04 Ihwal Orang-orang ‘Arif Dalam Persoalan Tadbir – Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam

MUTU MANIKAM
Dari
KITAB AL-ḤIKAM

(Judul Asli: Al-Ḥikam)
Karya: Syaikh Aḥmad bin Muḥammad ‘Athā’illāh
Pensyarah: Syaikh Muḥammad bin Ibrāhim Ibnu ‘Ibād (atau ‘Abbād).
 
Penyadur: Djamaluddin Ahmad al-Buny
Penerbit: Mutiara Ilmu Surabaya

BAB 4

Penjelasan Tentang

IḤWĀL ORANG-ORANG ‘ĀRIF DALAM PERSOALAN TADBĪR

 

4. أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

Tenangkan dirimu dari memikirkan urusan duniawi, karena apa yang telah direncanakan Allah s.w.t. bagimu, tidak perlu kamu sibuk memikirkannya.

Tadbīr itu adalah rencana masa depan seorang hamba sesuai dengan kemauan dan kesanggupannya. Hal ini bukannya tidak diperkenankan kepada manusia, akan tetapi manusia perlu memahami bahwasanya sebagai sesuatu yang berlaku dalam hidup dunia ini, telah diatur oleh Allah s.w.t. atas diri seseorang, maka tidak lagi perlu ia ikut mengaturnya. Seperti diungkapkan oleh Sayyid Abul-Ḥasan asy-Syādzilī: “Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik aturlah agar kalian tidak mengatur.” Allah s.w.t. memberi kesempatan kepada manusia agar mempergunakan insting dan inderanya untuk merencanakan segala keperluan hidup dunianya, dan memberi kesempatan pula supaya mampu mempertahankan nikmat dan anugerah Allah yang telah diterima oleh manusia, karena itulah fitrah Allah yang berlaku atas diri manusia. Akan tetapi Allah juga mengingatkan kepada manusia, bahwa semua rencana Allah jualah yang akan berlaku, dan apa yang diatur oleh Allah atas manusia itulah yang pasti.

Allah s.w.t. berfirman: “Seandainya kalian semua bertawakkal kepada Allah, dengan berserah diri sepenuhnya, maka tentu kalian akan memperoleh rezeki seperti juga burung-burung (keluar) mendapat rezekinya di pagi hari ketika mereka sedang lapar, dan kembali pulang ke sarangnya dengan perut kenyang.” (H.R. Tirmidzī).

Orang yang ‘ārif ketika menghadapi tadbīr, adalah dengan cara tetap istiqāmah beriman kepada ketentuan Allah s.w.t. yang datang kepada kita, suka atau tidak, senang atau tidak. Menerima semua yang datang dari Allah sebagai anugerah yang tidak perlu disesalkan. Bahkan diikuti pula dengan ikhtiyar baru guna mendapat ketentuan Allah yang baru pula. Menghidupkan rasa syukur dalam diri seorang hamba akan apa yang telah diterima sebagai nikmat dari Allah s.w.t. Rasa syukur itu diikuti pula dengan rasa sabar menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t.

Menerima semua yang ditetapkan Allah s.w.t. dengan rasa sabar akan melahirkan rasa tawakkal, dengan rasa tawakkal itulah seorang yang ‘ārif bijaksana akan mengukuhkan imannya.

Allah s.w.t. berfirman: “Hanya orang yang sabar sajalah yang akan ditetapkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10).

Dan sifat hamba seperti ini ditegaskan pula dalam surat al-‘Ankabūt ayat 56, bahwasanya iman seorang hamba yang tangguh adalah mereka yang sabar dan tawakkal.

Ukuran orang ‘ārifīn dalam menghadapi ketetapan Allah s.w.t. ialah ia dapat merasakan semua perberian Allah itu sebagai suatu ujian atas kemampuan imannya. Ia terima semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran untung atau rugi, tetapi dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Ia tidak ingin keteguhan iman seorang hamba diukur dengan sesuatu yang lain, karena iman termasuk tidak berkarat, sehingga pada saat tertentu dapat dipergunakan menjadi perisai menghadapi semua kemungkinan yang datang dalam kehidupan anak manusia ini.

Kemenangan akhir manusia yang ‘ārif ialah mampu mempertahankan imannya di saat yang penting. Dengan kemenangan itu akan memberinya kemajuan dan ketinggian rohani yang luar biasa. Tidak ada kemenangan yang sangat disenangi oleh orang-orang ‘ārif, kecuali kemenangan iman. Dengan iman yang selalu menang itulah seorang hamba akan diantarkan ke surga jannat-un-na‘īm.

Semestinyalah orang beriman itu memahami benar bahwa rencana Allah atas kehidupan manusia bukanlah suatu rencana yang main-main. Karena segala yang diciptakan Allah dalam bentuk apa saja adalah rahasia Allah yang akan ditunjukkan kepada manusia, setelah berlakunya suatu rencana terhadap manusia.

Angan-angan manusia yang ada dalam benaknya tidak dilarang oleh Allah. Ikhtiyār manusia untuk berhasilnya suatu kehendak pun boleh saja dilaksanakan. Akan tetapi ia harus yakin dengan keimanan yang teguh, bahwasanya semua yang direncanakan Allah, tak seorang pun yang mampu menghalanginya. Apabila Allah telah memberi karunia kepada manusia, maka karunia itu akan datang, walaupun ada yang menghalanginya. Demikian juga apabila Allah akan memberi sesuatu peringatan atau kesusahan kepada manusia karena perbuatannya, maka tak satu kekuasaan pun yang mampu menolak kehendak Allah itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *