Bab: Aurat (3791).
225. Keempat Imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang batasan aurat laki-laki.
Abū Ḥanīfah, Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Batas aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut.”
Aḥmad berkata dalam riwayat lain: “Ia adalah Qubul (kemaluan) dan Dubur (pantat).”
Pendapat ini juga merupakan riwayat dari Mālik. (3802).
226. Mereka sepakat bahwa pusar laki-laki bukan aurat.
227. Mereka berbeda pendapat tentang lutut, apakah ia aurat atau bukan?
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Lutut bukan aurat.”
Abū Ḥanīfah dan sebagian pengikut , asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia adalah aurat.” (3813).
228. Mereka berbeda pendapat tentang batas aurat perempuan merdeka.
Abū Ḥanīfah berkata: “Semuanya aurat, kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki.”
Ada pula riwayat darinya bahwa kedua telapak kakinya aurat.
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Semuanya aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.”
Aḥmad berkata dalam salah satu dari dua riwayatnya: “Semuanya aurat, kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya”, seperti madzhab Mālik dan asy-Syāfi‘ī. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Semuanya aurat, kecuali wajahnya saja.” Riwayat inilah yang masyhur dan inilah yang dipilih oleh al-Khirāqī. (3824).
229. Mereka berbeda pendapat tentang aurat budak perempuan.
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Auratnya seperti aurat laki-laki.”
Syaikh Abū Isḥāq berkata: “Pendapat ini adalah zahir dari madzhabnya.”
Abū Isḥāq lebih lanjut berkata: Dikatakan bahwa seluruh tubuhnya aurat kecuali kepala, lengan dan betis.
Abū ‘Alī Ibnu Abī Hurairah berkata: “Auratnya seperti aurat wanita merdeka.”
Menurut Aḥmad, ada dua riwayat yang seperti madzhabnya tentang aurat laki-laki.
Pertama, auratnya adalah antara pusar dan lutut.
Kedua, auratnya adalah Qubul dan Dubur. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Mālik.
Abū Ḥanīfah berkata: “Aurat budak perempuan adalah seperti aurat laki-laki.” Hanya saja dia menambahkan: “Seluruh tubuhnya dan punggungnya adalah aurat.” (3835).
230. Mereka berbeda pendapat tentang aurat Umm-ul-Walad, perempuan yang dimerdekakan sebagiannya, budak perempuan Mukātab dan budak perempuan Mudabbar.
Abū Ḥanīfah berkata: “Auratnya seperti budak perempuan (Amah).”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Aurat mereka seperti aurat laki-laki.” Pendapat ini adalah yang zahir dalam madzhabnya sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Menurut Imām Mālik, dia berkata: “Aurat Umm-ul-Walad dan budak perempuan Mukātab adalah seperti perempuan merdeka, sedangkan aurat budak perempuan Mudabbar dan perempuan yang dimerdekakan sebagiannya adalah seperti aurat budak perempuan (Amah).”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya:
Pertama, aurat masing-masing dari mereka seperti aurat perempuan merdeka.
Kedua, auratnya seperti aurat budak perempuan (Amah). (3846).
231. Mereka berbeda pendapat bila aurat seseorang terbuka sebagiannya.
Abū Ḥanīfah berkata: “Bila aurat tersebut berat dan terlihat seukuran 1 Dirham atau kurang darinya, maka shalatnya tidak batal. Sedangkan paha, bila ia terbuka kurang dari seperempatnya maka shalatnya tidak batal, sedangkan bila yang terlihat lebih dari itu maka shalatnya batal.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalatnya batal baik terlihat sedikit atau banyak.”
Aḥmad berkata: “Bila terlihat sedikit maka shalatnya tidak batal, sedangkan bila terlihat banyak maka shalatnya batal. Antara keduanya dapat dibedakan dengan ukuran yang secara umum sedikit.”
Mālik berkata: “Bila orang tersebut ingat dan mampu menutupinya tapi dia tetap shalat dengan aurat terbuka maka shalatnya batal.” Demikianlah menurut pendapat yang masyhur dalam madzhabnya. (3857).
232. Mereka sepakat bahwa orang yang shalat tidak wajib menutupi kedua bahunya, baik saat shalat fardhu maupun shalat sunah. Kecuali Aḥmad yang mewajikannya dalam shalat fardhu. Sedangkan dalam shalat sunah ada dua riwayat darinya. (3868).
Catatan:
- 379). Dalam naskah yang dicetak tertulis: “Bab Batas Aurat.” ↩
- 380). Lih. al-Mughnī (1/490), at-Tanbīh (20), al-Hidāyah (1/47), dan Raḥmat-ul-Ummah (43). ↩
- 381). Lih. al-Majmū‘ (3/173), al-Mughnī (1/491), al-Hidāyah (1/47), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/214). ↩
- 382). Lih. al-Mughnī (1/492), al-Hidāyah (1/47), al-Majmū‘ (3/174), dan Raḥmat-ul-Ummah (43). ↩
- 383). Lih. al-Mudawwanah (1/217), al-Majmū‘ (3/174), al-Mughnī (1/491), dan Raḥmat-ul-Ummah (43). ↩
- 384). Lih. al-Mughnī (1/493), al-Hidāyah (1/47), dan al-Mudawwanah (1/217). ↩
- 385). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/376), dan al-Mughnī (1/653), (1/672). ↩
- 386). Lih. al-Mughnī (1/655), dan al-Majmū‘ (3/179). ↩