Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya – Syarah al-Hikam – asy-Syarqawi

Al-Ḥikam
Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
Judul Asli: Syarḥ-ul-Ḥikami Ibni ‘Athā’illāh-il-Iskandarī

Pensyarah: Syaikh ‘Abdullāh asy-Syarqawī
Penerjemah: Iman Firdaus, Lc.
Diterbitkan oleh: Turos Pustaka

Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya.

 

21. طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ وَ طَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ عَنْهُ مِنْكَ وَ طَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ وَ طَلَبُكَ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُوْدِ بُعْدِكَ عَنْهُ

Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti menggibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Dalam perjalanannya menuju Allah, seorang murīd harus sibuk melakukan amal-amal shaleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.

Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.

Bila kau mencari-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan gibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dia Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.

Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.

Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedektan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhlukNya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.

Bagi kalangan murid, meminta kepada Sang Khāliq adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang ‘arif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada Sang Khāliq.

 

22. مَا مِنْ نَفَسٍ تُبْدِيْهِ إِلَّا وَ لَهُ قَدَرٌ فِيْكَ يُمْضِيْهِ

Pada setiap desahan napas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Setiap nafas yang keluar darimu telah ditakdirkan Allah, baik yang terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap nafas yang keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah untukmu, siapa pun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan napasmu. Dengan begitu, di setiap napas, kau menjadi seorang sālik yang ingin meniti jalan menuju Allah. Inilah makna ungkapan “jalan menuju Allah sebanyak desahan napas seluruh makhluk.”

 

23. لَا تَتَرَقَّبْ فُرُوْغَ الْأَغْيَارِ فَإِنَّ ذلِكَ يَقْطَعُكَ عَنْ وُجُوْدِ الْمُرَاقَبَةِ لَهُ فِيْمَا هُوَ مُقِيْمُكَ فِيْهِ

Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas aḥwāl yang telah ditetapkan-Nya untukmu.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Kecenderungan-kecenderungan kepada dunia memang merupakan kegelapan yang dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan-kecenderungan itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (aḥwāl) yang telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa ‘amal-‘amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam pengawasan-Nya.

Yang dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqāmah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk ke dalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.

Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan: “Kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan ‘amal shaleh.

Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini adalah kotoran-kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau harus kau hadapi.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *