[فَرْعٌ] اخْتَلَفُوْا فِيْ مَعْنَى الْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ،
(CABANG). Kalangan ulama berbeda pendapat tentang makna qadhā’ dan qadar.
فَالْقَضَاءُ عِنْدَ الْأَشَاعِرَةِ إِرَادَةُ اللهِ الْأَشْيَاءَ فِي الْأَزَلِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْ غَيْرِ الْأَزَلِ،
Adapun qadhā’, menurut kalangan ulama penganut akidah Imām al-Asy‘ari adalah kehendak Allah akan segala sesuatu di azali, berdasarkan putusan ketentuan yang ditetapkan-Nya di selain azali.
وَ الْقَدَرُ عِنْدَهُمْ إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ عَلَى قَدْرٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وِفْقِ الْإِرَادَةِ
Dan qadar menurut mereka adalah pewujudan Allah akan segala sesuatu berdasarkan ukuran yang tertentu, dengan disesuaikan pada kehendak-Nya.
فَإِرَادَةُ اللهِ الْمُتَعَلِّقَةُ أَزَلًا بِأَنَّكَ تَصِيْرُ عَالِمًا قَضَاءٌ وَ إِيْجَادُ الْعِلْمِ فِيْكَ بَعْدَ وُجُوْدِكَ عَلَى وِفْقِ الْإِرَادَةِ قَدَرٌ،
Maka kehendak Allah yang berkaitan di azali, dengan hal bahwasanya engkau akan menjadi seorang berilmu adalah qadhā’. Dan pewujudan ‘ilmu pada dirimu setelah terwujud dirimu, sesuai dengan kehendak Allah adalah qadar.
وَ أَمَّا عِنْدَ الْمَاتُرِيْدِيَّةِ فَالْقَضَاءُ إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ مَعَ زِيَادَةِ الْإِتْقَانِ عَلَى وِفْقِ عِلْمِهِ تَعَالَى
Adapun menurut kalangan ulama penganut akidah Imām al-Māturīdī, maka qadhā’ ialah pewujudan Allah akan segala sesuatu disertai dengan penambahan penyempurnaan keyakinan, dengan disesuaikan pada ‘ilmu Allah ta‘ālā,
أَيْ تَحْدِيْدُ اللهِ أَزَلًا كُلَّ مَخْلُوْقٍ بِحَدِّهِ الَّذِيْ يُوْجِدُ عَلَيْهِ مِنْ حَسَنٍ وَ قَبْحٍ وَ نَفْعٍ وَ ضَرٍّ إِلَى غَيْرِ ذلِكَ
Yakni [qadhā’ adalah] pembatasan Allah di azali kepada setiap makhluk dengan batasannya [masing-masing], yang diwujudkan [oleh Allah] kepada makhluk itu, berupa baik, buruk, manfaat dan bahaya, hingga hal-hal lainnya.
أَيْ عِلْمُهُ تَعَالَى أَزَلًا صِفَاتِ الْمَخْلُوْقَاتِ
Yakni [qadhā’ adalah] ‘ilmu-Nya ta‘ālā semenjak azalī mengenai sifat-sifat makhluk.
وَ قِيْلَ: الْقَضَاءُ عِلْمُ اللهِ الْأَزَلِيُّ مَعَ تَعَلُّقِهِ بِالْمَعْلُوْمِ، وَ الْقَدَرُ إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ عَلَى وِفْقِ الْعِلْمِ،
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Qadhā’ ialah ‘ilmu Allah yang azalī, disertai berketerkaitannya dengan perkara yang diketahui. Sedangkan qadar ialah pewujudan Allah akan segala sesuatu dengan disesuaikan dengan ‘ilmu-Nya.
فَعِلْمُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ أَزَلًا بِأَنَّ الشَّخْصَ يَصِيْرُ عَالِمًا. بَعْدَ وُجُوْدِهِ قَضَاءٌ، وَ إِيْجَادُ الْعِلْمِ فِيْهِ، بَعْدَ وُجُوْدِهِ قَدَرٌ،
Maka ‘ilmu Allah yang berkaitan di azalī, dengan hal bahwa seseorang akan menjadi orang yang ber-‘ilmu setelah terwujud orang itu adalah qadhā’. Dan pewujudan ‘ilmu pada diri orang itu, setelah ia diwujudkan adalah qadar.”
هذَا وَ قَوْلُ الْأَشَاعِرَةِ هُوَ الْمَشْهُوْرُ،
Pendapat ini dan pendapat kalangan ulama penganut akidah Imām al-Asy‘arī adalah pendapat yang masyhur.
وَ عَلَى كُلٍّ فَالْقَضَاءُ قَدِيْمٌ وَ الْقَدَرُ حَادِثٌ، بِخِلَافِ قَوْلِ الْمَاتُرِيْدِيَّةِ
Namun, menurut masing-masing pendapat tersebut, qadhā’ adalah perkara yang qadīm [dahulu], sementara qadar adalah ḥādits [baru], berbeda dengan pendapat kalangan ulama penganut akidah Imām al-Māturīdiyyah [qadhā’ dan qadar adalah perkara qadīm].
وَ قِيْل كُلٌّ مِنْهُمَا بِمَعْنَى إِرَادَتِهِ تَعَالَى.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Masing-masing dari keduanya [qadhā’ dan qadar] adalah bermakna kehendak Allah ta‘ālā”.
[تَفْصِيْلٌ] قَالَ سُلَيْمَانُ الْجَمَلُ كَمَا قَالَهُ الْفَيُوْمِيُّ فِي الْمِصْبَاحِ: وَ الْقَدَرُ بِالْفَتْحِ لَا غَيْرُ مَا يُقَدِّرُهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ الْقَضَاءِ
(Perincian Detail). Telah berkata Syaikh Sulaimān al-Jamal, sama seperti Syaikh al-Fayūmī telah mengatakannya di dalam kitab al-Mishbāḥ: “Al-Qadar dengan di-fatḥah-kan [huruf dāl-nya], bukan lainnya, adalah sesuatu yang Allah ta‘ālā telah menetapkannya, berupa qadhā’ [keputusan],
وَ الْقَدْرُ بِسُكُوْنِ الدَّالِ وَ فَتْحِهَا هُوَ الْمِقْدَارُ وَ الْمِثْلُ
Dan al-Qadr dengan di-sukūn-kan huruf dāl-nya dan di-fatḥah-kan huruf dāl-nya, yaitu ukuran dan kesepadanan,
يُقَالُ هذَا قَدْرُ هذَا أَيْ يُمَاثِلُهُ،
Dikatakan: “Perkara ini seukuran dengan perkara ini, yakni menyamainya.”
وَ أَمَّا الْقَدْرُ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ} ((97) القدر:1) فَالْمَعْنَى لَيْلَةُ التَّقْدِيْرِ
Dan adapun Qadar pada firman Allah ta‘ālā: Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Qur’ān) pada malam Qadar. (Al-Qadr [97]: 1) maka artinya adalah malam penentuan.
سُمِّيَتْ بِذلِكَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَدِّرُ فِيْهَا مَا يَشَاءُ مِنْ أَمْرِهِ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ السَّنَةِ الْقَابِلَةِ مِنْ أَمْرِ الْمَوْتِ وَ الْأَجَلِ وَ الرِّزْقِ وَ غَيْرُ ذلِكَ
Dinamakan dengan demikian itu, karena sesungguhnya Allah ta‘ālā menentukan di malam tersebut segala yang Dia kehendaki, dari segala urusan-Nya hingga malam qadar yang serupa dengan malam qadar itu di tahun depan, berupa perkara kematian, ajal, rezeki dan lain-lainnya.
وَ يُسَلِّمُهُ إِلَى مُدَبِّرَاتِ الْأُمُوْرِ وَ هُمْ أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ: إِسْرَافِيْلُ وَ مِيْكَائِيْلُ وَ عِزْرَائِيْلُ وَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ.
Dan Allah menyerahkan semua hal itu kepada para pengatur semua perkara. Dan mereka itu adalah 4 Malaikat, yaitu malaikat Isrāfīl, malaikat Mikā’īl, malaikat ‘Izrā’īl dan malaikat Jibrīl ‘alaihim-us-Salām.
وَ قَالَ مُجَاهِدٌ لَيْلَةُ الْحِكَمِ
Imām Mujāhid berkata: “[Malam qadar] yaitu malam penuh hikmah”.
وَ قِيْلَ لَيْلَةَ الشَّرَفِ وَ الْعِظَمِ،
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “[Malam qadar] adalah malam kemuliaan dan keagungan.”
وَ قِيْلَ لَيْلَةُ الضِّيْقِ لِضَيْقِ الْقَضَاءِ بِاِزْدِحَامِ الْمَلَائِكَةِ فِيْهَا.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: [Malam qadar adalah] malam berhimpitan, karena berhimpitannya qadhā’ dengan sebab berdesakannya pada Malaikat di malam itu.”
وَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ اللهَ يَقْضِي الْأَقْضِيَةَ فِيْ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَ يُسَلِّمُهَا إِلَى أَرْبَابِهَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ،
Dan dari Sayyidinā Ibnu ‘Abbās [beliau berkata]: “Sesungguhnya Allah menetapkan berbagai keputusan [qadhā’] di malam pertengahan bulan Sya‘bān, dan menyerahkannya kepada para pemilik [pengemban mandat] berbagai keputusan itu di malam Qadar.
هذَا وَ لَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّ تَقْدِيْرَ اللهِ لَا يَحْدُثُ إِلَّا فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ لِأَنَّهُ تَعَالَى قَدَّرَ الْمَقَادِيْرَ فِي الْأَزَلِ قَبْلَ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ
[Renungkanlah] hal ini, dan bukanlah yang dimaksud bahwa taqdir Allah belum terjadi, kecuali di malam itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai taqdir [ketentuan] itu pada azali, sebelum menciptakan langit dan bumi. (KS-651).
بَلِ الْمُرَادُ إِظْهَارُ تِلْكَ الْمَقَادِيْرِ لِلْمَلَائِكَةِ.
Akan tetapi yang dimaksud adalah sebatas menampakkan berbagai taqdir [ketentuan-Nya] itu kepada para malaikat.
Catatan: