364. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa boleh mengqashar shalat dalam perjalanan. (5512).
365. Mereka berbeda pendapat, apakah qashar merupakan rukhshah atau azimah?
Abū Ḥanīfah berkata: “Ia adalah azimah.” Bahkan dia berpendapat keras dalam masalah ini, sampai-sampai dia mengataan: “Apabila seseorang shalat Zhuhur 4 rakaat tanpa duduk setelah 2 rakaat maka shalatnya batal.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Ia adalah rukhshah.”
Ada pula riwayat dari Mālik bahwa qashar merupakan azimah, seperti madzhab Abū Ḥanīfah. (5523).
366. Mereka berbeda pendapat tentang perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat.
Abū Ḥanīfah berkata: “Perjalanan 3 hari dengan onta dan jalan kaki.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “16 Farsakh.” (5534).
Mereka yang mengatakan bahwa qashar merupakan rukhshah (dispensasi) berbeda pendapat, apakah ia lebih utama dari menunaikan shalat secara sempurna?
Mālik, asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – dan Aḥmad berkata: “Qashar lebih utama.”
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam pendapat lainnya: “Menunaikan secara sempurna lebih utama.” (5545).
367. Mereka semua sepakat bahwa shalat Shubuḥ dan shalat Maghrib tidak diqashar. (5556).
368. Mereka sepakat bahwa rukhshah berupa qashar dan berbuka puasa hanya berkaitan dengan perjalanan wajib dan mubah. (5567).
369. Mereka berbeda pendapat tentang perjalanan dalam rangka melakukan maksiat, apakah pelakunya boleh menjalankan rukhshah yang dibolehkan oleh syariat?
Abū Ḥanīfah berkata: “Semua rukhshah (dispensasi) dibolehkan.”
Mālik dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Yang dibolehkan hanyalah makan bangkai saja.”
Mālik – dalam riwayat yang masyhur darinya – , asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Tidak ada rukhshah yang dibolehkan secara mutlak.” (5578).
370. Mereka berbeda pendapat tentang musāfir yang selalu bersama keluarganya, seperti pelaut, duta (utusan) penguasa (atau pengirim surat) dan kusir keledai.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh menjalankan rukhshah yang dibolehkan, akan tetapi menyempurnakannya lebih utama, karena dia ada di negerinya sendiri.”
Aḥmad berkata: “Tidak ada rukhshah.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Mālik. (5589).
371. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang bepergian tanpa berniat mendatangi daerah tertentu maka tidak ada rukhshah baginya. Kecuali riwayat dari Abū Ḥanīfah bahwa apabila seseorang dalam kondisi demikian lalu dia bepergian selama 3 hari maka dia boleh mengqashar shalat setelah itu. (55910).