.w.t., sebagian mereka ada yang diceritakan dan sebagian mereka ada yang tidak diceritakan, baik berita tentang mereka maupun nama-nama mereka. Apabila telah jelas bahwa kita tidak diwajibkan mengetahui jumlah rasūl lebih tidak diwajibkan karena jumlah mereka amat banyak, hanya saja kita diwajibkan īmān secara terperinci terhadap keberadaan mereka yang telah disebutkan dalam al-Qur’ān yang berjumlah dua puluh lima orang, yaitu: Muḥammad, Ādam, Nūḥ, Idrīs, Hūd, Shāliḥ, al-Yasa‘, Dzul-Kifli, Ilyās, Yūnus, Ayyūb, Ibrāhīm, Ismā‘īl, Isḥāq, Ya‘qūb, Yūsuf, Lūth, Dāwūd, Sulaimān, Syu‘aib, Mūsā, Hārūn, Zakariyyā, Yaḥyā dan ‘Īsā a.s.

Pengertian wajib berīmān kepada mereka secara terperinci adalah apabila dinyatakan apa benar itu sebagai utusan Allah? Maka orang yang ditanya tidak boleh mengingkari kenabian dan kerasūlannya, sekalipun tidak hafal nama-nama mereka, karena menghafal itu tidak wajib. Jadi siapa mengingkari kenabian salah seorang dari 25 rasūl atau mengingkari kerasulannya maka dia telah kāfir. Tetapi bagi orang awam tidak dihukum kāfir. Kecuali apabila dia ingkar setelah diajarkan kepadanya.

Adapun iman kepada nabi dan rasūl selain yang berjumlah dua puluh lima orang itu tetap wajib hanya saja secara ijmāl (global) dengan cara membenarkan keberadaan mereka, kenabian dan kerasulan mereka, serta menambahkan bahwa Allah s.w.t. mempunyai rasūl dan nabi. Barang siapa yang kepercayaannya tidak sama seperti di atas, maka imannya tidak sah dan dihukumi kāfir.

Ada tiga orang yang diperselisihkan kenabiannya oleh para ‘Ulamā’ yaitu: Dzul-Qurnain, ‘Uzair dan Luqmān. ‘Ulamā’ juga berbeda pendapat tentang kenabian Khidhir. Ada yang mengatakan Khidhir itu nabi dan rasūl, ada yang berpendapat sebagai nabi dan bukan rasūl. Bahkan ada yang mengatakan, kalau Khidhir itu seorang Waliyullāh.

Khidhir masih tetap hidup sampai sekarang ini, ia dianugerahi oleh Allah s.w.t. ilmu syarī‘at dan hakikat, setiap tahun Ia bertemu dengan Nabi Ilyās di Makkah dan bersama-sama minum air zamzam yang sekali minum untuk menahan haus sempai tahun berikutnya sedangkan makan mereka adalah al-Karbūs (kapas/sayur sejenis seledri), Nabi Ilyās diserahi kekuasaan di darat dan Nabi Khidhir diserahi kekuasaan di seluruh laut, demikianlah yang dikatakan oleh Syaikh ‘Īsā al-Barawī, Aḥmad al-Bailī dan Syaikh Yūsuf as-Sumbulawinī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *