Bab: Syarat Shalat (3871).
233. Keempat Imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalat memiliki empat syarat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu:
(a). Berwudhu’ dengan air atau bertayammum ketika tidak ada air;
(b). Berdiri di atas tanah yang suci;
(c). Menghadap qiblat bila mampu; dan
(d). Mengetahui masuknya waktu secara yakin. (3882).
234. Setelah mereka sepakat akan hal-hal di atas bahwa shalat tidak sah kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, mereka berbeda pendapat tentang menutup aurat dengan pakaian suci.
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Ia mengikuti empat syarat di atas.”
Para pengikut Imām Mālik berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa ia (menutup aurat dengan pakaian suci) merupakan syarat sahnya shalat bila ingat dan mampu. Apabila seseorang mampu menutup aurat dengan pakaian suci dan ingat akan hal tersebut tapi dia shalat dengan aurat terbuka secara sengaja maka shalatnya batal.
Ada pula yang mengatakan: “Menutup aurat hukumnya wajib, tapi ia bukan syarat sahnya shalat, melainkan hanya ditekankan (sangat dianjurkan). Apabila seseorang shalat dengan aurat terbuka secara sengaja maka dia telah berbuat maksiat dan berdosa, hanya saja kewajiban telah gugur darinya.”
Pendapat yang dipilih oleh ‘Abd-ul-Wahhab dalam at-Talqin adalah bahwa shalat tidak sah bila aurat terbuka. (3893).
235. Mereka berbeda pendapat tentang boleh dan sahnya shalat berdasarkan dugaan kuat bahwa waktunya telah masuk.
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Shalatnya sah.”
Malik berkata: “Shalat tidak sah kecuali jika waktunya telah masuk secara yakin bahwa waktunya benar-benar telah masuk.” (3904).
Catatan: