فَلْيَجْزِمْ عَقْدَهُ بِأَنَّ الْعَالَمَ مُحْدَثٌ وَ لَهُ صَانِعٌ وَ هُوَ اللهُ الْوَاحِدُ.
وَ الْوَاحِدُ الشَّيْءُ الَّذِيْ لَا يَنْقَسِمُ وَ لَا يُشَبَّهُ بِوَجْهٍ.
Karenanya, hendaklah seseorang memantapkan simpul keyakinannya, bahwa alam adalah baru, alam ada penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Esa.
Esa adalah sesuatu yang tidak dapat terbagi sama sekali, dan tidak diserupai sama sekali.
ALAM ADALAH BARU DAN MEMILIKI PENCIPTA.
Alam adalah segala sesuatu selain Allah, dari segala yang wujud. Disebut “alam” tercetak dari akar kata ‘alāmah, yakni “tanda”, karena alam menjadi pertanda atas wujud penciptanya. Sebagian ulama’ mendefinisikan alam sebagai “segala sesuatu selain Allah dan sifat-sifatNya”. Akan tetapi, tambahan “sifat-sifatNya” tidak diperlukan, karena sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang lain, sebagaimana bahwa sifat-sifat Allah bukanlah dzāt Allah.
Hendaklah seorang mukallaf memantapkan simpul keyakinannya, bahwa alam adalah baru, diwujudkan dari tiada. Karena alam berubah, sebagaimana kita saksikan. Dan setiap yang berubah adalah baru, karena diwujudkan setelah tiada.
Dan hendaklah mukallaf mematapkan keyakinannya, bahwa alam ada penciptanya, karena merupakan keniscayaan bahwa sesuatu yang tercipta pasti ada penciptanya. Dan penciptanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena seandainya secara akal boleh terjadi adanya dua tuhan, maka pastilah secara akal boleh juga terjadi salah satu tuhan menghendaki sesuatu, tuhan yang lain menghendaki kebalikan tunggal dari sesuatu itu. Semisal, dua tuhan, A dan B, tuhan A menghendaki bergeraknya Zaid, tuhan B menghendaki diamnya Zaid. Maka mustahil kedua kehendak itu terwujud, mustahil pula kedua kehendak itu tidak terwujud. Karena antara bergerak dan diam adalah dua hal yang mustahil berkumpul, mustahil pula keduanya tiada. Maka tak ada lagi pilihan kecuali terjadinya salah satu kehendak. Dan yang kehendaknya terwujud itulah Tuhan yang sebenarnya, bukan tuhan yang kehendaknya tidak terwujud, karena ia lemah. Karenanya, Tuhan hanyalah satu.
Nalar berpikir sebagaimana paparan di atas senada dengan firman Allah:
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللهُ لَفَسَدَتَا (الأنبياء: 22)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (al-Anbiyā’: 22).
ALLAH S.W.T. MAHA ESA.
Disimpulkan di atas bahwa Allah s.w.t. Maha Esa (wāḥid). Selanjutnya “wāḥid” didefinisikan sebagai “sesuatu yang tidak terbagi sama sekali, dan tidak serupa sama sekali”, sebagaimana dikutip Imām al-Ḥaramain dari istilah ushūliyyīn. Karena sesuatu yang bisa terbagi, bisa bertambah dan berkurang. Maksud dari “tidak serupa sama sekali” adalah tidak menyerupai sesuatu dan tidak diserupai sesuatu, hingga dalam wujudnya. Waḥdah (satu) disebut untuk Allah ta‘ālā dari tiga sisi:
dengan makna “meniadakan yang sepadan dalam dzāt dan shifat-Nya”.
dengan makna “sendirian dalam mencipta, mewujudkan dan mengatur.” (361).
Catatan: