(وَ) ثَالِثُهَا: أَنْ تُؤْمِنَ بِ (كُتُبِهِ)
(Dan) rukun iman yang ketiga adalah engkau harus beriman kepada (kitab-kitabNya).
مَعْنَى الْإِيْمَانِ بِالْكُتُبِ التَّصْدِيْقُ بِأَنَّهَا كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى رُسُلِهِ عَلَيْهِمِ الصَّلَاةُ و السَّلَامُ
Artinya beriman dengan kitab-kitab adalah membenarkan bahwasanya kitab tersebut adalah firman Allah yang diturunkan kepada para utusan-Nya, [semoga tercurah] atas mereka rahmat dan keselamatan.
وَ كُلُّ مَا تَضَمَّنَتْهُ حَقٌّ وَ نُزُوْلُهَا بِأَنْ كَانَتْ مَكْتُوْبَةً عَلَى الْأَلْوَاحِ كَالتَّوْرَاةِ
Dan setiap sesuatu yang dikandung kitab suci itu adalah benar, dan [mengenai] diturunkannya [juga benar adanya] dengan sekiranya berwujud firman yang ditulis di atas beberapa lempengan, seperti kitab Taurāt,
أَوْ مَسْمُوْعَةً مِنَ السَّمْعِ بِالْمُشَاهَدَةِ كَمَا فِيْ لَيْلَةِ الْمِعْرَاجِ
Atau diperdengarkan dari pendengaran dengan penyaksian langsung, sebagaimana yang terjadi di malam Mi‘rāj,
أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ كَمَا وَقَعَ لِمُوْسَى فِي الطُّوْرِ،
Atau [diperdengarkan] dari balik hijab, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Mūsā di dalam gua Thūrsina.
أَوْ مِنْ مَلَكٍ مُشَاهَدٍ كَمَا رُوِيَ أَنَّ الْيَهُوْدَ قَالُوْا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَلَا تُكَلِّمَ اللهَ وَ تَنْظُرَ إِلَيْهِ إِنْ كُنْتَ نَبِيًّا كَمَا كَلَّمَهُ مُوْسَى، وَ نَظَرَ إِلَيْهِ
Atau [diperdengarkan] dari malaikat yang bisa disaksikan, sebagaimana diriwayatkan (KS-531) bahwa kaum Yahudi, mereka berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Setidaknya engkau dapat bercakap-cakap dengan Allah, dan engkau dapat melihat-Nya jika dirimu sebagai Nabi, sebagaimana Mūsā dapat berbicara dengan-Nya, dan ia dapat melihat kepada-Nya?”
فَقَالَ: لَمْ يَنْظُرْ مُوْسَى إِلَى اللهِ
Lalu Nabi bersabda: “Mūsā tidak memandang kepada Allah.”
فَنَزَلَ: {وَ مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ} ((42) الشورى:51)
Lalu turunlah [ayat]: “Dan tidak ada bagi seorang manusia-pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki…..” (asy-Syūrā [42]: 51)
قَالَ السُّحَيْمِيُّ فِيْ تَفْسِيْرِ ذلِكَ: أَيْ مَا صَحَّ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا أَنْ يُوْحِيَ إِلَيْهِ وَحْيًا أَيْ كَلَامًا خَفِيًّا يُدْرَكُ بِسُرْعَةٍ
Telah berkata Syaikh Suḥaimī di dalam menafsirkan ayat itu: “Maksudnya adalah tidak benar bagi seorang manusia bahwa Allah bercakap-cakap dengannya, kecuali Allah mewahyukan kepadanya dengan suatu wahyu, yakni firman yang samar [yang tak terinderawi], yang dapat difahami dengan cepat,
كَمَا سَمِعَ إِبْرَاهِيْمُ فِي الْمَنَامِ أَنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ بِذَبْحِ وَلَدِكَ،
Sebagaimana Nabi Ibrāhīm mendengar di dalam tidur [mimpi beliau]: “Sesungguhnya Allah memerintahkan anda untuk menyembelih anak anda.”
وَ كَمَا أُلْهِمَتْ أُمُّ مُوْسَى أَنْ تَقْذِفَهُ فِي الْبَحْرِ
Dan sebagaimana Ibu Nabi Mūsā diberi ilham untuk melemparkan bayi Mūsā di lautan.
أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ أَنْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا أَيْ مَلَكًا جِبْرِيْلُ فَيُكَلِّمُ الرَّسُوْلَ أَيِ الْمُرْسَلَ إِلَيْهِ بِأَمْرِ رَبِّهِ مَا يَشَاءُ.
Atau di belakang tabir atau hanya saja Allah pasti mengutus sesosok utusan, yakni satu malaikat, yaitu malaikat Jibrīl, maka akan mengatakan malaikat itu kepada sang Rasūl, yakni yang malaikat itu diutus kepadanya dengan berdasarkan perintah Tuhannya akan semua wahyu dikehendaki oleh Allah.
[فَرْعٌ] قَالَ سُلَيْمَانُ الْجَمَلُ وَ عَنِ الْحَرْثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَيْفَ يَأْتِيْكَ الْوَحْيُ؟
(Cabang) Syaikh Sulaimān al-Jamal berkata: “Dan [diriwayatkan] dari Sayyidinā al-Ḥarth bin Hisyām, bahwasanya beliau pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Bagaimana wahyu mendatangi anda?”
فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَحْيَانًا يَأْتِيْنِيْ فِيْ مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرْسِ وَ هُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيَفْصِمُ عَنِّيْ وَ قَدْ وَعَيْتُ مَا قَالَ،
Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Terkadang wahyu medatangiku, seperti bunyi lonceng, dan hal itu yang paling beratnya wahyu bagiku, lalu bunyi itu terhenti dari diriku, dan sungguh telah dapat dihafalkan olehku, apa yang bunyi itu katakan.
وَ أَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمَنِيْ فَأَعْيِ مَا يَقُوْلُ.
Dan terkadang, malaikat menyerupakan diri kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia bercakap-cakap denganku, lalu aku dapat menghafal apa yang ia ucapkan [sampaikan].” (KS-542).
وَ الْجَرَسَ بِفَتَحِ الْجِيْمِ وَ الرَّاءِ وَ هُوَ مَا يُعَلَّقُ عَلَى عُنُقِ الْحِمَارِ.
Al-Jaras [loceng], dengan fatḥah jīm dan rā’, adalah sesuatu yang digantungkan di atas leher keledai.
وَ قَوْلُهُ: فَيَفْصِمُ عَنِّيْ أَيْ يَنْفَصِلُ عَنِّيْ وَ يُفَارِقُنِيْ.
Dan sabda Nabi s.a.w.: “fayafshimu ‘annī, yakni memisahkan diri dari diriku dan meninggalkan diriku.
وَ قَوْلُهُ: وَعِيْتُ مِنْ بَابٍ وَعَدَ أَيْ حَفِظْتَ مَا قَالَ،
Dan sabda Nabi s.a.w.: “wa‘itu”, dari bab lafazh wa‘ada, yakni aku hafal apa yang ia katakan.
وَ الْمُرَادُ بِالْكُتُبِ مَا يَشْمُلُ الصُّحُفَ وَ قَدِ اشْتَهَرَ أَنَّهَا مِائَةٌ وَ أَرْبَعَةٌ
Dan yang dimaksud dengan kitab-kitab adalah sesuatu yang mencakup lembaran-lembaran, dan sungguh telah masyhur bahwasanya kitab-kitab itu ada 104 kitab.
وَ قِيْلَ إِنَّهَا مِائَةٌ وَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Sesungguhnya kitab-kitab itu ada 114 kitab.”
وَ قَالَ السُّحَيْمِيُّ: وَ الْحَقُّ عَدَمٌ حصْرِ الْكُتُبِ فِيْ عَدَدِ مُعَيَّنٍ
Dan Syaikh as-Suḥaimī berkata: “Yang benar adalah tidak adanya membatasi kitab-kitab dalam hitungan tertentu.”
فَلَا يُقَالُ إِنَّهَا مِائَةٌ وَ أَرْبَعَةٌ فَقَطْ لِأَنَّكَ إِذَا تَتَبَّعْتَ أَيْ فَتَشْتَ الرِّوَايَاتِ تَجِدُهَا تَبْلُغُ أَرْبَعَةً وَ ثَمَانِيْنَ وَ مِائَةً
Maka tidak bisa dikatakan bahwa kitab-kitab itu berjumlah 104 saja, karena sesungguhnya engkau, apabila engkau meneliti, yakni engkau menyelidiki berbagai riwayat, maka engkau akan menemukan kitab-kitab itu mencapai jumlah 184 kitab.
فَيَجِبُ اعْتِقَادُ أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ كُتُبًا مِنَ السَّمَاءِ عَلَى الْإِجْمَالِ،
Makanya, wajib berkeyakinan bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci dari langit, secara global.
لكِنْ يَجِبُ مَعْرِفَةُ الْكُتُبِ الْأَرْبَعَةِ تَفْصِيْلًا وَ هِيَ التَّوْرَاةُ لِسَيِّدِنَا مُوْسَى و الزَّبُوْرُ لِسَيِّدِنَا دَاودَ وَ الْإِنْجِيْلُ لِسَيِّدِنَا عِيْسَى وَ الْفُرْقَانُ لِخَيْرِ الْخَلْقِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ.
Akan tetapi wajib mengetahui kitab-kitab yang empat, secara terperinci, yaitu kitab Taurāt kepada Sayyidinā Mūsā, kitab Zabūr kepada Sayyidinā Dāūd, kitab Injīl kepada Sayyidinā ‘Īsā, dan kitab al-Furqān kepada sebaik-baik makhluk, yaitu Sayyidinā Muḥammad s.a.w. shallallāhu ta‘ālā ‘alaihi wa sallam wa ‘alaihim ajma‘īn.”
[تَتْمِيْمٌ] رُوِيَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا كَانَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيْمَ؟
(Pelengkap) Diriwayatkan dari hadits (KS-553) Sayyidinā Abū Dzarr, beliau berkata: “Aku pernah berkata: “Wahai Rasūlullāh, apa yang terdapat di dalam shuḥuf [lembaran-lembaran] Nabi Ibrāhīm itu?”
قَالَ: كَانَتْ كُلُّهَا أَمْثَالًا
Beliau bersabda: “Adalah seluruhnya berisi berbagai petuah [pesan sarat makna].
مِنْهَا: أَيُّهَا الْمَلَكُ الْمُسَلّطُ الْمُبْتَلَي الْمَغْرُوْرُ إِنِّيْ لَمْ أَبْعَثْكَ لِتَجْمَعَ الدُّنْيَا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
Di antara isi shuḥuf Nabi Ibrāhīm adalah: Wahai malaikat yang dikuasakan yang diuji lagi yang terperdaya, sesungguhnya Aku [Tuhan] tidak mengutusmu, agar engkau mengumpulkan dunia, sebagiannya kepada sebagian yang lain.
وَلكِنْ بُعِثْتُكَ لِتَرُدَّ عَنِّيْ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنِّيْ لَا أَرُدُّهَا وَ لَوْ كَانَتْ مِنْ فَمٍ كَافِرٍ.
Akan tetapi Aku mengutusmu, agar engkau dapat mengirimkan kepada-Ku permohonan orang yang dizhalimi, karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, walaupun permohonan itu dari mulut orang kafir.
وَ مِنْهَا: وَ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ سَاعَةٌ يُنَاجِيْ فِيْهَا رَبَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ
Dan di antara isi shuḥuf Nabi Ibrāhīm adalah: Wajib bagi orang berakal, agar ia memiliki satu waktu, yang ia bermunajat di waktu tersebut kepada Tuhannya ‘azza wa jalla.
وَ سَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيْهَا نَفْسَهُ
Dan satu waktu, yang ia mengintrospeksi di waktu itu tentang dirinya,
وَ سَاعَةٌ يَتَفَكَّرُ فِيْهَا صُنْعَ اللهِ تَعَالَى
dan satu waktu, yang ia dapat berfikir di waktu itu tentang ciptaan Allah ta‘ālā,
وَ سَاعَةٌ يَخْلُوْ أَيْ يَتَجَرَّدُ فِيْهَا لِحَاجَتِهِ مِنَ الْمَطْعَمِ وَ الْمَشْرَبِ.
dan satu waktu yang ia meluangkan diri, yakni ia mengkhususkan diri di waktu itu untuk berbagai kebutuhannya, berupa makanan dan minuman.
وَ مِنْهَا: وَ عَلَى الْعَاقِلِ أَن لَا يَكُوْنَ طَامِعًا أَيْ مُؤَمِّلًا
Dan di antara isi shuḥuf Nabi Ibrāhīm adalah: Wajib bagi yang berakal, agar ia tidak berlaku sebagai orang yang ambisi, yakni orang yang sangat mengharapkan sesuatu,
إِلَّا فِيْ ثَلَاثٍ تَزَوَّدٌ لِمَعَادٍ وَ مَرَمَّةٌ لِمَعَاشٍ وَ لَذَّةٌ فِيْ غَيْرِ مُحَرَّمٍ.
Kecuali pada tiga hal, yaitu: (1) berbekal untuk akhirat, (2) berbuat perbaikan bagi penghidupan, dan (3) kelezatan dalam hal yang tidak diharamkan.
قَوْلُهُ مَرَمَّةٌ بِفَتْحَاتٍ وَ تَشْدِيْدِ الْمِيْمِ أَيْ إِصْلَاحٌ.
Sabda Nabi: “Marammatun”, dengan dibaca fatḥah semua hurufnya, dan huruf mīm-nya ber-tasydīd, maksudnya adalah perbaikan.
وَ مِنْهَا: وَ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ بَصِيْرًا بِزَمَانِهِ مُقْبِلًا عَلَى شَـأْنِهِ حَافِظًا لِلِّسَانِهِ
Dan di antara isi shuḥuf Nabi Ibrāhīm adalah: Wajib bagi orang yang berakal, hendaknya ia sangat mengerti dengan zamannya, bersiap sedia untuk melakukan hal penting baginya, lagi sebagai pemelihara terhadap lidahnya
وَ مَنْ عَدَّ كَلَامَهُ مِنْ عَمَلِهِ قَلَّ كَلَامُهُ إِلَّا فِيْمَا يَعْنِيْهِ
Dan siapa saja yang memperhitungkan ucapannya dari perbuatannya, maka sedikitlah ucapannya, kecuali dalam hal yang penting baginya.”
بِفَتْحِ أَوَّلِهِ مِنْ بَابِ رَمَى أَيْ مَا تَتَعَلَّقُ عِنَايَتُهُ بِهِ كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ فَتْحِ الْمُبِيْنِ.
[Lafazh ya‘nīhi] dengan di-fatḥah-kan awalnya, se-wazan dengan lafazh rāma, yakni sesuatu yang berkaitan perhatian seseorang dengan sesuatu itu, sebagaimana Syaikh Ibnu Ḥajar telah berkata di dalam kitab Fatḥ-ul-Mubīn.
Catatan: