02-6,7 Puasa dan Zakat & Puasa, Hari Raya, Dan Fithrah Diri – Panduan Puasa Terlengkap

Panduan Puasa Terlengkap
Penulis: Efri A. Al-Bakary
 
Dicetak oleh: PT Gelora Aksara Pratama
Penerbit: Erlangga

Rangkaian Pos: 002 Berkah Indah Puasa - Panduan Puasa Terlengkap

6. PUASA DAN ZAKAT

Sedekah adalah ‘amal yang sangat dianjurkan dan zakat adalah kewajiban. Memperbanyak sedekah di bulan Ramadhān amat disukai Rasūlullāh s.a.w. dan ini juga dapat dilaksanakan di hari-hari biasa. Dalam bahasa syariat, sedekah disebut al-Jūd. Allah s.w.t. Sendiri disifat dengan Jūd Jawād karena sangat banyak pemberian-Nya dan Maha Luas anugerah-Nya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dari Sa‘īd bin Abī Waqqāsh, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Sesungguhnya Allah sangat banyak pemberian-Nya, menyukai banyak pemberian, lagi Maha Pemurah, menyukai kemurahan tangan.

Sedekah adalah memberikan bantuan lahir atau batin kepada orang-orang yang membutuhkan. Rasūlullāh s.a.w. di dalam hadits riwayat Muslim berkata bahwa setiap anggota tubuh manusia mempunyai kesempatan untuk bersedekah setiap hari, antara lain yaitu mendamaikan orang-orang yang berselisih, menolong orang naik kendaraan, melangkahkan kaki untuk pergi shalat, membuang batu, duri, atau sesuatu yang membahayakan di jalan umum juga adalah sedekah.

Begitu besarnya pahala yang diberikan Allah s.w.t. kepada seseorang yang mau bersedekah terlebih di bulan Ramadhān. Maka dari itu hendaklah kita lebih bermurah tangan di bulan Ramadhān terhadap fakir dan miskin. Rasūlullāh s.a.w. adalah teladan seorang pemurah yang melebihi dan mengatasi kemurahan semua anak Ādam. Kemurahan hati Rasūlullāh s.a.w. tidak terbatas pada harta saja, tetapi melengkapi segala bidang dan lapangan. Rasūlullāh s.a.w. sangat murah dalam memberikan ilmu, memberikan harta, dan memberikan segalanya demi menyiarkan agama Allah.

Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan petunjuk dari Allah serta menyampaikan manfaat kepada manusia, baik memberi makan kepada orang yang lapar, memberi pelajaran kepada umat, menyelesaikan segala keperluan mereka maupun dengan menanggung beban mereka.

Sedekah dan puasa adalah dua ibadah yang sangat besar pahalanya. Diriwayatkan oleh Aḥmad dari Zaid ibn Khālid, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Barang siapa memberikan makanan berbuka pada seorang yang berpuasa, niscaya dia memperoleh pahala sebagai yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut dengan tidak kurang sedikit pun.

Ada sebuah ucapan hikmah menyebut: “Shalat itu menyampaikan seseorang kepada setengah jalan, puasa itu menyampaikan ke pintu raja, sedangkan sedekah menuntun orang itu ke dalam membawa masuk kepada Sang Raja (Allah).

Mengumpulkan antara puasa dan sedekah lebih dapat menutupi kesalahan, memelihara diri dari neraka Jahannam. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dari Mu‘ādz, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Puasa ini seumpama perisai, sedangkan sedekah itu memadamkan kesalahan seperti air memadamkan api.

Puasa juga terkait zakat yang dalam bulan Ramadhān kita kenal dengan zakat fithrah. Perintah zakat fithrah disyariatkan pada tahun ke 2 Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa. Dinamakan zakat fithrah karena diberikan setelah menyelesaikan puasa. Hukum zakat fithrah wajib, sebagaimana terkandung dalam firman Allah s.w.t.:

Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasūl (Muḥammad), agar kamu diberi rahmat.” (QS. an-Nūr [24]: 56).

Kadar zakat fithrah satu gantang (2,5 kg) makanan pokok bagi tiap-tiap daerah. Satu gantang ialah empat mud. Satu mud seukuran dengan dua cedok tangan orang yang sederhana.

Zakat fithrah dikeluarkan semenjak terbenam matahari malam ‘Īd-ul-Fithri. Zakat fithrah boleh dikeluarkan sejak dari awal Ramadhān dan dimakruhkan menelatkan zakat fithri dari shalat hari raya, terkecuali karena darurat seperti tidak ada orang yang berhak menerima di tempat tersebut.

Hikmah zakat fithrah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat Ibnu ‘Abbās.

Rasūlullāh s.a.w. mewajibkan zakat fithrah sebagai penyuci orang-orang yang berpuasa dari hal-hal yang sia-sia dan kekejian, sekaligus santapan bagi orang miskin.” (HR. Abū Dāūd).

Nominal zakat fithrah tampak sedikit tapi nilainya begitu besar jika diakumulasikan dan sangat berguna membantu saudara Muslim yang fakir. Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi, dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya dapat ditunaikan bagi kalangan yang mampu saja. Maka dari itu, persentase Muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fithrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut. Hal ini sesuai dengan maqāshid (tujuan) yang disyariatkannya zakat fithrah, yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fithrahnya.

7. PUASA, HARI RAYA, DAN FITHRAH DIRI.

Puasa bulan Ramadhān terkait dengan satu hal yang spesial yakni hari raya ‘Īd-ul-Fithri. Dalam Bahasa ‘Arab, kata ‘īd diambil dari dari akar kata ‘adā, yang berarti “kembali”, sedangkan kata “fithri” adalah suci dan bersih. Jadi, ‘Īd-ul-Fithri berarti saat kita kembali bersih.

Di dalam al-Qur’ān surah al-Mā’idah diceritakan, ketika para pengikut Nabi ‘Īsā a.s. tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘īd (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi ‘Īsa a.s. agar Allah s.w.t. menurunkan hidangan mewah dari langit. Allah s.w.t. kemudian mengabulkan permintaan pengikut Nabi ‘Īsā a.s. lalu menurunkan makanan. Nah, mungkin, sejak itulah, budaya hari raya senantiasa identik dengan hal-hal yang terkait dengan makanan dan minuman yang serba mewah dan berlimpah.

Menurut ulama, dinamai ‘īd karena pada hari itu Allah s.w.t. telah mengembalikan kegembiraan dan rasa suka-cita kepada hamba-Nya. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa disebut ‘īd karena pada hari itu kembalinya kebaikan dari Allah s.w.t. kepada para hamba. Hal ini disebabkan pada hari itu seorang hamba kembali suci karena telah bertobat kepada Allah s.w.t. dan telah meminta maaf kepada sesama manusia.

Hari raya ‘Īd-ul-Fithri juga mengandung sejarah tersendiri. Wahab bin Manbah menjelaskan bahwa Allah s.w.t. menciptakan surga di hari ‘Īd-ul-Fithri, menanam pohon keuntungan (thūba) dan Allah s.w.t. memilih Jibrīl sebagai pembawa wahyu juga pada hari tersebut.

Karena keistimewaan hari tersebut, umat Islam dianjurkan untuk mengungkapkan rasa syukur yang mendalam. Ungkapan syukur itu dapat diterjemahkan melalui ungkapan dan kumandang takbīr, tahlīl, dan taḥmīd. Allah s.w.t. berfirman:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. al-A‘lā [87]: 14-15).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan anjuran untuk senantiasa berdzikir kepada Allah s.w.t. Di samping itu, membersihkan diri dalam ayat ini juga ditafsirkan sebagai mengeluarkan zakat fithrah. Abū Sa‘īd al-Khudrī berkata, yang dimaksud dengan “ingat nama Tuhannya” adalah dengan mengumandangkan takbir pada hari ‘Īd-ul-Fithri. Sementara itu, yang dimaksud “shalat” dalam ayat tersebut adalah shalat ‘Īd. Hal ini dibenarkan oleh sejumlah ulama fikih dan tafsir.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Pada malam ‘Īd-ul-Fithri, Allah membayarkan pahala orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhān, lalu Allah memerintahkan kepada malaikat-malaikatNya di pagi hari agar turun ke bumi, mereka berdiri di ujung-ujung jalan dan pintu-pintu masuk perkampungan seraya menyerukan kepada makhluk di bumi ini dengan suara lantang yang didengarkan oleh semua makhluk bumi kecuali manusia dan jinn. Kata mereka: “Wahai umat Muhammad, keluarlah kepada Tuhanmu Yang Maha Besar, menerima hal kecil, membalas dengan kebesaran, memaafkan dosa besar.

Makna utama lain terkait hari raya adalah penyadaran mengenai asal diri kita yang yang hanya nuthfah atau setetes air mani. Jika kakek kita Ādam a.s. berfithrah pada seonggok tanah liat, serta nenek kita Siti Ḥawwā’ berfithrah dengan sebatang tulang rusuk, maka manusia selain mereka berfithrah pada nuthfah.

Allah s.w.t. menjelaskan tentang asal mula penciptaan manusia dengan sangat lugas dalam beberapa firman-Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah kemudian Kami jadikan saripati itu ari mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh. Kemudian air itu kami jadikan segumpal darah.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 12-14).

Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina, kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kukuh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (QS. al-Mursalāt [77]: 20-22).

Di dalam ayat yang lain Allah s.w.t. berfirman:

Bukankah dia dahulu setetes mani, yang ditumpahkan kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya?” (QS. al-Qiyāmah [75]: 37-38).

Sa‘īd Hawwā’ yang menadabburkan pemikiran al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn yang ia tuangkan dalam kita Tazkiyat-un-Nafs, menyebutkan bahwa nuthfah telah disebut secara berulang-ulang di dalam al-Qur’ān tak hanya untuk dilafalkan saja tapi menyiratkan kemestian untuk mendzikirkan dan memikirkan makna serta hikmahnya. Nuthfah adalah hal yang dekat dengan manusia karena berasal dari tubuhnya. Zhāhir nuthfah adalah air menjijikkan yang seandainya dibiarkan sesaat saja terkena udara ia akan rusak dan busuk.

Tapi sekalipun begitu, proses lahirnya nuthfah sangatlah menakjubkan. Nuthfah keluar dari perpaduan cinta dan sayang antara laki-laki dan perempuan. Lalu air itu berwarna putih mengkilap itu lalu diperkenankan oleh Allah s.w.t. berubah warna menjadi merah dalam segumpal darah. Lalu sedikit demi sedikit mengeras dan menjadi daging. Puncaknya, nuthfah sempurna dan menjadi sesosok janin.

Rangkaian itu tak berhenti di sini. Dengan kemuliaan-Nya Allah s.w.t. lalu membagi nuthfah ke dalam banyak bagian seperti tulang, urat, sel, dan rangkaian pembuluh. Dengan nuthfah, Allah s.w.t. juga menyusun organ dalam yang penting bagi manusia seperti benda yang lebih keras lagi dalam bentuk gigi, menjadi jaringan yang sangat rumit dan halus dalam bentuk mata, menjadi kulit, otak, dan sebagainya.

Demikianlah Allah s.w.t. telah menjadikan hikmah yang besar dalam tubuh dan kejadian manusia. Bagi manusia yang mau berpikir dan merenungi kekuasaan Allah s.w.t. pasti akan menemukan betapa Allah s.w.t. demikian mulia dan luas kasih-Nya kepada manusia dengan memandang tubuhnya sendiri. Karenanya, fithrah diri adalah pintu ma‘rifatullah, yaitu jalan untuk mencapai pengetahuan tentang-Nya.

Tubuh kita sering kali kita abaikan untuk dipikirkan dan didzikirkan. Manusia hanya mengingat tubuh berdasar pada kebutuhan-kebutuhannya saja. Bila tubuh lapar manusia memberinya makan agar kenyang dan kemudian tertidur. Bila tubuh sedang bernafsu, manusia melampiaskan rasa itu dengan berjima‘ – yang terkadang dengan dosa dan melawan larangan-Nya. Bila tubuh marah maka manusia membawanya dalam perkelahian dan permusuhan.

Jika seorang manusia yang berakal, lalu apa bedanya dengan binatang? Para binatang juga akan melakukan hal sama dengan manusia terhadap tubuhnya. Manusia dan binatang jelas berbeda, binatang tak diilhamkan akal budi untuk memaknai tubuh dan asal kejadian sebagai bukti bagi kebesaran Tuhan dan memperoleh ma‘rifat tentang-Nya. Hanya manusia yang dapat beranjak dari pemahaman tubuh berdasar unsur hewaninya saja yang dapat masuk ke dalam golongan muqarrabīn, orang-orang yang dekat kepada-Nya. Dan puasa mengantarkan kita pada keberkahan untuk memahami hal itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *