02-4 Beriman Kepada Para Utusan-Nya – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Rukun-rukun Iman - Kashifat-us-Saja’ | Syekh Nawawi al-Bantani

(وَ) رَابِعُهَا أَنْ تُؤْمِنَ بِ (رُسُلِهِ) وَ هُمْ أَفْضَلُ عِبَادَ اللهِ

(Dan) rukun iman yang keempat adalah engkau harus beriman kepada (para utusan-Nya), mereka adalah seutama-utamanya hamba-hamba Allah.

قَالَ تَعَالَى: وَ كُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِيْنَ} ((6) الأنعام:86)

Allah ta‘ālā berfirman: ….Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya). (al-An‘ām [6]: 86).

بِأَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ لِلْخَلْقِ رُسُلًا رِجَالًا لَا يَعْلَمُ عَدَدُهُمْ إِلَّا اللهُ

Dengan engkau menyakini bahwa Allah ta‘ālā telah mengutus kepada makhluk, para rasul berjenis laki-laki yang tidak ada yang mengetahui jumlah hitungan para rasul itu, kecuali Allah.

أَوَّلُهُمْ بِجَسَدِهِ آدَمُ وَ خَاتِمُهُمْ وَ أَفْضَلُهُمْ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ كُلُّهُمْ مِنْ نَسْلِ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ،

Permulaan para rasul secara fisiknya, adalah Nabi Ādam, dan pungkasan para rasul dan paling utama di antara mereka adalah baginda kita, Nabi Muḥammad, semoga Allah ta‘ālā melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada mereka, dan seluruh para rasul itu berasal dari keturunan Nabi Ādam a.s.

وَ أَنَّهُمْ صَادِقُوْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْوَالِهِمْ فِيْ دَعْوَى الرِّسَالَةِ وَ فِيْمَا بَلَغُوْهُ عَنِ اللهِ تَعَالَى، وَ فِي الْكَلَامِ الْعُرْفِيِّ نَحْوَ: أَكَلْتُ وَ شَرِبْتُ،

Dan sesungguhnya para rasul itu adalah orang-orang yang jujur dalam semua ucapan mereka, dalam pengakuan mereka mengenai kerasulan diri mereka, dan dalam perkara yang mereka menyampaikannya, dari Allah ta‘ālā, dan dalam ucapan yang umum seperti: “Aku telah makan”, dan “Aku telah minum”.

وَ أَنَّهُمْ مُعْصُوْمُوْنَ مِنَ الْوُقُوْعِ فِيْ مُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ،

Dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terpelihara dari terjerumus dalam perkara yang diharamkan atau makruh.

وَ أَنَّهُمْ مُبَلِّغُوْنَ مَا أُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لِلْخَلْقِ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ أَحْكَامًا،

Dan sesungguhnya mereka adalah para penyampai perkara yang mereka diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk, meskipun bukan berupa hukum-hukum.

وَ أَنَّهُمْ حَاذِقُوْنَ بِحَيْثُ يَكُوْنُ فِيْهِمْ قُدْرَةٌ عَلَى إِلْزَامِ الْخُصُوْمِ وَ مُحَاجَجَتِهِمْ وَ إِبْطَالِ دَعَاوِيْهِمْ،

Dan sesungguhnya para rasul adalah orang-orang yang cerdas, di mana pada diri mereka terdapat suatu kemampuan untuk menghadapi para musuh [para pengingkar], beradu argumentasi dengan mereka, dan membatahkan berbagai pengakuan [pernyataan sesat] mereka.

فَهذِهِ الصِّفَاتُ الْأَرْبَعَةُ تَجِبُ لِلْمُرْسَلِيْنَ.

Maka empat sifat ini wajib ada bagi para rasul.

وَ أَمَّا الْأَنْبِيَاءُ غَيْرُ الْمُرْسَلِيْنَ فَلَا يَكُوْنُوْنَ مُبَلِّغِيْنَ وَ إِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يُبَلِّغُوا النَّاسَ أَنَّهُمْ أَنْبِيَاءٌ لِيُحْتَرَمُوْا

Adapun para nabi, yang bukan para rasul, maka keadaan mereka bukanlah sebagai para penyampai, dan sesungguhnya yang wajib bagi mereka hanyalah menyampaikan kepada manusia, bahwa mereka adalah para nabi, agar manusia menghormati mereka.

وَ الصَّحِيْحُ فِيْهِمِ الْإِمْسَاكُ عَنْ حَصْرِهِمْ فِيْ عَدَدٍ

Dan hal yang benar mengenai mereka [para rasul dan para nabi], adalah menahan diri dari membatasi mereka, dalam bilangan [jumlah tertentu].

لِأَنَّهُ رُبَّمَا أَدَّى إِلَى إِثْبَاتِ النُّبُوَّةِ وَ الرِّسَالَةِ لِمَنْ لَيْسَ كَذلِكَ فِي الْوَاقِعِ،

Karena sesungguhnya terkadang hal itu [membatasi jumlah mereka] dapat mengantarkan kepada menetapkan kenabian dan kerasulan kepada orang yang bukan seperti itu [bukan nabi atau bukan rasul] pada kenyataannya.

أَوْ إِلَى نَفْيِ ذلِكَ عَمَّنْ هُوَ كَذلِكَ فِي الْوَاقِعِ،

Atau [dapat mengantarkan] kepada peniadaan hal [kerasulan atau kenabian] itu dari orang yang seperti itu [sebagai rasul atau nabi], dalam kenyataannya.

فَيَجِبُ التَّصْدِيْقُ بِأَنَّ للهِ رُسُلًا وَ أَنْبِيَاءً عَلَى الْإِجْمَالِ.

Maka wajib mempercayai bahwa Allah memiliki para rasul dan para nabi secara global [saja].

قَالَ السُّحَيْمِيُّ: نَعَمْ يَجِبُ عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَعْلَمَ وَ يُعَلِّمَ صِبْيَانَهُ وَ نِسَاءَهُ وَ خَدَمَهُ أَسْمَاءَ الرُّسُلِ الْمَذْكُوْرِيْنَ فِي الْقُرْآنِ حَتَّى يُؤْمِنُوْا بِهِ وَ يُصَدِّقُوْا بِجَمِيْعِهِمْ تَفْصِيْلًا،

Syaikh as-Suḥaimī berkata: “Ya, wajib bagi orang yang beriman, agar ia mengetahui dan memberi tahu [mengajarkan] anak-anaknya, para istrinya, dan para pembantunya tentang nama-nama para rasul yang disebutkan di dalam al-Qur’ān, hingga mereka beriman dengannya, dan mempercayai kepada semuanya secara terperinci,

وَ أَنْ لَا يَظُنُّوْا أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِمُ الْإِيْمَانُ بِمُحَمَّدٍ فَقَطْ

Dan [mengajarkan] agar mereka tidak boleh menyangka bahwa yang wajib bagi mereka hanyalah beriman kepada Nabi Muḥammad saja.

فَإِنَّ الْإِيْمَانَ بِجَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ سَوَاءٌ ذُكِرَ اسْمَهُمْ فِي الْقُرْآنِ أَوْ لَمْ يُذْكَرْ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ

Karena sesungguhnya beriman kepada semua para nabi, sama saja, disebutkan nama mereka di dalam al-Qur’ān ataupun tidak disebutkan adalah hal yang wajib bagi setiap mukallaf.

وَ هُمْ أَيِ الْمَذْكُوْرُوْنَ فِي الْقُرْآنِ سِتَّةٌ وَ عِشْرُوْنَ أَوْ خَمْسَةٌ وَ عِشْرُوْنَ

Dan mereka, yakni para rasul yang disebutkan dalam al-Qur’ān itu ada 26 orang atau 25 orang.

وَ نَظَمْتُهَا فَقُلْتُ:

Dan aku me-nazham-kannya, maka aku mengatakan:

أَسْمَاءٌ رُسُلٍ بِقُرْآنِ عَلَيْكَ تَجِبْ كَآدَمَ زَكَرِيَّا بَعْدَ يُوْنُسِهِمْ
نُوْحٍ وَ إِدْرِيْسٍ إِبْرَاهِيْمَ وَ الْيَسَعَ إِسْحَاقٍ يَعْقُوْبَ إِسْمَاعِيْلَ صَالِحِهِمْ
أَيُّوْبَ هَارُوْنَ مُوْسَى مَعَ شُعَيْبِهِمْ دَاوُدَ هُوْدٍ عُزَيْرٍ ثُمَّ يُوْسُفِهِمْ
لُوْطٍ وَ إِلْيَاسَ ذِي الْكِفْلِ أَوِ اتَّحَدَا يَحْيَى سُلَيْمَانَ عِيْسَى مَعَ مُحَمَّدِهِمِ

Nama-nama para rasul yang terdapat di al-Qur’ān, bagimu wajib [untuk mengetahui,

Seperti Ādam, Zakariyyā, setelah Yūnus yang tergolong di antara mereka.

Nūḥ, Idrīs, Ibrāhīm dan Ilyasa‘,

Isḥāq, Ya‘qūb, Ismā‘īl, Shāliḥ, yang termasuk di antara mereka.

Ayyūb, Hārūn, Mūsā serta Syu‘aib di antara mereka,

Dāūd, Hūd, Uzair, kemudian Yūsuf yang tergolong di antara mereka.

Lūth, Ilyās, Dzulkifli, atau tunggal,

Yaḥyā, Sulaimān, ‘Īsā serta Muḥammad yang termasuk di antara mereka.

هذَا مِنْ بَحْرِ الْبَسِيْطِ،

Syair ini dari baḥar basīth.

وَ مَعْنَى اتَّحَدَا أَنَّ ذَا الْكِفْلِ قِيْلَ هُوَ إِلْيَاسُ

Dan arti tunggal adalah bahwa Dzulkifli dikatakan [oleh satu pendapat]: “Beliau adalah Ilyās”, (KS-561).

وَ قِيْلَ يُوْشَعُ وَ قِيْلَ زَكَرِيَّا

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Yūsya‘” (KS-572), dan dikatakan [oleh pendapat lain]: “Zakariyyā”.

وَ قِيْلَ حِزْقِيْلُ ابْنُ الْعَجُوْزِ لِأَنَّ أُمَّهُ كَانَتْ عَجُوْزًا فَسَأَلَتِ اللهَ الْوَلَدَ بَعْدَ كِبَرِهَا فَوَهَبَ لَهَا حِزْقِيْلَ اهـ. قَوْلُ السُّحَيْمِيِّ:

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “[Dzulkifli adalah] Ḥizqīl” (KS-583) putra seorang nenek-nenek, karena sesungguhnya ibu beliau adalah orang yang telah tua renta, lalu dia memohon kepada Allah, agar dikaruniai anak setelah dia berusia tua renta, lalu Allah mengaruniai Ḥizqīl kepadanya”. Selesai ucapan Syaikh as-Suḥaimī.

وَ قَالَ صَاحِبُ بَدْءُ الْخَلْقِ قَالَ وَهْبٌ: بِشْرٌ بْنُ أَيُّوْبَ يُسَمَّى ذَا الْكِفْلِ

Dan telah berkata pengarang kitab Bad’-ul-Khalqi: “Telah berkata Syaikh Wahb: “Bisyr bin Ayyūb dinamakan dengan Dzulkifli [orang yang mempunyai tanggungan].

كَانَ مُقِيْمًا بِالشَّامِ مُدَّةَ عُمْرِهِ حَتَّى مَاتَ وَ كَانَ عُمْرُهُ خَمْسًا وَ سَبْعِيْنَ سَنَةً وَ كَانَ قَبْلَ شُعَيْبٍ اِنْتَهَى.

Adalah beliau pernah tinggal di negeri Syām, seumur hidupnya, hingga meninggal dunia. Dan umur beliau adalah 75 tahun, dan beliau ada sebelum zaman Nabi Syu‘aib”. Selesai.

وَ أُوْلُو الْعَزْمِ مِنْهُمْ خَمْسَةٌ فَيَجِبُ أَنْ يَعْلَمَ تَرْتِيْبَهُمْ فِي الْأَفْضَلِيَّةِ لِأَنَّهُمْ لَيْسُوْا فِيْ مَرْتَبَة ٍوَاحِدَةٍ،

Dan ūlūl-‘azmi [para pemilik ‘azm] di antara mereka [25 para rasul] itu ada lima, maka wajib untuk mengetahui urutan mereka di dalam keutamaannya, karena sesungguhnya mereka tidak berada dalam satu tingkatan.

وَ الْمُرَادُ مِنَ الْعَزْمِ هُنَا الصَّبْرُ وَ تَحَمُّلُ الْمَشَاقِّ أَوِ الْجَزْمِ كَمَا فَسَّرَهُ بِهِ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الْآيَةِ،

Dan yang dimaksud dari al-‘azm di sini adalah sabar dan tahan mengemban berbagai penderitaan, atau berhati teguh, sebagaimana telah ditafsirkan hal itu dengan pengertian tersebut oleh Sayyidinā Ibnu ‘Abbās dalam ayat [al-Aḥqāf (46): 35].

فَأَفْضَلُهُمْ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ فَسَيِّدُنَا إِبْرَاهِيْمُ فَسَيِّدُنَا مُوْسَى فَسَيِّدُنَا عِيْسَى فَسَيِّدُنَا نُوْحٌ صَلَوَاتُ اللهِ وَ سَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ،

Adapun yang paling utama di antara mereka [ūlūl-‘azmi] adalah Sayyidinā Nabi Muḥammad s.a.w., lalu Sayyidinā Nabi Ibrāhīm, lalu Sayyidinā Nabi Mūsā, lalu Sayyidinā Nabi ‘Īsā, lalu Sayyidinā Nabi Nūḥ, semoga rahmat Allah dan keselamatan-Nya tercurah kepada mereka, semua.

وَ يَلِيْهِمْ فِي الْأَفْضَلِيَّةِ بَقِيَّةُ الرُّسُلِ ثُمَّ بَقِيَّةُ الْأَنْبِيَاءِ وَ هُمْ مُتَفَاوِتُوْنَ فِيْمَا بَيْنَهُمْ عِنْدَ اللهِ

Dan berikutnya [mengikuti mereka] dalam hal keutamaan adalah para rasul lainnya, kemudian para nabi lainnya, dan mereka itu terbeda-beda dalam hal keutamaan yang terdapat di antara mereka di sisi Allah.

لكِنْ يَمْتَنِعُ التَّعْيِيْنَ عَلَيْنَا عَلَى تَفَاوُتِهِمْ لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ تَعْلِيْمٌ

Akan tetapi terlarang bagi kita untuk menentukan atas keperpautan sisi keutamaan [satu dengan yang lain dengan mendetail] di antara mereka, karena sesungguhnya tidak teriwayatkan suatu pengajaran dalam masalah itu.

ثُمَّ رُؤَسَاءُ الْمَلَائِكَةِ كَجِبْرِيْلَ وَ نَحْوَهُ

Kemudian [berikutnya] adalah para pimpinan malaikat, seperti malaikat Jibrīl dan semacamnya.

ثُمَّ الْأَوْلِيَاءُ خُصُوْصًا سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ وَ بَقِيَّةَ الصَّحَابَةِ

Kemudian para wali, khususnya Sayyidina Abū Bakar dan para sahabat lainnya.

لِحَدِيْثِ: “إِنَّ اللهَ اخْتَارَ أَصْحَابِيْ عَلَى الْعَالَمِيْنَ سِوَى النَّبِيِّيْنَ وَ الْمُرْسَلِيْنَ

Berdasarkan hadits: “Sesungguhnya Allah mengutamakan para sahabatku atas semesta alam, selain para nabi dan para rasul.”

ثُمَّ عَوَامُّ الْمَلَائِكَةِ ثُمَّ عَوَامُّ الْبَشَرِ”

Kemudian para malaikat yang tergolong kalangan umum, kemudian para manusia yang tergolong kalangan umum.

 

[إِيْضَاحٌ] قَالَ الْفَشَنِيُّ: وَ قُدِّمَتِ الْمَلَائِكَةُ عَلَى الرُّسُلِ فِي الذِّكْرِ اِتَّبَاعًا لِلتَّرْتِيْبِ الْوُجُوْدِيِّ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ مُقَدَّمَةٌ فِي الْخَلْقِ

(Penjelasan).

Syaikh al-Fasyanī berkata: “Didahulukan para malaikat atas para rasul, di dalam penyebutannya, karena mengikuti kepada urutan perwujudannya, karena sesungguhnya malaikat lebih dahulu dalam penciptaannya.

أَوْ لِلتَّرْتِيْبِ الْوَاقِعِيِّ فِيْ تَحْقِيْقِ مَعْنَى الرِّسَالَةِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الْمَلَائِكَةَ إِلَى الرُّسُلِ.

Atau berdasarkan perurutan yang bersifat kenyataan dalam rangka pengukuhan makna kerasulan, karena sesungguhnya Allah ta‘ālā telah mengutus malaikat kepada para rasul.”

Catatan:


  1. KS-56. Di dalam kitab at-Tawwābīn, Imām Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Muḥammad bin Qudāmah al-Maqdisi [Ibnu Qudāmah/541 H.- 620 H.], halaman 57, hadits ke 19, dari Ibnu Sam‘ān, beliau berkata: إِنَّ ذَا الْكِفْلِ كَانَ إِلْيَسَعَ بْنِ خَطْوَبَ الَّذِيْ كَانَ مَعَ إِلْيَسَ وَ لَيْسَ بِالْيَسَعَ الَّذِيْ ذَكَرَ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ وَ إِلْيَسَعَ ذُو الْكِفْلِ كَانَ قَبْلَ دَاوُدَ وَ ذلِكَ أَنَّ مَلِكًا جَبَّارًا يُقَالُ لَهُ كَنْعَانٌ وَ كَانَ لَا يُطَاقُ فِيْ زَمَانِهِ لِظُلْمِهِ وَ طُغْيَانِهِ وَ كَانَ ذُو الْكِفْلِ يَعْبُدُ اللهَ سِرًّا مِنْهُ وَ يَكْتُمُ إِيْمَانَهُ وَ هُوَ فِيْ مَمْلَكَتِهِ…… 
  2. KS-57. Di dalam Shaḥīḥ Bukhārī, hadits ke 119 (Kitāb-ul-‘Ilm, Bab mā yustaḥabbu lil-‘Ālimi idzā su’ila ayyun-Nāsi a‘lamu fayaqūl-ul-‘Ilma ilallāh) dan hadits ke 3074 (Kitāb Aḥādīts-il-Anbiyā’, Bab ḥadīts-il-Khadhiri ma‘a Mūsā ‘alaih-is-Salām), dan Kitāb tafsīr-il-Qur’ān, hadits ke 4356 [Bab wa idz qāla Mūsā li fatāhu lā abrahu ḥattā ablugha majma‘-al-Bahraini wa amdhiya ḥuquban – zamānan wa jam‘uhu aḥqāban] hadits ke 4357 [Bab qaulihi: falammā balaghā majma‘a bainihimā nasiyā ḥūtahumā fattakhadza sabīlahu fil-Baḥri saraban] dan hadits ke 4538 [Bab falammā jāwazā qāla li-fatāhu ātinā ghadā’anā laqad laqīnā min safarinā hādzā nashaban qāla ara’ita idz awainā ilash-Shakhrati fa innī nasīt-ul-Ḥūta], dari Ubai bin Ka‘ab, disebutkan Yūsya‘ bin Nūn adalah murid Nabi Mūsā, yang ikut pergi bersama Nabi Mūsā saat mencari Khidhir di lautan. Di dalam Shaḥīḥ Muslim, hadits ke 4385 (Kitab Fadha’il, Bab min fadha’il-il-Khadhiri ‘alaih-is-Salam), dari Ubai bin Ka‘ab, disebutkan Yūsya‘ bin Nūn adalah murid Nabi Mūsā, yang ikut pergi bersama Nabi Mūsā saat mencari Khidhir di lautan. Di dalam Sunan Tirmidzī, hadits ke 3160 (Kitab tafsir-il-Qur’ani ‘an Rasulillah, Bab wa min surat-il-Kahfi), dari Ubai bin Ka‘ab, disebutkan Yūsya‘ bin Nūn adalah murid Nabi Mūsā, yang ikut pergi bersama Nabi Mūsā saat mencari Khidhir di lautan. Di dalam Musnad Aḥmad, hadits ke 20199 [dari Ubai bin Ka‘ab], disebutkan Yūsya‘ bin Nūn adalah murid Nabi Mūsā, yang ikut pergi bersama Nabi Mūsā saat mencari Khidhir di lautan. Di dalam kitab Syu‘ab-ul-Īmān, Imām Baihaqī [384-458 H.], Juz VII, halaman 53, hadits ke 9428, dari al-Wadhīn bin ‘Athā’, beliau berkata: أَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى يُوْشَعَ بْنِ نُوْنَ إِنِّيْ مُهْلِكٌ مِنْ قَوْمِكَ مِائَةَ أَلْفٍ وَ أَرْبَعِيْنَ أَلْفًا مِنْ خِيَارِهِمْ وَ سِتِّيْنَ أَلْفًا مِنْ شِرَارِهِمْ قَالَ: يَا رَبِّ تَهْلِكُ شِرَارَهُمْ فَمَا بَالُ خِيَارِهِمْ قَالَ: إِنَّهُمْ يَدْخُلُوْنَ عَلَى الْأَشْرَارِ فَيُؤْكِلُوْنَهُمْ وَ يُشَارَبُوْنَهُمْ وَ لَا يَغْضَبُوْنَ بِغَضَبِيْ. Di dalam kitab Ḥilyat-ul-Awliyā’, Imam Abū Nu‘aim, Juz VI, halaman 125, dari Sa‘īd bin ‘Abd-il-‘Azīz, beliau berkata: كَانَ مُوْسَى (ع) إِذَا خَرَجَ لِلْبِيْعَةِ لِلْإِحْكَامِ بَيْنَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَوَكَّأَ عَلَى يُوْشَعَ فَإِذَا بَلَغَ الْبِيْعَةَ جَلَسَ مُوْسَى (ع) لِيُحْكِمَ بَيْنَهُمْ وَ قَامَ يُوْشَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَلَمَّا كَانَ قَبْلَ مَوْتِ مُوْسَى بِسَنَةٍ انْقَطَعَ الْوَحْيُ عَنْ مُوْسَى وَ نَزَلَ جِبْرِيْلُ (ع) عَلَى يُوْشَعَ فَلَمَّا خَرَجُوْا إِلَى الْبِيْعَةِ تَقَدَّمَ يُوْشَعُ بَيْنَ يَدَيْ مُوْسَى وَ تَوَكَّأَ عَلَى مُوْسَى فَلَمَّا انْتَهَى إِلَى الْبِيْعَةِ جَلَسَ يُوْشَعُ يُحْكِمُ بَيْنَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَ قَامَ مُوْسَى عَلَى رَأْسِهِ فَقَالَ مُوْسَى: إِلهِيْ إِنِّيْ لَا أَطِيْقُ هذَا الذُّلُّ كُلَّهُ فَاقْبِضْنِيْ إِلَيْكَ. Di dalam Iḥyā’u ‘Ulūmiddīn, Juz II, halaman 150, baris ke 3-5, dan halaman 308, baris ke 1-3, disebutkan kalimat mirip Syu‘ab-ul-Īmān. Di dalam kitab al-Jawāb-ul-Kāfī, Imām Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [691-751 H.], halaman 29, dari Ibrāhīm bin ‘Amr ash-Shan‘ānī, dengan kalimat mirip Syu‘ab-ul-Īmān. Di dalam kitab al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, Juz 2, huruf sīn, halaman 37, baris ke 11-12, HR. Thabrānī dan Ibnu Mardawaih [dari Ibnu ‘Abbās], disebutkan: السَّبْقُ ثَلَاثَةٌ فَالسَّابِقُ إِلَى مُوْسَى يُوْشَعُ بْنُ نُوْنَ وَ السَّابِقُ إِلَى عِيْسَى صَاحِبُ يس وَ السَّابِقُ إِلَى مُحَمَّدٍ عَلِيٌّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ. Dan di huruf mīm, halaman 145, baris ke 9-10, HR. Khathīb [dari Abū Hurairah], disebutkan: مَا حَبِسْتُ الشَّمْسَ عَلَى بَشَرٍ قَطُّ إِلَّا عَلَى يُوْشَعَ بْنِ نُوْنَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ. 
  3. KS-58. Di dalam kitab al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, Juz 2, huruf shād, halaman 50, baris ke 5-6, HR. Ibnu Najjār [dari Ibnu ‘Abbās] dan baris ke 7-8, HR Abū Nu‘aim dan Ibnu ‘Asākir [dari Abū Lailā], disebutkan Ḥizqīl adalah seorang beriman dari keluarga Fir‘aun. 

1 Komentar

  1. Silma SY berkata:

    Alhamdulillah, semoga bermanfaat ustadz😇👍🏼

Tinggalkan Balasan ke Silma SY Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *