(وَ) سَادِسُهَا: أَنْ تُؤْمِنَ (بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى)
(Dan) rukun Iman yang ke enam adalah: engkau beriman (kepada taqdir yang baiknya dan buruknya itu dari Allah ta‘ālā).
قَالَ الْفَشَنِيُّ: وَ مَعْنَى الْإِيْمَانِ بِهِ أَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدَّرَ الْخَيْرَ وَ الشَّرَّ قَبْلَ خَلْقِ الْخَلْقِ
Syaikh al-Fasyanī berkata: “Arti beriman kepada taqdir adalah engkau menyakini bahwa Allah ta‘ālā telah menakdirkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk.
وَ أَنَّ جَمِيْعَ الْكَائِنَاتِ بِقَضَاءِ اللهِ وَ قَدَرِهِ وَ هُوَ مُرِيْدٌ لَهَا،
Dan sesungguhnya semua makhluk ciptaan berdasarkan qadha’ [ketentuan] Allah dan taqdir-Nya, sedangkan Allah sebagai Dzat Yang Berkehendak terhadap semua hal itu.
وَ يَكْفِيْ اِعْتِقَادٌ جَازِمٌ بِذلِكَ مِنْ غَيْرِ نَصْبِ بُرْهَانٍ،
Dan mencukupi keyakinan yang mantap mengenai qadha’ dan qadar-Nya tersebut, dengan tanpa perlu bersusah payah menegakkan pembuktian”.
وَ قَالَ السَّيِّدُ عَبْدُ اللهِ الْمَرْغَنِيُّ: وَ الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ هُوَ التَّصْدِيْقُ بِأَنَّ مَا كَانَ وَ مَا يَكُوْنُ بِتَقْدِيْرِ مَنْ يَقُوْلُ لِلشَّيْءِ كُنْ فَيَكُوْنُ خَيْرًا أَوْ شَرًّا نَفْعًا أَوْ ضَرًّا حُلُوًّا أَوْ مُرًّا.
Dan Sayyid ‘Abdullāh al-Marghanī berkata: “Beriman dengan taqdir itu adalah membenarkan mengenai bahwa perkara yang telah terjadi dan sesuatu yang akan terjadi itu dengan sebab taqdir Dzat yang berfirman kepada sesuatu: “Jadilah!”, lalu jadilah sesuatu itu, baik berupa kebaikan atau keburukan, bermanfaat atau membahayakan, manis atau pahit.”
وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “كُلُّ شَيْءٍ بِقَضَاءٍ وَ قَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَ الْكَيْسِ”
Dan Nabi s.a.w. telah bersabda (KS-621): “Segala sesuatu tergantung kepada qadha’ dan taqdir [Allah], hingga yang lemah dan yang cerdas.”
وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ بِاللهِ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.
Dan Nabi s.a.w. bersabda (KS-632): “Seorang hamba tidaklah beriman kepada Allah, hingga ia beriman kepada taqdir, taqdir baik dan taqdir buruk [semata dari Allah]”, hadits diriwayatkan oleh Imām at-Tirmidzī.
وَ أَمَّا حَدِيْثُ مُسْلِمٍ فِيْ دُعَاءِ الْاِفْتِتَاحِ وَ الشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Adapun hadits Imām Muslim, tentang doa Iftitāḥ (KS-643): “Dan keburukan, tidaklah berpulang kepada-Mu”.
فَمَعْنَاهُ وَ لَا شَرَّ يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْكَ
Maka maknanya adalah: “Dan tidaklah keburukan itu dapat dijadikan media mendekatkan diri dengannya kepada-Mu”.
أَوْ لَا يُضَافُ إِلَى اللهِ تَأَدُّبًا
Atau “keburukan tidak boleh disandarkan kepada Allah”, karena menjaga tata krama.
لِأَنَّ اللَّائِقَ نِسْبَةُ الْخَيْرِ للهِ وَ الشَّرِّ لِلنَّفْسِ تَأَدُّبًا
Karena sesungguhnya hal yang layak itu adalah dihubungkan kebaikan itu kepada Allah, dan [dihubungkan] keburukan kepada diri pribadi, sebagai tata krama.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ – أَيْ إِيْجَادًا وَ خَلْقًا –
Allah ta‘ālā berfirman: “Apa saja ni‘mat yang kamu peroleh adalah dari Allah”, yakni dalam pewujudannya dan penciptaannya.
وَ مَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ} ((4) النساء:79) أَيْ كَسْبًا لَا خَلْقًا
“dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…..” yakni sebagai usaha diri pribadi, bukan penciptaan (an-Nisā’ [4]: 79).
كَمَا فَسَّرَهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَ مَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ} ((42) الشورى:30)
Sebagaimana ditafsirkan hal itu oleh firman Allah ta‘ālā: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri……” (asy-Syūrā [42]: 30).
لِأَنَّ الْقُرْآنَ يُفَسَّرُ بَعْضُهُ مِنْ بَعْضٍ.
Karena sesungguhnya al-Qur’ān dapat ditafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain.
وَ أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ} ((4) النساء:78) فَرُجُوْعٌ لِلْحَقِيْقَةِ
Dan adapun firman Allah ta‘ālā: “…..Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”……. (an-Nisā’ [4]: 78), maka dikembalikan hal itu kepada hakikatnya.
وَ انْظُرْ إِلَى أَدَبِ الْخِضِرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا} ((18) الكهف:82)
Dan perhatikanlah tata krama Nabi Khidhir a.s., di mana beliau mengatakan: “….maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kedewasaannya….” (al-Kahfi [18]: 82).
وَ قَالَ: فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا} ((18) الكهف:79)
Dan beliau mengatakan: “…….Dan aku bertujuan merusakkan bahtera [perahu] itu….. “ (al-Khafi [18]: 79).
وَ تَأَمَّلْ قَوْلَ إِبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: الَّذِيْ خَلَقَنِيْ فَهُوَ يَهْدِيْنِ. وَ الَّذِيْ هُوَ يُطْعِمُنِيْ وَ يَسْقِيْنَ. وَ إِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ} ((26) الشعراء:62)
Dan renungkanlah sabda Nabi Ibrāhīm al-Khalīl a.s.: (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dia-lah Yang menyembuhkan aku, (asy-Syu‘arā’ [26]: 78-80).
حَيْثُ نَسَبَ الْهِدَايَةَ وَ الْإِطْعَامَ وَ الشِّفَاءَ للهِ وَ الْمَرَضَ لِنَفْسِهِ،
Di mana beliau menghubungkan petunjuk, hidāyah, makanan dan kesembuhan kepada Allah, dan menghubungkan sakit kepada diri beliau.
فَلَمْ يَقُلْ أَمْرَضَنِيْ تَأَدُّبًا مِنْهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Maka beliau tidak mengatakan: “Allah telah memberi sakit kepadaku”, lantaran tata krama dari beliau a.s.
وَ إِلَّا فَالْكُلُّ مِنْ أَفْعَالِ اللهِ تَعَالَى.
Dan jika bukan [lantaran tata krama tersebut], maka seluruhnya itu [hakikatnya] termasuk dari perbuatan-perbuatan Allah ta‘ālā.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ} ((37) الصافات:96)
Allah ta‘ālā berfirman: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shāffāt [37]: 96).
أَيْ مِنْ خَيْرٍ وَ شَرٍّ اخْتِيَارِيٍّ وَ اضْطِرَارِيٍّ،
Yakni berupa kebaikan dan keburukan, secara kemauan sendiri dan secara terpaksa.
وَ لَيْسَ لِلْعَبْدِ إِلَّا مُجَرَّدُ الْمَيْلِ حَالَةَ الْاِخْتِيَارِ
Dan tidaklah bagi seorang hamba selain hanya sebatas berkecenderungan pada situasi pilihan atas kemauan sendiri.
وَ لِذلِكَ طُوْلِبَ بِالتَّوْبَةِ وَ الْإِقْلَاعِ وَ النَّدَمِ وَ اسْتَحَقَّ التَّعْزِيْرَ وَ الْحُدُوْدَ وَ الثَّوَابَ وَ الْعِقَابَ وَ هذَا هُوَ الْكَسْبُ
Dan karena itulah, ia dituntut untuk bertaubat, mencabut dan menyesali [dosa yang telah terjadi], dan berhak mendapat ta‘zīr [hukuman peringatan], ḥād [hukuman pidana], pahala dan siksaan. Dan kecenderungan manusiawi ini adalah suatu usaha.
وَ هُوَ تَعَلُّقُ الْقُدْرَةِ الْحَادِثَةِ
Usaha adalah keterkaitan dari daya kemampuan yang bersifat kemakhlukan.
وَ قِيْلَ هُوَ الْإِرَادَةُ الْحَادِثَةُ.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Usaha adalah kehendak yang bersifat kemakhlukan.
Catatan: