03-1 Mengenai Kunci Surga – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: 03 Mengenai Kunci Surga - Kasyifat-us-Saja’ | Syekh Nawawi al-Bantani

َصْلٌ): فِيْ بَيَانِ مِفْتَاحِ الْجَنَّةِ.وَ هِيَ كَلِمَةُ التَّوْحِيْدِ وَ كَلِمَةُ الْإِخْلَاصِ وَ كَلِمَةُ النَّجَاةِ،

(FASAL) mengenai kunci surga, yaitu kalimat tauhid, dan mengenai kalimat ikhlash dan kalimat keselamatan.

 

وَ قَدْ ذُكِرَتْ فِي الْقُرْآنِ فِيْ سَبْعَةٍ وَ ثَلَاثِيْنَ مَوْضِعًا.

Dan sungguh kalimat-kalimat itu telah disebutkan di dalam al-Qur’ān di 37 tempat [ayat al-Qur’ān).

قَالَ الْمُصَنَّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: (وَ مَعْنَى لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ) كَائِنٌ (فِي الْوُجُوْدِ إِلَّا اللهُ)

Berkata pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] r.h. (Artinya tidak ada tuhan kecuali Allah adalah tidaklah dzat yang disembah dengan benar itu) ada (di dalam perwujudan, kecuali hanya Allah).

أَيْ لَا يَسْتَحِقُّ أَنْ يَذُلَّ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا اللهُ

Maksudnya adalah tidak ada yang berhak, terhadap setiap sesuatu itu menundukkan diri [mengabdi sebenar-benar mengabdi] kepadanya, kecuali hanya kepada Allah.

قَوْلُهُ: إِلَّا اللهُ بِالرَّفْعِ بَدَلٌ مِنْ مَحَلٍّ لَا مَعَ اسْمِهَا لِأَنَّ مَحَلَّهَا رُفِعَ بِالْاِبْتِدَاءِ عِنْدَ سِيْبَوَيْهَ

Ucapan pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] r.h.: “illallāh [kecuali Allah]”, dengan dibaca rafa‘ sebagai badal dari kedudukan lā serta isimnya, karena sesungguhnya kedudukan lā itu di-rafa‘-kan dengan sebab ibtida’, menurut Imām Sibawaih.

أَوْ بَدَلٌ مِنَ الضَّمِيْرِ الْمُسْتَتِرِ فِيْ خَبَرِ لَا الْمَحْذُوْفِ وَ التَّقْدِيْرُ لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ أَوْ مُمْكِنٌ بِالْإِمْكَانِ الْعَامِّ إِلَّا اللهُ

Atau sebagai badal dari dhamīr yang tersimpan di dalam khabar lā, yang dibuang. Dan perkiraan [kalimatnya] adalah lā ilāha maujūd aw mumkinun bil-imkān-il-āmmi illallāh [tidak ada tuhan itu wujud atau mungkin ada dengan kemungkinan umum, kecuali Allah).

أَوْ بِالنَّصْبِ عَلَى الْاِسْتِثْنَاءِ، وَ لَا يَصِحُّ جَعْلُهُ بَدَلًا مِنْ مَحَلِّ اسْمِ لَا لِأَنَّ لَا لَا تَعْمَلُ فِي الْمَعَارِفِ كَذَا قَالَ شَيْخُنَا يُوْسُفُ،

Atau dengan di-nashab-kan [dibaca fatḥah] berdasarkan kedudukan istitsnā, namun tidaklah menjadikannya sebagai badal dari kedudukan isim lā, karena sesungguhnya lā tidak berfungsi pada kalimat-kalimat isim ma‘rifat. Demikian pendapat guru kami Syaikh Yūsuf.

قَالَ السَّنُوْسِيُّ وَ الْيُوْسِيُّ: وَ الْمَنْفِيُّ فِيْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ الْمَعْبُوْدُ بِحَقٍّ فِي اعْتِقَادِ عَابِدِ نَحْوِ: الْأَصْنَامِ وَ الشَّمْسِ وَ الْقَمَرِ

Telah berkata Syaikh as-Sanūsī dan Syaikh al-Yūsī: “Perkara yang ditiadakan dalam kalimat lā ilāha illallāh adalah dzat yang disembah dengan ḥaqq di dalam keyakinan penyembah terhadap seumpama berhala-berhala, matahari dan bulan.”

وَ ذلِكَ أَنَّ الْمَعْبُوْدَ بِبَاطِلٍ لَهُ وُجُوْدٌ فِيْ نَفْسِهِ فِي الْخَارِجِ

Dan ketentuan itu [dikarenakan] bahwa dzat yang disembah dengan secara bathil itu, dzat tersebut memiliki wujud bagi dirinya, di kenyataan.

وَ وُجُوْدٌ فِيْ ذِهْنِ الْمُؤْمِنِ بِوَصْفِ كَوْنِهِ بَاطِلًا

Dan memiliki wujud dalam fikiran orang beriman dengan menyifati [membayangkan] adanya dzat yang disembah tersebut adalah suatu yang bathil.

وَ وُجُوْدٌ فِيْ ذِهْنِ الْكَافِرِ بِوَصْفِ كَوْنِهِ حَقًّا

Sedangkan wujud tuhan yang disembah secara bathil dalam fikiran orang kafir itu dengan menyifati keadaan sembahan itu sebagai perkara yang benar.

فَهُوَ مِنْ حَيْثُ وُجُوْدُهُ فِي الْخَارِجِ فِيْ نَفْسِهِ لَا يُنْفَى لِأَنَّ الذَّوَاتِ لَا تُنْفَى،

Maka tuhan yang disembah secara bathil itu, dari sisi berwujudnya di kenyataan, pada dzatnya itu tidak bisa tiada, karena sesungguhnya semua dzat itu tidak bisa ditiadakan.

وَ كَذَا مِنْ حَيْثُ وُجُوْدُهُ فِيْ ذِهْنِ الْمُؤْمِنِ بِوَصْفِ كَوْنِهِ بَاطِلًا

Begitupun dari sisi berwujudnya di fikiran orang beriman, dengan menyifati keadaan dzat yang sembah adalah perkara yang bathil,

إِذْ كَوْنُهُ مَعْبُوْدًا بِبَاطِلٍ أَمْرٌ مُحَقَّقٌ لَا يَصِحُّ نَفْيُهُ وَ إِلَّا كَانَ كَاذِبًا

Sebab keadaan tuhan yang disembah secara bathil sebagai sesuatu yang disembah secara bathil, adalah perkara yang dapat dibuktikan, di mana meniadakannya tidaklah sah meniadakan dzat sembahan itu. Dan jika tidak demikian, maka ia adalah pendusta.

وَ إِنَّمَا يُنْفَى مِنْ حَيْثُ وُجُوْدُهُ فِيْ ذِهْنِ الْكَافِرِ بِوَصْفِ كَوْنِهِ مَعْبُوْدًا بِحَقٍّ

Dan sesungguhnya tuhan yang disembah secara bathil itu ditiadakan hanyalah dari sisi wujud dzat sembahan dalam fikiran orang kafir, dengan disifati keadaan dzat itu sebagai dzat sembahan secara benar.

فَلَمْ يُنْفَ فِيْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ إِلَّا الْمَعْبُوْدُ بِحَقٍّ غَيْرِ اللهِ فَالْاِسْتِثْنَاءُ مُتَّصِلٌ

Maka tidak ditiadakan dalam kalimat Tidak ada tuhan selain Allah, kecuali suatu sesembahan dengan benar yang selain Allah. Maka macam istitsnā [pengecualian] dengan pengertian ini tergolong istisnā muttashil [pengecualian yang bersambung digunakan untuk perkara yang sejenisnya (kaidah nahwu)].

وَ لَيْسَ الْمَنْفِيُّ أَيْضًا الْمَعْبُوْدُ بِبَاطِلٍ فِيْ ذِهْنِ الْكَافِرِ لِأَنَّهُ اللهُ تَعَالَى

Dan [tuhan yang disembah] yang ditiadakan itu juga bukanlah tuhan yang disembah secara bathil dalam fikiran orang kafir, karena bahwasanya tuhan yang dimaksud [dalam fikiran orang kafir] itu adalah Allah ta‘ālā.

وَ الْقَصْدُ بِهذِهِ الْجُمْلَةِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَعْتَقِدُ الشِّرْكَةَ

Dan tujuan dari sejumlah kalimat tauḥīd ini adalah menolak terhadap siapa saja yang meyakini kemusyrikan [penyekutuan tuhan dengan selain-Nya].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *