Setelah makan sedikit untuk berbuka puasa (bukan sebelum atau sesudahnya) – (lihat pembahasan tentang (إِذَا أَفْطَرَ – ketika telah berbuka, dan doanya: Telah hilang rasa haus dan menjadi basah tenggorokan dan telah dinyatakan pahala) – Sh.), disunnahkan untuk membaca doa, yaitu sebagai berikut:
اللهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَ ثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.
Yang artinya
“Ya Allah untuk Engkau aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Telah hilang rasa haus dan menjadi basah tenggorokan dan telah dinyatakan pahala, in syā’ Allāh.”
Jika dia ingin mandi dari hadats besar, sunnah baginya untuk mandi sebelum fajar, dan tidak wajib. Hikmahnya agar dia menjalani ibadah puasa dari awalnya dalam keadaan suci dan tidak junub. Hal ini supaya dia tidak kemasukan air waktu mandi.
Dan jika dia tidak mandi dan menunaikan ibadah puasa dalam keadaan junub tidak apa-apa karena thahārah (suci) bukan syarat sahnya puasa.
Disunnahkan pada malam-malam bulan Ramadhān untuk menunaikan shalat tarāwīḥ. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري).
Yang artinya:
“Barang siapa yang menghidupkan malam Ramadhān karena Īmān dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhārī).
Yang dimaksud dengan menghidupkan malam Ramadhān pada hadits di atas adalah shalat tarāwīḥ.
Jumlah rakaat dalam shalat tarāwīḥ adalah 20 rakaat dan harus melakukan salam setiap 2 rakaat dan waktunya dimulai setelah shalat ‘Isyā’ hingga terbitnya fajar shādiq.
Shalat witir disunnahkan dikerjakan pada malam Ramadhān atau malam-malam lainnya. Akan tetapi shalat witir di bulan Ramadhān mempunyai tiga perbedaan, yaitu:
Dan paling sedikit rakaat witir adalah satu rakaat sedangkan paling banyak adalah 11 rakaat.
Pada bulan Ramadhān disunnahkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’ān. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: الصِّيَامُ وَ الْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّيْ مَنَعْتُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ. وَ يَقُوْلُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ فَيَشْفَعَانِ. (رواه الإمام أحمد)
Yang artinya:
“Al-Qur’ān dan puasa akan memberikan syafa‘at (pertolongan) kepada seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata kepada Allah: Wahai Tuhanku aku cegah dirinya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka berikanlah idzin untukku untuk memberikan syafa‘at untuknya. Dan al-Qur’ān berkata: Dan aku mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berikanlah idzin kepadaku untuk memberikan syafa‘at untuknya. Maka mereka berdua diperkenankan memberikan syafa‘at.” (HR. Imām Aḥmad).
Dan yang afdhal membacanya dengan cara tadarrusan (membaca al-Qur’ān bersama-sama).
Sesuai dengan nama lain dari bulan Ramadhān adalah bulan perluasan, karena itu kita dituntut pada bulan ini untuk banyak bershadaqah. Dan shadaqah pada bulan Ramadhān, paling afdhalnya shadaqah. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan Imām Tirmidzī:
عَنْ أَنَسٍ (ر) قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِيْ رَمَضَانَ. (رواه الترمذي).
Yang artinya:
“Dari Anas r.a. berkata: “Ditanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w.: Apakah paling afdhalnya shadaqah? Maka dijawab oleh Rasūlullāh s.a.w.: “Adalah shadaqah pada bulan Ramadhān”.” (HR. Tirmidzī).
Beri‘tikaf walaupun bukan bulan Ramadhān hukumnya sunnah. Akan tetapi dalam bulan Ramadhān lebih diutamakan, karena hal itu akan menjaga orang yang berpuasa dari hali-hal yang membatalkan pahala puasanya. Dan lebih-lebih pada 10 hari yang terakhir. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w.. Hal ini sejalan dengan hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imām Muslim:
إِنَّهُ كَانَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. lebih giat di dalam 10 hari yang terakhir yang tidak dilakukannya pada hari-hari yang lain.” (HR. Muslim).
عَنْ عَائِشَةَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ يَعْتكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari Sayyidah ‘Ā’isyah r.a, ia berkata: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. beri‘tikaf pada sepuluh malam yang terakhir, sampai Rasūlullāh s.a.w. wafat. Kemudian beri‘tikaf setelah beliau istri-istri beliau.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Dan juga kita diperintahkan untuk lebih giat beribadah pada malam-malam ini supaya kita mendapatkan malam lailat-ul-qadar. Jumhur ulama mengatakan bahwa malam itu ada pada malam 10 yang terakhir terutama pada malam-malam yang ganjil.
Kita juga dituntut pada bulan ini untuk melipat-gandakan amal kebaikan karena pada bulan ini semua amal kebaikan dilipat-gandakan pahalanya, dan menjauhi perbuatan maksiat. Karena diriwayatkan bahwa setiap malam Ramadhān dikatakan: “Wahai orang-orang yang menginginkan kebaikan, mendekatlah (karena pintu itu terbuka) dan wahai orang yang menginginkan keburukan menjauhlah….”
Melakukan ḥijāmah/berbekam hukumnya makruh karena hal itu akan melemahkan badan, demikian juga dengan puasa juga melemahkan badan, maka berkumpullah dua hal yang melemahkan badan. Oleh karenanya dimakruhkan, apalagi menurut madzhab Ḥanbalī bahwa hal itu membatalkan puasa.
Mencicipi makanan atau minuman, jika diperlukan hukumnya tidak makruh atau mubah. Akan tetapi jika tidak diperlukan, maka hukumnya makruh. Dan jika menelan makanan itu tanpa sengaja dikarenakan mencicipinya memang diperlukan, maka tidak batal puasanya. Dan jika tidak perlu atau sengaja menelannya, maka batallah puasanya.
Dan yang dimaksud dengan diperlukan adalah tidak ada yang dapat mencicipinya selain dia. Adapun jika ada yang dapat mencicipinya tanpa dikhawatirkan akan membatalkan puasa, misalnya di sana ada perempuan haidh, anak kecil dan lain-lainnya, maka hal itu masuk kategori tidak perlu, sehingga jika dia yang mencicipinya hukumnya makruh.
Apabila menyikat gigi (Siwak) setelah masuknya waktu Zhuhur, maka hukumnya makruh, baik dengan odol ataupun tidak, atau memakai alat siwak. Akan tetapi jika memakai odol dan tertelan odol itu, maka batallah puasanya. Hikmah dimakruhkan hal itu, karena menyikat gigi akan menghilankan bau mulut, yang mana hal itu dituntut oleh syara‘ untuk dibiarkan, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari Abū Hurairah r.a.: Bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau misk.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Sedangkan hikmah makruhnya setelah masuknya waktu Zhuhur, karena biasanya mulut akan berubah pada waktu itu.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَ الشُّرْبِ فَقَطْ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ. (رواه الحاكم في صحيحه)
Artinya:
“Bersabda Rasūlullāh s.a.w.: “Bukanlah berpuasa itu hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu (menahan) dari perkataan yang keji dan yang tidak ada gunanya”. (HR. al-Ḥākim dalam kitab Shaḥīḥ-nya yakni al-Mustadrak)
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ. (رواه ابن ماجه).
Yang artinya:
“Berapa banyak orang yang berpuasa sedangkan dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasa kecuali lapar.” (HR. Ibnu Mājah).
5. Berbuka dengan makanan sekedarnya, tidak berlebihan dalam mengenyangkan perut sehingga dia akan malas untuk melaksanakan shalat tarāwīḥ.