Ibadah puasa seseorang akan menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Dan jika tidak terpenuhi pada dirinya syarat-syarat di atas, maka tidak sah puasanya.
Seorang Muslim dibebankan kewajiban berpuasa apabila terkumpul padanya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Islam.
Wajib atas semua orang Muslim untuk menunaikan Ibadah puasa dan tidak diwajibkan bagi orang kafir asli. Jika dia kemudian masuk Islam, maka tidak wajib meng-qadhā’-nya, dan jika dia meng-qadhā’nya maka hukumnya sunnah. Lain halnya atas orang yang Murtad, jika dia kembali ke agama Islam, dia wajib mengqadhā’ (mengganti) Ramadhān yang telah dia tinggalkan selama dia murtad. Seandainya dia murtad selama 10 tahun, maka wajib dia mengqadhā’ puasanya selama 10 Ramadhān juga.
2. ‘Āqil Bāligh.
Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Walaupun demikian, wajib atas orang tua atau walinya untuk menyuruhnya berpuasa ketika dia genap 7 (tujuh) tahun dan memukulnya jika dia tidak menunaikannya ketika di genap berumur 10 tahun.
3. Istithā‘ah (Kemampuan Untuk Berpuasa).
Yang dimaksud dengan istithā‘ah adalah orang yang mampu menunaikan ibadah puasa tanpa ada kesulitan yang besar. Dan tidak wajib atas orang tua jompo, baik laki-laki atau perempuan, karena mereka secara fisik tidak mampu berpuasa. Begitu pula tidak wajib atas wanita haidh dan nifas karena mereka juga tergolong orang yang tidak mampu secara syara‘ untuk melakukannya, bahkan syara‘ melarang wanita haidh atau nifas untuk berpuasa. Akan tetapi wajib atas wanita haidh dan nifas untuk mengqadha’ puasanya setelah suci.
4. Sehat Badannya.
Maka tidak wajib menunaikan ibadah puasa atas orang sakit yang sekiranya jika dia berpuasa akan menyebabkan bertambah parah atau tambah lama sembuhnya. Atau kalau dia berpuasa akan merasa lelah yang sangat dan macam-macam kesulitan lainnya yang sulit diatasi, walaupun dia mampu di masa yang akan datang kalau sudah sembuh, seperti demam yang parah dan lain-lain.
Akan tetapi apakah wajib dia berniat pada malam hari atau tidak? Hukumnya adalah sebagai berikut:
“Apabila sakitnya terus-menerus tanpa henti, maka dia boleh meninggalkan niat. Dan apabila sakitnya terputus-putus yakni kadang-kadang kambuh dan kadang-kadang sembuh, seperti: demam, maka kita lihat jika waktu dia ingat akan niat atau waktu akan berniat kambuh demamnya, maka dia boleh meninggalkan niat. Dan kalau tidak kambuh waktu itu maka wajib berniat. Dan jika dia sudah berniat dan kemudian kambuh lagi sakitnya di siang hari, maka boleh dia berbuka, bahkan jika ada takut dengan tetap berpuasa itu akan membahayakan dirinya, maka dia wajib berbuka.”
5. Muqīm (Tidak Musafir).
Bagi musāfir tidak diwajibkan atasnya untuk berpuasa, dan dia boleh berbuka dengan tiga syarat:
Dan wajib atas musāfir untuk mengqadhā’ hari-hari yang dia tinggalkan selama bepergian, setelah selesai bulan Ramadhān.
Setiap orang yang akan berpuasa, harus menjalankan rukun-rukunnya, kalau ditinggalkan maka tidak sah puasanya. Rukun-rukun puasa itu adalah sebagai berikut:
1. Niat.
Setiap orang yang ingin berpuasa wajib untuk berniat, sekalipun anak kecil. Hanya ada perbedaan antara niat puasa wajib dan niat puasa sunnah, yaitu sebagai berikut:
Niat dalam puasa wajib, seperti puasa Ramadhān, wajib dilakukan setiap malam, karena dalam Madzhab Syāfi‘ī disebutkan bahwa setiap hari dari bulan Ramadhān adalah ibadah mustaqillah (tersendiri), karena itu setiap hari dari bulan Ramadhān membutuhkan satu niat pada setiap malamnya.
Namun tidak apa-apa apabila dia berniat pada malam pertama untuk berpuasa sebulan penuh dengan bertaqlid pada Madzhab Mālikī, sehingga apabila dia meninggalkan niat pada suatu malam, maka sah hukum puasanya menurut Madzhab Mālikī walaupun wajib mengqadha’nya dalam Madzhab Syāfi‘ī.
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ فَرْضًا للهِ تَعَالَى.
Artinya:
“Aku berniat puasa esok hari guna menunaikan ibadah puasa Ramadhān yang wajib karena Allah ta‘ālā.”
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ صَوْمِ نَذْرٍ للهِ تَعَالَى.
Artinya:
“Aku berniat puasa esok hari guna menunaikan puasa wajib karena nadzar untuk Allah ta‘ālā.”
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ صَوْمِ كَفَّارَةِ…. للهِ تَعَالَى.
Artinya:
“Aku berniat puasa esok hari guna menunaikan puasa wajib sebagai kaffara….. untuk Allah ta‘ālā.”
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ صَوْمِ سُنَّةِ يَوْمِ عَرَفَةَ للهِ تَعَالَى.
Artinya:
“Aku berniat puasa esok hari guna menunaikan puasa sunnah hari ‘Arafah untuk Allah ta‘ālā.”
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ صَوْمِ سُنَّةِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ للهِ تَعَالَى.
Artinya:
“Aku berniat puasa esok hari guna menunaikan ibadah puasa sunnah hari ‘Āsyurā’ untuk Allah ta‘ālā.”
Hukum jika seseorang menggantungkan niat puasa Ramadhān pada malam 30 Sya‘bān.
Seseorang pada malam 30 Sya‘bān berniat akan berpuasa esok hari, jika keesokan harinya adalah hari pertama dari bulan Ramadhān atau tidak akan berpuasa jika bukan hari pertama dari bulan Ramadhān. Hukum puasa orang seperti ini tidak sah karena dia ragu berniat. Walaupun keesokan harinya ternyata hari pertama dari bulan Ramadhān.
Hukum jika seseorang menggangtungan niat puasa Ramadhān pada malam 30 Ramadhān.
Seseorang berniat pada malam 30 Ramadhān untuk berpuasa esok harinya jika masih bulan Ramadhān, atau tidak jika sudah selesai bulan Ramadhān, maka hukum puasa orang ini adalah sah, karena yang asal pada tanggal 30 Ramadhān adalah masih dalam bulan Ramadhān.
Hukum jika wanita haidh menggantungkan niat puasa Ramadhān pada malam hari.
Seorang wanita mengalami haidh, berniat pada waktu malam hari untuk berpuasa esok harinya, karena menurut perhitungan, biasanya haidhnya tuntas sebelum fajar. Maka hukum puasanya adalah sah bahkan dia wajib berniat, begitu pula jika malam itu adalah malam terakhir dari masa haidhnya karena paling banyaknya masa haidh adalah 15 hari 15 malam.
2. Meninggalkan Perkara-perkara yang Membatalkan Ibadah Puasa.
Meninggalkan perkara-perkara yang membatalkan ibadah puasa, maksudnya rukun yang kedua dari ibadah puasa, baik puasa wajib atau puasa sunnah adalah meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti bersetubuh, atau masuknya sesuatu ke dalam perut, dalam keadaan ingat dan dengan ikhtiarnya serta bukan orang yang jāhil ma‘dzūr. Maka tidak batal puasanya apabila dia melakukannya karena lupa atau terpaksa, atau dia seorang yang jāhil ma‘dzūr.