وَ الرِّضَا وَ الْمَحَبَّةُ غَيْرُ الْمَشِيْئَةِ وَ الْإِرَادَةِ “فَلَا يَرْضَى لِعَبَادِهِ الْكُفْرِ”، “وَ لَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ”.
هُوَ الرَّزَّاقُ، وَ الرِّزْقُ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ وَ لَوْ حَرَامًا.
Ridhā (kerelaan) dan maḥabbah (kecintaan) berbeda dengan kemauan dan kehendak. “Maka Allah tidak ridhā pada hamba-Nya dengan kekufuran”, “Andai Tuhanmu menghendaki pastilah mereka tidak akan melakukannya.”
Allah adalah Pemberi rizqi. Rizqi adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan, meski haram.
RIDHĀ DAN MAḤABBAH
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama’ ahl-us-sunnah mengenai samakah antara ridhā (kerelaan) atau maḥabbah (kecintaan) dengan masyī’ah (kemauan) dan irādah (kehendak). (501).
Pendapat pertama, bahwa ridhā, maḥabbah, masyī’ah dan irādah adalah semakna. Pendapat ini dipedomani mayoritas ulama’, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Āmudiy, dan direkomendasikan oleh Syaikh Abū Isḥāq asy-Syirāziy.
Pendapat kedua, bahwa antara ridhā atau maḥabbah, dengan masyī’ah atau irādah terdapat perbedaan. Pendapat ini direkomendasikan oleh Jam‘-ul-Jawāmi‘. Pendapat ini mendasarkan pandangannya pada sejumlah argumentasi. Di antaranya adalah firman Allah:
وَ لَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ (الزمر: 7)
“Allah tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya.” (QS. Az-Zumar: 7).
وَ اللهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ (البقرة: 205)
“Dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (al-Baqarah: 205).
Allah tidak ridhā akan kekufuran. Allah juga tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi Allah tetap berkemauan dan berkehendak demikian, sebagaimana firman Allah:
وَ لَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَ مَا يَفْتَرُوْنَ. (الأنعام: 112)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya.” (QS. Al-An‘ām: 112).
Pendapat pertama menyanggah, bahwa yang dikehendaki dengan “hamba-hambaNya” adalah orang-orang mu’min. Karenanya Allah memuliakan mereka dengan penyandaran kemampuan, seperti dalam ayat berikut:
إِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ. (الإسراء: 65)
“Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu (syaithān) tidak dapat berkuasa atas mereka.” (al-Isrā’: 65).
Imām as-Suyūthī menambahkan, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang penafsiran Sūrat-uz-Zumar ayat 7 di atas, bahwa Allah tidak meridhai untuk kekafiran bagi hamba-hambaNya, yakni orang-orang yang Dia kehendaki untu disucikan hati mereka dengan ucapan Lā ilāha illallāh. Maka yang dikehendaki dengan “para hamba-Nya” pada Sūrat-uz-Zumar ayat 7 adalah para hamba yang ikhlash. (512)
Berpijak pada pendapat yang menyatakan adanya perbedaan, bahwa ridhā lebih khusus, karena ridhā adalah irādah (kehendak) tanpa memperjelas. Sebagian ulama’ membagi irādah dalam dua pembagian (523):
1. Irādah amr wa tasyrī‘ (kehendak berupa perintah dan pensyariatan). Ini berhubungan dengan ketaatan dan kemaksiatan, baik terjadi ataupun tidak. Terkait dengan irādah bentuk ini, sebuah ayat mengisyaratkan:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. (البقرة: 185)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
2. Irādah qadhā’ wa taqdīr (kehendak berupa kepastian dan ketentuan). Ini mencakup segala hal yang terjadi, baik ketaatan ataupun kemaksiatan.
Terkait dengan irādah bentuk ini, sebuah ayat mengisyaratkannya:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَ مَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (al-An‘ām: 125).
Selanjutnya, kesamaan makna antara irādah dan masyī’ah adalah sebagaimana pandangan mayoritas ulama’. Ada pula yang membedakan di antara keduanya. Bahwa irādah adalah kehendak yang dapat dilihat Malaikat, karena muatannya tercatat dalam Lauḥ-ul-Maḥfūzh. Sedangkan masyī’ah adalah kehendak yang tidak dapat dilihat. (534).
Catatan: