Bab: Adzan (3281).
185. Keempat Imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan dalam shalāt lima waktu dan shalāt Jum‘at. (3292).
186. Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya mengumandangkan adzan dan iqamat.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Keduanya sunnah.”
Aḥmad berkata: “Adzan dan iqamat hukumnya wajib Kifāyah atas penduduk kota. Apabila ada yang mengumandangkan maka hukumnya sah untuk semuanya.” (3303).
187. Mereka sepakat bahwa wanita tidak disyariatkan mengumandangkan adzan dan tidak pula disunnahkan. (3314).
188. Mereka berbeda pendapat tentang Iqamat, apakah ia disyariatkan atas kaum perempuan atau tidak?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad berkata: “Iqamat tidak disyariatkan atas mereka.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Iqamat disyariatkan atas mereka.” (3325).
189. Mereka sepakat bahwa apabila penduduk suatu negeri meninggalkan adzan dan Iqamat maka mereka harus diperangi, karena keduanya termasuk salah satu syi‘ar-syi‘ar Islam yang tidak boleh diremehkan. (3336).
[…..] (3347)
190. Mereka berbeda pendapat tentang sifat adzan.
Abū Ḥanīfah, dan Aḥmad berkata: “Seperti adzan Bilāl.” (3358), sementara menurut Aḥmad dan asy-Syāfi‘ī, sifatnya adalah adzan Abū Mahdzūrah. (3369).
Redaksi adzan menurut Abū Ḥanīfah, dan Aḥmad adalah Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh. (tanpa pengulangan).
Imām Mālik dan Imām asy-Syāfi‘ī berbeda pendapat tentang sifat adzan meskipun mereka memilih redaksi adzan Abū Mahdzūrah.
Adzan menurut Mālik ada 17 kalimat: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh – Tanpa mengeraskan suara saat membaca Tasyahhud – Kemudian diulangi lagi dengan mengeraskan suara: Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh.
Adzan menurut Imām asy-Syāfi‘ī ada 19 kalimat: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh – dengan merendahkan suara saat mengulang Tasyahhud – kemudian mengulangi dengan suara panjang: Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh. (33710).
191. Mereka juga berbeda pendapat tentang sifat Iqamat.
Abū Ḥanīfah berkata: “Iaqamah adalah dua kali dua kali seperti adzan dengan ditambah lafazh Iqamah dua kali (Qad Qāmat-ish-Shalāh).” Sehingga jumlah kalimatnya menurutnya ada 17 yaitu: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Qad Qāmat-ish-Shalāh, Qad Qāmat-ish-Shalāh, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh.
Dia juga berkata: “Jika seseorang membaca Iqamat masing-masing satu kalimat (tidak diulang) maka dia telah meninggalkan sunnah.”
Mālik berkata: “Iqamat masing-masing satu kalimat.” Sehingga menurutnya ada 10 kalimat yaitu: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Qad Qad Qāmat-ish-Shalāh, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh.
Asy-Syāfi‘ī – dalam riwayat yang masyhur darinya – dan Aḥmad berkata: “Iqamat ada 11 kalimat, semuanya dibaca satu kali kecuali lafazh Iqamat yang dibaca dua kali. Jadi redaksinya adalah: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Qad Qad Qāmat-ish-Shalāh, Qad Qad Qāmat-ish-Shalāh, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh.
Asy-Syāfi‘ī juga mengatakan dalam pendapat lainnya seperti madzhab Mālik bahwa Iqamat ada 10 kalimat dengan kalimat yang tidak diulang, yaitu: Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Asyhadu Allā Ilāha Illallāh, Asyhadu Anna Muḥammad-ar-Rasūlullāh, Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ, Qad Qad Qāmat-ish-Shalāh, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāh. (33811).
192. Mereka sepakat bahwa tidak boleh mengumangkan adzan sebelum masuk waktu shalāt, kecuali adzan shalāt Shubuḥ yang boleh dikumandangkan sebelum masuk waktunya. Demikianlah menurut Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad.
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak boleh mengumandangkan adzan kecuali setelah terbit fajar (masuk waktu Shubuḥ).”
Diriwayatkan dari Aḥmad bahwa dia berkata: “Aku tidak suka adzan sebelum terbit fajar pada bulan Ramadhān.” (33912).
Aku mengatakan (34013) Menurutku, adzan sebelum fajar terbit tidak makruh, berdasarkan hadits shaḥīḥ yang masyhur bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَلَا يَمْنَعُكُمْ ذلِكَ مِنْ سَحُوْرِكُمْ.
“Sesungguhnya Bilāl mengumandangkan adzan pada malam hari, maka janganlah adzannya menghalangi kalian untuk makan sahur.” (34114).
Seandainya hal ini dilarang, tentunya Rasūlullāh s.a.w. tidak akan mengakui perbuatan Bilāl dengan mengatakan sesuatu yang menunjukkan ketidak-sukaannya. (34215).
193. Mereka sepakat bahwa Tatswīb (yakni: mengucapkan “ash-Shalātu Khairun Minan-naum”) hanya dibaca dalam adzan shalāt Shubuḥ saja. (34316).
194. Mereka berbeda pendapat tentang hukum Tatswīb.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad berkata: “Tatswīb hukumnya sunnah.”
Adapun dari Imām asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat lamanya (Qaul Qadīm) menyebutkan bahwa hukumnya seperti madzhab Jamā‘ah, sedangkan menurut pendapat barunya (Qaul Jadīd) Tatswib tidak perlu diucapkan. (34417).
195. Mereka berbeda pendapat tentang Tatswīb, kapan ia diucapkan?
Mālik, asy-Syāfi‘ī – dalam Qaul Qadīm – dan Aḥmad berkata: “Tatswīb adalah mengucapkan “ash-Shalātu Khairun Minan-naum” dua kali setelah ucapan: Ḥayya ‘Alal-Falāḥ dalam adzan.”
Para pengikut Abū Ḥanīfah berbeda pendapat dalam hal ini. Ath-Thahawī (34518) meriwayatkan dalam Ikhtilāf-ul-‘Ulamā’ dari Abū Ḥanīfah dan Abū Yūsuf seperti madzhab Jamā‘ah. Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Syuja‘. (34619). Dia meriwayatkan pendapat yang sama dengannya. Sedangkan ulama Ḥanafiyyah yang lain mengatakan: “Yang dikenal adalah selain ini, yaitu mengucapkan “ash-Shalātu Khairun Minan-naum” dua kali di antara adzan dan Iqamat, atau mengucapkan: Ḥayya ‘Alash-Shalāh, Ḥayya ‘Alal-Falāḥ dua kali dalam adzan dan Iqamat. Pendapat ini lebih utama, dan ini adalah madzhab Muḥammad bin al-Ḥasan.” (34720).
196. Mereka sepakat bahwa adzan yang berlaku adalah adzan yang dikumandangan oleh orang Islam yang berakal, (34821).
197. Mereka sepakat bahwa adzan yang dikumandangan orang gila tidak berlaku.
198. Mereka sepakat bahwa apabila seorang perempuan mengumandangkan adzan untuk memberitahukan kaum lelaki (akan masuknya waktu shalāt) maka adzannya tidak berlaku. Adapun bila dia mengumandangkan adzan untuk kaum perempuan maka hukumnya dibolehkan. Ibn-ul-Mundzir. (34922) meriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a., bahwa dia mengumandangkan adzan lalu Iqamat.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila kaum perempuan shalat sendiri-sendiri maka masing-masing boleh mengumandangkan adzan dan Iqamat untuk dirinya sendiri tanpa mengeraskan suaranya.” (35023).
199. Mereka sepakat bahwa adzan anak kecil yang sudah Mumayyiz untuk memanggil kaum lelaki hukumnya sah. (35124).
200. Mereka sepakat bahwa disunnahkan agar mu’adzdzin berstatus merdeka, baligh dan suci. (35225).
201. Mereka sepakat bahwa adzan yang dikumandangkan orang yang terkena hadats dianggap sah bila hadatsnya kecil, meskipun mereka menganjurkan agar mu’adzdzin dalam kondisi suci. (35326).
202. Mereka sepakat bahwa apabila orang yang kerkena janabat mengumandangkan adzan maka hukumannya sah. Hanya saja dia harus adzan di luar masjid agar tidak masuk ke dalam masjid dalam kondisi junub. Kecuali menurut salah satu riwayat dari Aḥmad bahwa adzan orang yang terkena janabat tidak berlaku. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (35427).
203. Mereka sepakat bahwa adzan tidak disunnahkan untuk selain shalāt lima waktu dan shalāt Jum‘at. (35528).
204. Mereka sepakat bahwa yang disunnahkan dalam shalat dua Hari Raya, shalāt gerhana dan shalāt Istisqā’ adalah tidak ada adzan kecuali hanya sekedar mengucapkan: “ash-Shalātu Jāmi‘ah.” (35629).
205. Mereka sepakat bahwa shalat jenazah tidak ada adzannya.
206. Mereka berbeda pendapat tentang mengambil upah atas adzan dan Iqamat.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh.”
Mālik, dan mayoritas pengikut asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh.”
Abū Ḥāmid berkata: “Orang yang membolehkannya telah keliru”, karena asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang memberi upah para mu’adzdzin adalah penguasa”, tanpa menyebutkan pembolehannya.
Ibn-ul-Mundzir meriwayatkan dari asy-Syāfi‘ī bahwa dia berkata: “Mu’adzdzin tidak diberi upah kecuali dari seperlima yakni seperlima yaitu bagian Nabi s.a.w.” (35730).
[….] (35831) Mereka berbeda pendapat bila mu’adzdzin salah ucap saat mengumandangkan adzan.
Menurut salah seorang pengikut Imām Aḥmad dalam salah satu dari dua pendapatnya mengatakan: “Adzannya tidak sah.” (35932).
207. Mereka berbeda pendapat, apakah boleh mengulangi shalāt dengan adzan dan Iqamat di masjid yang ada imam resminya?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh.”
Mālik berkata: “Apabila di masjid tersebut ada imam resminya maka shalāt tersebut tidak boleh digabungkan secara mutlak.”
Para pengikut Imam asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukum adzan dan Iqamat yang ada imam resminya dibolehkan di masjid-masjid pasar yang di dalamnya shalat sering diulang, bukan masjid-masjid yang berada di jalan.”
Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan secara mutlak.” (36033).
Catatan:
- 328). Adzan secara bahasa adalah pemberitahuan. Sedangkan menurut terminologi adalah lafazh yang telah diketahui yang disyariatkan pada waktu-waktu shalat untuk memberitahukan waktunya. ↩
- 329). Lih. al-Ijmā‘ karya Ibn-ul-Mundzir (18), al-Majmū‘ (3/83), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 330). Lih. al-Majmū‘ (3/83), al-Mughnī (1/461), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/201). ↩
- 331). Lih. al-Muhadzdzab (1/111), al-Mudawwanah (1/180), al-‘Uddah (1/65), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 332). Lih. al-Mughnī (1/467), al-Majmū‘ (3/108), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/472), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 333). Lih. at-Tanbīh karya as-Syīrāzī (18), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/460), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 334). Dalam manuskrip “C” tertulis: Masalah Adzan. ↩
- 335). HR. al-Bukhārī (603) dan Muslim (378). ↩
- 336). HR. Muslim (379), Abū Dāūd (500), at-Tirmidzī (191), dan an-Nasā’ī (628). ↩
- 337). Lih. al-Muhadzdzab (1/109), al-Hidāyah (1/44), al-‘Uddah (1/65), dan at-Talqīn (92). ↩
- 338). al-Hidāyah (1/44), al-Mudawwanah (1/179), al-Muhadzdzab (1/111), dan al-‘Uddah (1/65). ↩
- 339). Lih. al-Ijmā‘ karya Ibn-ul-Mundzir (18), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/203), al-Majmū‘ (3/96), dan al-Mughnī (1/455). ↩
- 340). Dalam manuskrip “Z” dan naskah yang dicetak tertulis: al-Wazīr Yaḥyā bin Muḥammad raḥimahullāh berkata. ↩
- 341). HR. al-Bukhārī (2656), Muslim (1092), dan an-Nasā’ī (2170). ↩
- 342). Ini termasuk sikap obyektif sang imam yang lebih mengutamakan dalil daripada pendapat imamnya. Semoga Allah merahmati Ibnu Hubairah yang lebih mengikuti dalil daripada fanatik madzhab. ↩
- 343). Lih. al-Mughnī (1/453), al-Majmū‘ (3/102), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 344). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/465), al-Mughnī (1/454), at-Talqīn (92), dan al-Muhadzdzab (1/110). ↩
- 345). Dia adalah Abū Ja‘far Aḥmad bin Muḥammad bin Salamah ath-Thahawī, seorang ulama madzhab Ḥanafī yang berasal dari Mesir. Dia adalah salah seorang imam Tsiqah yang memiliki banyak karya yang bermanfaat. Dia adalah putra saudara perempuan imam al-Muzanī. Di antara karya-karyanya adalah Aḥkām-ul-Qur’ān, Ikhtilāf-ul-‘Ulamā’, Ma‘ān-il-Atsar. Dia wafat pada tahun 321 Hijriyyah. Lih. al-Bidāyatu wan-Nihāyah (11/185). ↩
- 346). Dia adalah Muḥammad bin Syuja‘ Abū ‘Abdillāh al-Baghdādī al-Ḥanafī, seorang ahli fikih terkenal yang terkenal dengan panggilan Ibn-uts-Tsaljī. Dia mengarang kitab al-Manāsik, hanya saja dia tidak berkomentar dalam masalah al-Qur’ān. Dia wafat pada tahun 266 Hijriyyah. Lih. as-Siyar (10/269). ↩
- 347). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/465), al-Majmū‘ (3/99), al-Mughnī (1/453), dan Raḥmat-ul-Ummah (34). ↩
- 348). Lih. al-Majmū‘ (3/106), al-Mughnī (1/459), dan Raḥmat-ul-Ummah (35). ↩
- 349). Dia adalah Abū Bakar Muḥammad bin Ibrāhīm bin al-Mundzir an-Naisābūrī, seorang utama asal Naisābūr yang menetap di Makkah. Dia seorang imam terkenal yang tidak Taqlīd kepada seorang pun di akhir usianya. Di antara karya-karyanya adalah al-Ijmā‘, al-Isyrāf, al-Iqnā‘. Dia wafat pada tahun 318 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (2/197). ↩
- 350). Lih. al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (2/53), al-Majmū‘ (3/106), al-Mughnī (1/459), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/205), dan Raḥmat-ul-Ummah (35). ↩
- 351). Ibid. ↩
- 352). Ibid. ↩
- 353). Ibid. ↩
- 354). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (20). Lih. al-Mughnī (1/458), al-Hidāyah (1/46), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/474), al-Majmū‘ (3/113), dan Raḥmat-ul-Ummah (35). ↩
- 355). Lih. al-Majmū‘ (3/83), Raḥmat-ul-Ummah (345), dan al-Istidzkār (2/414). ↩
- 356). Ibid. ↩
- 357). Lih. al-Umm (2/181), dan Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/477). ↩
- 358). Lih. al-Umm (2/184), dan al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (2/64) ↩
- 359). al-Mughnī (1/460) (1/479), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/477), al-Majmū‘ (3/135), al-Mudawwanah (1/183), dan Raḥmat-ul-Ummah (35). ↩
- 360). al-Mudawwanah (1/182), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/481), al-Majmū‘ (3/92). ↩