02 Iman Kepada Allah – Intisari Ilmu Tauhid

قَطْرُ الْغَيْث
INTISARI ILMU TAUHID
Terjemah dari Kitab Qathr-ul-Ghaits.

Pengarang: Asy-Syaikh Naser bin Muhammad as-Samarqandi
& asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar al-Jawi
 
 
Penerjemah: Muhammad Tsaqief
Penerbit: MUTIARA ILMU

BAB II

ĪMĀN KEPADA ALLAH

مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:

كَيْفَ تُؤْمِنُ بِاللهِ؟

فَالْجَوَابُ إِنَّ اللهَ تَعَالَى أَحَدٌ حَيٌّ عَالِمٌ قَادِرٌ مُرِيْدٌ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُتَكَلِّمٌ بَاقٍ خَلَّاقٌ رَزَّاقٌ رَبٌّ وَ مَالِكٌ بِلَا شَرِيْكٍ وَ لَا ضِدٌّ وَ لَا نِدٌّ.

S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Bagaiman cara anda Īmān kepada Allah?”.”

J: “Cara īmān kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah s.w.t. Maha Esa, Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Bicara, Maha Kekal, Maha Mencipta, Maha Memberi rezeki, Dia adalah Tuhan dan Penguasa tanpa sekutu dan tanpa ada penentang.”

Keterangan:

Allah Maha Esa (Aḥad), artinya Allah itu esa dalam sifat, tidak ada sesuatu selain-Nya yang memiliki sifat seperti sifat-sifatNya. Dan Allah itu esa dalam dzāt-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah Maha Hidup (Ḥayyun), artinya Allah itu Maha Hidup sejak dahulu (Qadīm) dengan sendiri-Nya tanpa rūḥ.

Allah Maha Mengetahui (‘Ālimun), artinya Allah itu mengetahui dengan pengetahuan yang qadīm dan dengan dzāt-Nya sendiri tanpa perantara apapun terhadap segala sesuatu yang mencakup hal yang wājib, jā’iz dan mustaḥīl.

Allah Maha Kuasa (Qadīr), artinya Allah itu kuasa atas segala sesuatu dengan kekuasaan yang qadīm dan dengan dzāt-Nya sendiri, tanpa menggunakan perantara dan tidak mengalami kelemahan sedikitpun. Kekuasaan (Qudrat) Allah s.w.t, itu berhubungan dengan hal-hal yang mungkin (mumkināt).

Allah Maha Berkehendak (Murīd), artinya Allah Berkehendak terhadap apa saja yang mungkin dengan kehendak yang qadīm bebas dengan dzāt-Nya sendiri. Kehendak Allah s.w.t. itu berhubungan dengan hal-hal yang mungkin (mumkināt).

Allah Maha Mendengar (Samī‘), artinya Allah itu mengerti segala sesuatu yang didengar pendengaran yang qadīm dan dengan sendirinya secara langsung tanpa perantaraan.

Allah Maha Melihat (Bashīr), artinya Allah mengerti segala hal yang dilihat dengan melihatnya yang qadīm secara langsung dengan dzāt-Nya tanpa perantaraan.

Allah Maha Berkata (Mutakallim), artinya Allah pasti dapat bertutur kata dengan kalām-Nya yang qadīm dan kekal, dengan dzāt-Nya sendiri. Pembicaraan Allah tanpa huruf dan tanpa suara. Jadi ucapan Allah tidak diketahui sifat tidak ada dan tidak kedatangan sifat tidak ada. Pembicaraan Allah itu ada yang berhubungan dengan perkara yang wajib wujudnya, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ. (طه: 14)

Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Thāhā: 14).

Kalām Allah berhubungan dengan hal-hal yang mustaḥīl, sebagaimana firman-Nya:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلَاثَة. (المائدة: 73)

Sungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah salah satu dari yang tiga.” (QS. al-Mā’idah: 73).

Kalām Allah berhubungan dengan hal-hal yang jā’iz, sebagaimana firman-Nya:

وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ. (الصافات: 96)

Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. ash-Shāffāt: 96).

Menurut pendapat yang paling tepat dan benar adalah maksud madlūl (kata-kata) yang kita baca semua itu kaitan kalām pribadi yang qadīm, seperti yang dikemukakan oleh Imām Ibnu Qāsim dan itulah yang disepakati oleh semua ulama muta’akhkhirīn.

Apabila kita ditanya tentang al-Qur’ān, apakah qadīm atau ḥadīts (baru), maka sebelum menjawab harus ditanyakan terlebih dahulu kepada penanya tentang maksud pertanyaannya, apabila ia berkata: yang dimaksud adalah apa yang tetap pada dzāt Allah yang ditunjukkan oleh kata-kata yang ada di depan kita, maka jawablah bahwa al-Qur’ān yang dimaksud adalah qadīm dengan qadīmnya dzāt Allah. Tetapi jika penanya mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah apa yang berada di antara sampul dua tangkuban yaitu tulisan yang ada di kertas, maka anda jawab bahwa al-Qur’ān itu maknanya, maka anda jawab bahwa lafazh yang menunjukkan kepada Dzāt Allah, atau sifat Allah, atau cerita tentang Allah, itu semuanya adalah qadīm (dahulu). Dan lafazh yang menunjukkan kepada perkara yang baru (ciptaan Allah) atau sifat perkara yang baru seperti dzāt dan sifat makhluk, seperti kebodohan kita dan kepandaian kita, itu semua adalah baru. Demikian pula cerita-cerita perkara yang baru.

Ungkapan-ungkapan seperti itu (dalam kitab-kitab samawi) disebut kalām Allah, karena dia menunjukkan kalām-Nya dan makna atau maksudnya hanya dapat difahami melalui ungkapan-ungkapan tersebut. Apabila makna atau maksud kalām Allah itu diungkapkan dengan Bahasa ‘Arab, maka kalām Allah itu disebut al-Qur’ān, apabila kalām itu disebutkan dalam bahasa ‘Ibrānī, maka disebut Taurāt, dan apabila diungkapkan dengan bahasa Siryani maka disebut Injīl dan Zabūr. Perbedaan perkataan itu tidak memastikan perbedaan ucapan. Sebagaimana Allah Pencipta langit dan bumi, ini dapat dikatakan dengan berbagai macam perkataan. Sedangkan Dzāt Allah ta‘ālā adalah Esa.

Allah Maha Kekal (Bāq, Baqā’), itu artinya Allah kekal keberadaan-Nya, tidak dapat menerima ketiadaan.

Allah Maha Pencipta (Khallāq), artinya Allah itu mewujudkan berbagai makhluk dengan kekuasaan-Nya dan banyak menentukan tiap-tiap cintaan-Nya dengan ketentuan-ketentuan yang ditentukan dengan Irādat (kehendak)-Nya.

Allah Maha Memberi Rezeki (Razzāq), artinya Allah-lah yang menciptakan rezeki dan yang memberikannya kepada makhluk-Nya.

Rezeki itu tak terbatas pada makanan dan minuman, tetapi mencakup semua yang dapat dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat, maupun lainnya. Di antara rizki yang terbesar adalah pertolongan Allah untuk melakukan ketaatan.

Rezeki itu ada dua macam, yaitu Rezeki Zhāhir dan Rezeki Bāthin. Rezeki zhāhir berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat yang berguna untuk badan, sedangkan rezeki bāthin itu berupa pengetahuan dan pemahaman-pemahaman, rezeki bathin itu untuk hati dan fikiran.

Ketahuilah, bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki-rezeki itu kepada setiap makhluk-Nya. Di antara sebab-sebab kelapangan rezeki adalah:

  1. Melakukan shalat, Allah s.w.t. berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْئَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ، وَ الْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى. (طه: 132).

Dan perintahkanlah pada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya, Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu, dan akibat baik ini untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Thāhā: 132).

  1. Membaca shalat (shalawat) dan salam kepada Nabi Muḥammad s.a.w. sebanyak mungkin.
  2. Membaca istighfar sebanyak-banyaknya.

Allah adalah Tuhan, artinya Allah-lah Tuhan yang wajib disembah. Tuhan kita adalah Allah.

Allah adalah Penguasa artinya Allah-lah yang menjadi Penguasa segala sesuatu, tanpa ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada yang menandingi-Nya, Dia adalah Penguasa tunggal. Allah berfirman:

وَ للهِ مُلْكُ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ. (آل عمران: 189).

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi.” (QS. Āli ‘Imrān: 189).

Kata syarīk berarti syabīh, kata dhiddu berarti nadzīr dan kata niddu itu berarti mumatsil. Arti tiga kata tersebut secara umum adalah menyerupai atau menyamai, tetapi ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

Nadzīr berarti sesuatu yang menyerupai sesuatu lain sekalipun hanya dalam satu segi.

Syabīḥ berarti sesuatu yang menyerupai sesuatu yang lain dalam banyak segi.

Mumatsil berarti sesuatu yang menyamai sesuatu lain dalam semua segi.

Imām al-Barawī berkata: Membicarakan dzāt Allah dan sifat-sifatNya itu tidak diperbolehkan karena menghindari pemahaman itu sebenarnya merupakan suatu pemahaman tersendiri dan membicarakan tentang dzāt Allah itu dapat mengarah kepada kesyirikan. Semua sifat makhluk yang terlintas dalam hati dan fikiran, sama sekali tidak menyerupai sifat Allah sedikitpun. Allah tidak seperti semua yang kita bayangkan.

Barang siapa menghindari empat kata, maka imannya telah sempurna, empat kata ini adalah di mana, bagaimana, kapan dan berapa.

Apabila ada orang bertanya kepada engkau: “Di mana Allah?”. Jawabnya: “Allah tidak di suatu tempat dan tidak pernah di lingkupi suatu waktu (zaman/masa).”

Apabila ada orang bertanya kepada engkau: “Bagaimana Allah?” Jawabnya: “Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya sedikitpun.”

Apabila ada orang bertanya kepada engkau: “Kapan Allah ada?” Jawabnya: “Allah Maha Awwal tanpa ada permulaannya dan Maha Akhir tanpa ada kesudahannya.”

Apabila ada orang bertanya kepada engkau: “Berapakah Allah itu?” Jawabnya: “Allah adalah satu, Allah Maha Esa.”

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، اللهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ، وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ. (الإخلاص: 1-4)

Katakanlah! Dia adalah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. al-Ikhlāsh: 1-4).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *