BAB III
Di antara syarat sahnya ibadah puasa adalah hari yang kita ingin berpuasa pada hari itu bukan hari-hari yang haram kita berpuasa.
Oleh karenanya penting kiranya diketahui hari-hari yang haram kita berpuasa. Adapun hari-hari tersebut adalah sebagai berikut:
Hari raya ‘Īd-ul-Fithri yaitu tanggal 1 Syawwāl dan ‘Īd-ul-Adhḥā pada tanggal 10 Dzul-Hijjah adalah dua hari raya yang haram kita berpuasa pada dua hari tersebut, berdasarkan hadits Rasūl s.a.w.:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمَ فِطْرٍ وَ يَوْمِ أَضْحَى.(متفق عليه)
Artinya:
“Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. melarang untuk berpuasa pada dua hari yaitu hari raya ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Sedangkan hikmahnya adalah karena pada dua hari itu kita berada dalam jamuan Allah, maka tidak pantas jika berpuasa. Pada dua hari tersebut adalah hari-hari di mana orang bersilaturrahmi kepada kerabat mereka yang biasanya ada jamuan makanan yang disuguhkan oleh kerabat tersebut, sehingga akan menyinggung perasaan mereka jika kita berpuasa.
Pada dua hari itu, biasanya disunnahkan untuk bersenang-senang dan bermain-main bersama keluarga, maka akan tidak menyenangkan jika melalui hari tersebut dengan puasa. Apalagi pada hari raya ‘Īd-ul-Fithri di mana hari-hari sebelumnya dilalui dengan puasa. Jika dia berpuasa pada hari raya tersebut, seakan keterusan dari puasa sebelumnya.
Itulah di antara hikmah mengapa agama mengharamkan kita berpuasa pada dua hari tersebut.
Hari-hari Tasyrīq adalah tanggal 11, 12, 13 bulan Dzul-Ḥijjah. Diharamkan puasa pada hari itu berdasarkan sabda Rasūl s.a.w.:
أَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ: أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى (رواه مسلم)
Artinya:
“Bahwasanya Rasūl s.a.w. bersabda: Hari-hari Minā adalah hari-hari untuk makan dan minum dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim).
Sedangkan hari-hari tersebut dinamakan hari-hari Tasyrīq dikarenakan pada hari-hari tersebut banyak sekali daging sembelihan korban dan fidyah, sehingga untuk menjaga agar daging-daging tersebut tidak rusak, maka mereka menjemur daging-daging tersebut untuk dijadikan dendeng. Jadi arti tasyrīq adalah menjemur.
Yang dimaksud dengan hari syakk adalah tanggal 30 Sya‘bān, di mana pada hari itu tidak ada pengumuman dari pemerintah bahwa hari itu tanggal satu Ramadhān, akan tetapi ada yang menyaksikan bulan. Akan tetapi tidak diterima kesaksiannya, karena tidak memenuhi syarat ‘adl syahadah, misalnya yang menyaksikan seorang wanita, anak kecil atau orang fasik berdasarkan hadits Rasūl s.a.w.:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ. (رواه أصحاب الأربعة)
Artinya:
“Barang siapa berpuasa pada hari syakk, maka dia telah melanggari perintah Abul-Qāsim s.a.w.”
Berpuasa pada paruh kedua dari bulan Sya‘bān hukumnya haram berdasarkan sabda Rasūl s.a.w.:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُوْمُوْا.
Artinya:
“Jika sudah masuk paruh kedua dari bulan Sya‘bān, maka janganlah kalian berpuasa.”
Dan yang dimaksud paruh kedua adalah tanggal 16, 17, 18 sampai akhir bulan. Akan tetapi jika berpuasa pada hari-hari itu, begitu pula hari syakk, untuk mengerjakan puasa wajib, misalnya qadhā’ puasa Ramadhān, kaffārah dan lain-lain, atau sudah terbiasa setiap Senin Kamis berpuasa, atau berpuasa Daud, atau juga jika disambung dengan hari sebelumnya, misalnya puasa hari 15, maka boleh puasa hari keenambelas dan seterusnya. Maka puasa-puasa tersebut di atas tidak haram pada hari-hari itu.
Jika sudah pasti masuknya waktu maghrib dengan mendengar suara adzan atau dengan menyaksikan sendiri terbenamnya matahari, maka disunnahkan untuk segera berbuka. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan Imām Bukhārī dan Imām Muslim:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ (ص) قَالَ النَّبِيُّ (ص): لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Manusia itu masih dalam keadaan baik selama mereka mempercepat buka puasa.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Dan jika masih ragu, apakah sudah masuk waktunya berbuka atau belum, maka haram hukumnya berbuka, sampai dia betul-betul yakin masuknya waktu maghrib. Dan makruh hukumnya mengakhirkan berbuka, jika dia meyakini bahwa dalam hal itu ada fadhilahnya.
Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan Imām Bukhārī dan Imām Muslim:
عَنْ أَنَسٍ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari Anas r.a. berkata: Bersabda Rasūlullāh s.a.w.: “Bersahurlah kalian, karena di dalam sahur itu ada keberkahan.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Disunnahkan di dalam makan sahur untuk diakhirkan, sehingga mendekati waktu fajar shadiq dengan jarak waktu kira-kira satu jam. Hal itu akan menguatkan stamina di dalam menunaikan ibadah puasa. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad:
لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَ أَخَّرُوا السَّحُوْرَ. (رواه الإمام أحمد)
Yang artinya:
“Umatku masih dalam keadaan baik selama mereka mempercepat buka puasa dan mengakhirkan makan sahur.” (HR. Imām Aḥmad).
Adapun syarat mengakhirkan makan sahur adalah tidak membawanya dalam keraguan. Karena jika ragu dalam hal itu, apakah masih ada waktu bersahur atau tidak, maka yang lebih baik meninggalkan makan sahur, karena sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ (ر) عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ. (رواه الترمذي و النسائي)
Yang artinya:
“Tinggalkan sesuatu yang engkau ragu di dalam hal itu, untuk setiap yang tidak ragu di dalamnya.” (HR. Tirmidzī dan an-Nasā’ī).
Juga sunnah bagi orang yang makan sahur kira-kira seperempat jam sebelum fajar, untuk imsāk (berjaga-jaga) agar tidak makan sesuatu setelah terbitnya fajar shādiq.
Ketika berbuka puasa, disunnahkan untuk berbuka dengan buah kurma. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imām Tirmidzī:
إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طُهُوْرٌ. (رواه الترمذي).
Yang artinya:
“Jika ingin berbuka puasa salah satu di antara kamu maka berbukalah dengan buah kurma kalau tidak ada maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci.” (HR. Tirmidzī).
Hikmah syara‘ memerintahkan kita berbuka dengan buah kurma adalah karena buah kurma itu dapat mengembalikan kekuatan mata yang melemah disebabkan puasa. Dan jika tidak ada buah kurma dapat berbuka dengan sesuatu yang rasanya manis, atau berbuka dengan air.