03-5 Faidah 2 – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: 03 Mengenai Kunci Surga - Kasyifat-us-Saja’ | Syekh Nawawi al-Bantani

[فَائِدَةٌ] وَ فِي الْحَدِيْثِ: مَا أَصَابَ عَبْدًا هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حُزْنٌ فَقَالَ: اللّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَ ابْنُ عَبْدِكَ وَ ابْنُ أَمَتِكَ

(FAIDAH) Dan di dalam hadits [disebutkan] (KS-861): “Tidaklah menimpa seorang hamba, kegelisahan, atau kegundahan atau kesedihan, lalu ia mengucapkan [doa]: “Ya Allah sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, dan anak dari hamba-Mu, dan anak dari hamba perempuan-Mu.

نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ نَافِذٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ

Jambulku [ubun-ubunku] ada di tangan-Mu [kekuasaan-Mu], senantiasa berlalu pada diriku oleh putusan-Mu.

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ

Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama, yang merupakan nama bagi-Mu, yang Engkau telah menamakan dengan namanya pada Diri-Mu,

أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ

atau Engkau turunkan nama itu di dalam kitab-Mu, atau telah Engkau ajarkan nama itu kepada seseorang dari makhluk-Mu,

أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

atau Engkau telah memonopoli dengan nama itu di dalam ilmu ghaib di sisi-Mu,

أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَ نُوْرُ بَصَرِيْ وَ جِلَاءَ حُزْنِيْ وَ ذِهَابَ هَمِّيْ وَ غَمِّيْ،

semoga Engkau menjadikan al-Qur’ān yang agung, sebagai penenteram hatiku, dan cahaya penglihatanku, dan penghilang kesedihanku, dan pembuat pergi kegelisahanku dan kegundahanku”,

إِلَّا أَذْهَبَ اللهُ حُزْنَهُ وَ هَمَّهُ وَ غَمَّهُ وَ أَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا أَيْ وَاسِعًا وَ خَلَاصًا.

melainkan pasti Allah akan menghilangkan kesedihannya, kegelisahannya, dan kegundahannya, dan akan menggantikannya pada kedudukannya [kesulitannya] itu menjadi kelapangan”, yakni kondisi yang lapang dan yang terbebaskan.

قَوْلُهُ: اسْتَأْثَرْتَ بِهِ، أَيِ انْفِرَدْتَ بِالْاِسْمِ مِنْ غَيْرِ مُشَارِكٍ لَكَ فِيْهِ.

Sabda Nabi s.a.w.: “ista’tsarta bihi”, yakni Engkau bersendirian dengan nama itu, tanpa ada penyekutu bagi-Mu padanya.

قَوْلُهُ: رَبِيْعَ قَلْبِيْ، أَيْ مَطَرَ قَلْبِيْ.

Sabda Nabi s.a.w.: “rabī‘a qalbī”, yakni hujan hatiku.

قَوْلُهُ: جَلَاءَ حُزْنِيْ، بِفَتْحِ الْجِيْمِ وَ بِالْمَدِّ أَيْ كَشْفَ حُزْنِيْ.

Sabda Nabi s.a.w.: “jalā’a ḥujnī”, dengan fatḥah jīm dan dibaca panjang, yakni tersingkapnya [lenyapnya] kesedihanku.

قَوْلُهُ: هَمِّيْ، الْهَمُّ أَوَّلُ الْمَشَقَّةِ

Sabda Nabi s.a.w.: “hammī”, al-Hammu adalah yaitu permulaan kesulitan,

أَوْ مَا يُصِيْبُ الشَّخْصَ مِنْ مَكْرُوْهِ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ الْغَمِّ وَ الْحَيْرَةِ وَ الْإِشْكَالِ

atau [yang dimaksud adalah] sesuatu yang menimpa seseorang, dari hal yang tidak disukai, dari semua perkara dunia dan akhirat, kesedihan, kebingungan dan keruwetan,

أَوِ الْكَرْبُ وَ هُوَ مَا شُقَّ عَلَيْهِ حَتَّى مَلَأَ صَدْرُهُ غَيْظًا،

atau [yang dimaksud adalah] kesusahan yaitu sesuatu yang memberatkan pada dirinya, hingga penuh dadanya dengan kejengkelan.

وَ قِيْلَ الْهَمُّ مَا تَعَلَّقَ بِالْمَاضِيْ وَ الْغَمُّ مَا تَعَلَّقَ بِالْمُسْتَقْبَلِ

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Al-Hammu adalah sesuatu [kegalauan] yang berkaitan dengan masa lalu, sementara al-Ghammu adalah sesuatu [kegalauan] yang berkaitan dengan masa depan”.

وَ قَالَ الشَّرْقَاوِيُّ: اَلْهَمُّ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَا يَكُوْنَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَ الْحُزْنُ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَا كَانَ فِي الْمَاضِيْ

اهـ.

Dan Syaikh asy-Syarqāwī berkata: “Al-Hammu adalah sesuatu [kegundahan] yang berkaitan dengan hal yang akan terjadi di masa depan, sedangkan al-Ḥuznu adalah sesuatu [kerisauan] yang berkaitan dengan kejadian yang telah berlalu.” (KS-872). Selesai.

Catatan:


  1. KS-86: Terdapat di Musnad Aḥmad, hadits ke 3528 dan 4091, [dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd], dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka, dan lafazh wa nūra shadrī. Terdapat di kitab al-Maqshad-ul-Asnā’, Imām Abū Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazālī [450-505 H.], halaman 166, dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka, dan lafazh wa nūra shadrī. Terdapat di kitab at-Targhību wat-Tarhīb, Imām al-Mundzirī [581-656 H.], Juz II, halaman 383, hadits ke 2806, dari Ibnu Mas‘ūd, dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka, dan lafazh wa nūra shadrī. Terdapat di kitab al-Fawā’id, Imām Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [691-751 H.], halaman 21 dan 93, dari ‘Abddullāh bin Mas‘ūd, dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka, dan lafazh wa nūra shadrī. Terdapat di kitab al-Jawāb-ul-Kāfī, Imām Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [691-751 H.], halaman 21 dan 93, dari ‘Abddullāh bin Mas‘ūd, dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka, dan lafazh wa nūra shadrī. Terdapat di kitab al-Wabāl-ush-Shā’ib, Imām Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [691-751 H.], halaman 21 dan 93, dari ‘Abddullāh bin Mas‘ūd, dengan lafazh ‘adlun fiyya qadhā’uka
  2. KS-87: Di dalam kitab Badā’i‘-ul-Fawā’id, Imām Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [691-751 H.], Juz. II, hal. 433, disebutkan: فَإِنْ تَعَلَّقَ بَالْمَاضِيْ سُمِّيَ حُزْنًا وَ إِنْ تَعَلَّقَ بِالْمُسْتَقْبَلِ سُمِّيَ هَمًّا. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *