(وَ فَضَائِلُهَا) لَا تُحْصَى
(Dan keutamaan-keutamaan kalimat lā ilāha illallāh) itu tidak terhitung [tak terhingga].
مِنْهَا قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ قَالَ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِيْ يَوْمِهِ كَانَتْ لَهُ كَفَّارَةٌ لِكُلِّ ذَنْبٍ أَصَابَهُ فِيْ ذلِكَ الْيَوْمِ”
Di antaranya adalah sabda Nabi s.a.w. (KS-711): “Siapa saja yang mengucapkan lā ilāha illallāh, sebanyak tiga kali di hari yang ia sedang jalani, maka ucapan itu baginya sebagai penebus untuk setiap dosa, yang menimpa dirinya pada hari itu.”
وَ عَنْ كَعْبِ الْأَحْبَارِ رضي الله عنه أَوْحَى اللهُ تَعَالَى إِلَى مُوْسَى فِي التَّوْرَاةِ لَوْ لَا مَنْ يَقُوْلُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ لَسَلَّطْتُ جَهَنَّمَ عَلَى أَهْلِ الدُّنْيَا.
Dan dari Sayyidinā Ka‘ab al-Aḥbār r.a., [berliau mengatakan]: “Allah ta‘ālā telah mewahyukan kepada Nabi Mūsā di dalam kitab Taurāt: “Seandainya saja tidak ada orang yang mengucapkan lā ilāha illallāh, pastillah Aku kuasakan neraka Jahannam kepada penghuni dunia.” (KS-722).
قَالَ السُّحَيْمِيُّ: أَفْضَلُ الْأَشْيَاءِ الْإِيْمَانُ وَ هُوَ قَلْبِيٌّ،
Syaikh as-Suḥaimī berkata: “Seutama-utamanya segala sesuatu adalah Īmān. Dan Īmān adalah amalan hati.
وَ أَفْضَلُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللهِ وَ أَفْضَلُهُ الْقُرْآنُ،
Dan seutama-utamanya ucapan adalah firman Allah dan seutama-utamanya firman Allah adalah al-Qur’ān.
وَ أَفْضَلُ الْكَلَامِ بَعْدَهُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ فَهِيَ أَفْضَلُ مِنَ الْحَمْدِ عَلَى الصَّحِيْحِ لِأَنَّهَا تُنْفِي الْكُفْرَ.
Dan seutama-utamannya ucapan setelah al-Qur’ān adalah lā ilāha illallāh. Maka kalimat tauḥīd itu lebih utama daripada kalimat pujian, menurut pendapat yang shaḥīḥ, karena sesungguhnya kalimat tersebut dapat meniadakan [menghilangkan] kekufuran”. (KS-733).
وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ كَلِمَةَ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ اثْنَا عَشَرَ حَرْفًا فَلَا جَرَمَ أَيْ فَلَا بُدَّ أَنَّهُ وَجَبَ بِهَا اثْنَتَا عَشْرَةَ فَرِيْضَةً سِتَّةٌ ظَاهِرَةٌ وَ سِتَّةٌ بَاطِنَةً؛
Dan telah berkata sebagian ulama: “Sesungguhnya kalimat lā ilāha illallāh itu ada 12 huruf, maka sudah tentu, yakni tidak boleh tidak, bahwasanya terwajibkan dengan sebab kalimat itu, [penunaian] 12 kefardhuan, yaitu 6 fardhu lahiriyyah dan 6 fardhu bathiniyyah.
أَمَّا الظَّاهِرَةُ فَالطَّهَارَةُ وَ الصَّلَاةُ وَ الزَّكَاةُ وَ الصَّوْمُ وَ الْحَجُّ وَ الْجِهَادُ،
Adapun fardhu lahiriyyah itu adalah 1. Bersuci, 2. Shalat, 3. Zakat, 4. Puasa, 5. Haji, dan 6. Berjihad.
وَ أَمَّا الْبَاطِنَةُ فَالتَّوَكُّلُ وَ التَّفْوِيْضُ وَ الصَّبْرُ وَ الرِّضَا وَ الزُّهْدُ وَ التَّوْبَةُ.
Dan adapun fardhu bathiniyyah adalah tawakkal, tafwīdh [menguasakan penuh kepada Allah], sabar, ridha, zuhud dan bertaubat.”
(قَوْلُهُ: وَ الْجِهَادُ)، أَيِ الْقِتَالُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لِإِقَامَةِ الدِّيْنِ وَ هذَا هُوَ الْجِهَادُ الْأَصْغَرُ،
(Ucapan beliau tersebut: “dan berjihad”), maksudnya adalah berperang di jalan Allah untuk menegakkan agama, dan hal ini merupakan jihad yang kecil.
وَ أَمَّا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ فَهُوَ مُجَاهَدَةُ النَّفْسِ
Dan adapun jihad yang besar adalah memerangi hawa nafsu. (KS-744).
(وَ قَوْلُهُ التَّوَكُّلُ)، هُوَ ثِقَةُ الْقَلْبِ بِالْوَكِيْلِ الْحَقِّ تَعَالَى بِحَيْثُ يَسْكُنُ عَنِ الْاِضْطِرَابِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْأَسْبَابِ ثِقَةٌ بِمُسَبِّبِ الْأَسْبَابِ.
(Ucapan beliau: “tawakkal”), adalah percayanya hati kepada Dzāt Pengayom, Yang Maha Benar [Allah] ta‘ala, dengan sekiranya hati menjadi tenang dari kegoncangan, ketika terasa sulit melakukan berbagai penyebab lantaran percaya penuh kepada Dzāt Penyebab berbagai sebab.
وَ عَنْ أُوَيْسٍ الْقَرَنِيُّ أَنَّهُ قَالَ: لَوْ عَبَّدْتَ اللهَ عِبَادَةَ أَهْلِ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ لَا يَقْبَلَ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تَكُوْنَ آمِنًا بِمَا تَكَفَّلَ اللهُ مِنْ أَمْرِ رِزْقِكَ.
Dan dari Syaikh Uwais al-Qaranī, bahwasanya beliau berkata: “Seandainya ibadahmu kepada Allah, setara dengan ibadah penghuni langit dan bumi, niscaya Allah tidak akan menerima [ibadah] darimu itu, hingga engkau menjadi sebagai orang yang percaya kepada apa yang telah dijamin oleh Allah, dari urusan rezekimu,
وَ تَرَى جَسَدَكَ فَارِغًا لِعِبَادَتِهِ.
dan engkau menganggap sekujur tubuhmu sebagai benda yang harus dicurahkan untuk beribadah kepada-Nya” (KS: 755).
قَالَ تَعَالَى: فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ} (المائدة [5]:23)
Allah ta‘ālā berfirman: …..Maka hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. al-Mā’idah [5]: 23)
وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُوْ خِمَاصًا أَيْ تَذْهَبُ بُكْرَةً وَ هِيَ جَيَّاعٌ
Dan Nabi s.a.w. telah bersabda (KS: 766): “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya bertawakkal kepada-Nya, pastilah Allah memberi rezeki kepada kalian, seperti Allah merezekikan burung saat pagi dalam keadaan lapar, yakni burung itu pergi di pagi hari, dalam kondisi sangat lapar.” Yakni burung itu pergi di pagi hari, dalam kondisi sangat lapar,
وَ تَرُوْحُ بِطَانًا أَيْ وَ تَرْجِعُ عَشِيَّةً وَ هِيَ مُمْتَلِئَةُ الْأَجْوَافِ.
dan pada sore hari menjadi kenyang”, yakni burung itu kembali pada sore hari dalam keadaan penuh temboloknya.
فَذَكَرَ أَنَّهَا تَغْدُوْ وَ تَرُوْحُ فِي طَلَبِ الرِّزْقِ.
Maka telah dituturkan bahwa burung [pergi] waktu pagi hari dan [pulang] pada sore hari, dalam mencari rezeki.
وَ الْمَعْنَى: لَوِ اعْتَمَدْتُمْ عَلَى اللهِ فِيْ ذِهَابِكُمْ وَ مَجِيْئِكُمْ وَ تَصَرُّفِكُمْ
Dan pengertian [hadits tersebut] adalah: “Jika kalian bersandar kepada Allah di saat kalian berangkat, kalian kembali dan saat kalian beraktivitas,
وَ عَلِمْتُمْ أَنَّ الْخَيْرَ بِيَدِهِ لَمْ تَنْصَرِفُوْا إِلَّا غَانِمِيْنَ سَالِمِيْنَ
dan kalian mengerti bahwa segala kebaikan itu ada di tangan-Nya, maka tidaklah kalian beraktivitas, melainkan pasti kalian sebagai orang yang berhasil lagi selamat,
وَ لَأَغْنَاكُمُ التَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ عَنِ الْاِدْخَارِ كَالطَّيْرِ
dan pasti sikap tawakkal kepada Allah membuat diri kalian tidak butuh dari menimbun [harta duniawi], sama halnya seperti burung.
لكِنَّكُمُ اعْتِمَدْتُمْ عَلَى قُوَّتِكُمْ وَ كَسَبِكُمْ وَ هذَا يُنَافِي التَّوَكُّلَ.
Tetapi kalian, halnya kalian bersandar kepada kekuatan kalian dan hasil kerja kalian, dan hal ini meniadakan sikap tawakkal.”
وَ رُوِيَ عَنْ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ أَنْ أَشَدَّ الْخَلْقِ تَوَكُّلًا الطَّيْرُ وَ طَمْعًا النَّمْلُ،
Diriwayatkan dari sebagian Ulama: “Sesungguhnya makhluk yang paling hebat dalam ber-tawakkal adalah burung, dan [yang paling hebat] dalam hal tamak adalah semut.”
وَ لَيْسَ الْمُرَادُ بِالتَّوَكُّلِ تَرْكُ الْكَسْبِ بِالْكُلِّيَّةِ.
Dan bukanlah yang dimaksud dengan ber-tawakkal itu adalah meninggalkan kerja [usaha] secara total.
وَ سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رضي الله عنه عَنْ رَجُلٍ جَلَسَ فِيْ بَيْتِهِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ
Dan Imām Aḥmad r.a. (KS: 777) pernah ditanya tentang seorang lelaki yang duduk [berpangku tangan] di rumahnya atau di masjid,
وَ قَالَ: لَا أَعْمَلُ شَيْئًا حَتَّى يَأْتِيْنِيْ رِزْقِيْ
dan lelaki itu berkata: “Aku tidak akan berbuat apapun, hingga rezekiku mendatangi diriku.”
فَقَالَ: هذَا رَجُلٌ جَهْلُ الْعِلْمِ فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ اللهَ جَعَلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِيْ أَيِ الرُّمْحُ سَبَبٌ لِتَحْصِيْلِ الرِّزْقِ،
Lalu Imām Aḥmad berkata: “Lelaki ini tidak mengerti ilmu, karena sungguh Nabi s.a.w. telah bersabda (KS: 788): “Sesungguhnya Allah telah menempatkan rezekiku di bawah bayang-bayang tombakku”, yakni tombak adalah suatu sebab untuk menghasilkan rezeki.
وَ مُرَادُهُ أَنَّ مُعْظَمَ الرِّزْقِ كَانَ مِنَ الْغَنَائِمِ
Dan maksud Nabi s.a.w. adalah bahwa sebagian besar rezeki [beliau] itu adanya dari ghanīmah [pampasan perang].
وَ إِلَّا فَقَدْ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ جِهَاتٍ أُخْرَى غَيْرِ الرُّمْحِ ذَكَرَهُ السُّحَيْمِيُّ.
Dan jika tidak demikian, maka sungguh adanya beliau makan [mendapat rezeki] dari cara-cara yang lain, selain dengan tombak. Demikian Syaikh as-Suḥaimī menuturkan hal itu.
(قَوْلُهُ التَّفْوِيْضُ)، هُوَ التَّسْلِيْمُ للهِ فِيْ جَمِيْعِ أُمُوْرِهِ وَ هُوَ أَعْلَى مِنَ التَّوَكُّلِ،
(Ucapan beliau: “tafwīdh [menguasakan penuh kepada Allah]”), adalah penyerahan kepada Allah dalam segala urusannya, dan sikap tafwīdh itu lebih tinggi daripada sikap tawakkal.
قَالَ الْغَزَالِيُّ: وَ هُوَ إِرَادَةُ أَنْ يَحْفِظَ اللهُ عَلَيْكَ مَصَالِحَكَ فِيْمَا لَا تَأْمَنُ فِيْهِ مِنَ الْخَطَرِ
Imām al-Ghazālī berkata: “Tafwīdh yaitu keinginan agar Allah memperhatikan dirimu, akan berbagai kepentinganmu di dalam perkara yang engkau tidak merasa aman padanya berupa kekhawatiran.” (KS: 799).
وَ ضِدُّ التَّفْوِيْضِ الطَّمْعُ.
Dan lawan kata tafwīdh adalah thama‘ [tamak].
(قَوْلُهُ: الصَّبْرُ)، وَ هُوَ حَبْسُ النَّفْسِ عَلَى الْمَشَاقِّ وَ عَنِ الْجَزَعِ.
(Ucapan beliau: “shabar ”), yaitu tahannya diri untuk mengatasi kesulitan dan dari [meredakan] kegelisahan.
قَالَ الْعَلْقَمِيُّ: الصَّبْرُ حَبْسُ النَّفْسِ عَلَى كَرِيْهٍ تَتَحَمَّلُهُ وَ عَنْ لِذَيْذٍ تَفَارِقُهُ.
Syaikh al-‘Alqamī berkata: “Sabar adalah tahannya diri dari hal yang dibenci yang harus ditanggungnya, dan dari kenikmatan yang berpisah dengan dirinya.”
(قَوْلُهُ الرِّضَا)، هُوَ غَنِىُّ الْقَلْبِ بِمَا قُسِمَ،
(Ucapan beliau: “ridhā”), yaitu sikap merasa cukupnya hati dengan apa yang telah dibagi [oleh Allah].
وَ قَالَ الْعُلَمَاءُ: الرِّضَا تَرْكُ السُّخْطِ
Dan Ulama telah berkata: “Ridhā adalah meninggalkan ketidak-puasan.
وَ السُّخْطُ ذِكْرُ غَيْرِ قَضَاءِ اللهِ تَعَالَى بِأَنَّهُ أَوْلَى بِهِ وَ أَصْلَحُ فِيْمَا لَا يُتَيَقَّنُ إِصْلَاحُهُ وَ فَسَادُهُ.
Dan tidak puas adalah menyebut sesuatu yang bukan ketentuan dari Allah ta‘ālā, dengan bahwasanya hal itu lebih utama dibandingkan dengan ketentuan Allah dan lebih layak, sesuatu yang ia tidak dapat meyakini kemaslahatannya dan kerusakannya.”
رُوِيَ أَنَّهُ تَعَالَى قَالَ: مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ وَ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلَائِيْ وَ لَمْ يَشْكُرْ عَلَى نَعْمَائِيْ فَلْيَتَّخِذْ رَبًّا سِوَائِيْ.
Diriwayatkan (KS: 8010) bahwa Allah ta‘ālā telah berfirman: “Siapa saja yang tidak rela dengan keputusan-Ku dan tidak sabar terhadap cobaan-Ku dan tidak bersyukur atas karunia-karuniaKu, maka silahkan ambil-lah tuhan selain-Ku.”
(قَوْلُهُ: الزُّهْدُ)، هُوَ أَنْ لَا يَكُوْنَ بِمَا فِيْ أَيْدِي النَّاسِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا عِنْدَ اللهِ
(Ucapan ulama tersebut: “zuhud”), yaitu tidak menjadikan apa yang ada di tangan manusia lebih diandalkan olehnya, daripada apa yang ada di sisi Allah.
وَ لَيْسَ الزُّهْدُ هُوَ تَرْكُ الْحَلَالِ وَ إِضَاعَةُ الْمَالِ.
Dan zuhud bukanlah berpengertian meninggalkan perkara halal dan menyia-nyiakan harta benda. (KS: 8111).
وَ فِي الْحَدِيْثِ: “مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَكْرَمَ النَّاسِ فَلْيَتَّقِ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ
Dan di dalam hadits [disebutkan] (KS: 8212): “Siapa saja yang merasa senang dirinya untuk menjadi manusia paling mulia, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla.
وَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
Dan siapa saja yang merasa senang dirinya menjadi manusia paling kuat, maka hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.
وَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ اللهِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِهِ”
Dan siapa saja yang merasa senang dirinya menjadi manusia yang paling kaya, maka hendaklah ia menjadikan apa yang ada di sisi Allah lebih diandalkan olehnya, daripada apa yang ada di tangannya [penguasaannya].”
فَقَوْلُهُ مَنْ سَرَّهُ بِهَاءِ الضَّمِيْرِ مَعْنَاهُ مَنْ أَحَبَّ كَمَا قَالَهُ السَّيِّدُ أَحْمَدُ دَحْلَانُ.
Adapun sabda Nabi s.a.w.: “man sarrahu” dengan hā’ dhamīr, maknanya adalah siapa saja yang menyukai, sebagaimana Sayyid Aḥmad Daḥlān mengatakannya.
وَ فِيْ مُخْتَصَرِ مِنْهَاجُ الْعَابِدِيْنَ رُوِيَ: رَكْعَتَانِ مِنْ رَجُلٍ عَالِمٍ زَاهِدٍ قَلْبُهُ خَيْرٌ وَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ عِبَادَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ أَبَدًا وَ سَرْمَدًا.
Dan di dalam kitab ringkasan dari kitab Minhāj-ul-‘Ābidīn [disebutkan]: “Diriwayatkan [bahwa]: “Dua raka‘at dari seorang lelaki yang berilmu yang zuhud hatinya adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ta‘ālā daripada ibadahnya para ahli ibadah, [yang beribadah] sampai akhir masa, selamanya, dan sepanjang masa.” (KS-8313)
(قَوْلُهُ: وَ التَّوْبَةُ)،
(Ucapan beliau tadi: “taubat”)
وَ لَهَا ثَلَاثَةُ أَرْكَانٍ: الْأَوَّلُ الْإِقْلَاعُ عَنِ الذَّنْبٍ
Dan taubat itu memiliki tiga rukun. (KS-8414). Yang pertama adalah merenggut diri dari dosa.
فَلَا يَصِحُّ تَوْبَةُ الْمَكَّاسِ مَثَلًا إِلَّا إِذَا أَقْلَعَ عَنِ الْمَكْسِ.
Maka tidak sah taubat-nya pemungut pajak, umpamanya, kecuali apabila ia telah merenggut diri dari memungut pajak.
وَ الثَّانِيْ: النَّدَمُ عَلَى فِعْلِهَا لِوَجْهِ اللهِ تَعَالَى
Yang kedua adalah menyesal atas perbuatan dosa tersebut, karena dzāt Allah ta‘ālā.
فَلَا تَصِحُّ تَوْبَةُ مَنْ لَمْ يَنْدُمْ أَوْ نَدِمَ لِغَيْرِ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى كَأَنْ نَدِمَ لِأَجْلِ مُصِيْبَةٍ حَصَلَتْ لَهُ.
Maka tidak sah taubat-nya orang yang tidak menyesal, atau menyesal karena selain dzāt Allah ta‘ālā seperti menyesal karena terjadinya musibah yang didapati olehnya.
وَ الثَّالِثُ: الْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ إِلَى مِثْلِهَا أَبَدًا فَلَا يَصِحُّ تَوْبَةُ مَنْ لَمْ يَعْزَمْ عَلَى عَدَمِ الْعَوْدِ
Dan [rukun] yang ketiga adalah bercita-cita untuk tidak akan kembali kepada perbuatan dosa yang sama, selamanya.
وَ هذَا إِنْ لَمْ تَتَعَلَّقِ الْمَعْصِيَةُ بِالْآدَمِيِّ فَإِنْ تَعَلَّقَتْ بِهِ فَلَهَا شَرْطٌ رَابِعٌ
Dan ketiga rukun ini jika maksiat [perbuatan berdosa] itu tidak berkaitan dengan ḥaqq Ādamī [hak manusia]. Maka jika berkaitan dengannya, maka taubat tersebut memiliki syarat yang keempat,
وَ هُوَ رَدُّ الظَّلَامَةِ إِلَى صَاحِبِهَا أَوْ تَحْصِيْلُ الْبَرَاءَةِ مِنْهُ تَفْصِيلًا لَا إِجْمَالًا.
yaitu mengembalikan perkara yang dizhalimi kepada pemiliknya, atau berupaya mendapatkan pembebasan dari orang yang dizhalimi, secara terperinci, bukan secara global.
Catatan:
Terdapat di Iḥyā’u ‘Ulūmiddīn, Juz IV, halaman 220, baris ke 9-10, Sayyidinā Ibnu Mas‘ūd r.a. berkata: رَكَعَتَانِ مِنْ زَاهِدٍ قَلْبُهُ خَيْرٌ لَهُ وَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ عِبَادَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ أَبَدًا سَرْمَدًا.