BAB II
Puasa bulan Ramadhān hukumnya adalah fardhu ‘ain wajib atas semua orang Islam sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (al-Baqarah: 183).
Ibadah puasa, wajib atas umat terdahulu, sebagaimana tertera dalam ayat tersebut. Hanya bedanya umat terdahulu diwajibkan untuk berpuasa selama 3 hari setiap bulan yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15 dan ditambah hari ‘Āsyūrā’. Jadi, mereka berpuasa dalam setahun sebanyak 37 hari. Bagi kita umat Rasūlullāh s.a.w., Allah meringankannya menjadi 29-30 hari yaitu pada bulan Ramadhān saja.
Bulan Ramadhān merupakan bulan yang kesembilan dari bulan-bulan ‘Arab, dan bulan ini adalah paling afdhalnya (utamanya) bulan-bulan Allah. Bulan ini dinamakan pula dengan bulan kesabaran, karena bulan ini kita dituntut untuk bersabar, juga dinamakan bulan perluasan, karena pada bulan ini kita juga dituntut untuk menginfakkan sebagian harta kita untuk meluaskan (membantu) orang-orang yang butuh (dari fakir dan miskin). Dan dinamakan juga dengan bulan Ramadhān karena bulan ini meleburkan dosa-dosa, diambil dari kata-asal (dasar) (رَمَضَ) berarti meleburkan.
Adapun ayat serta hadits yang menunjukkan afdhalnya bulan Ramadhān cukup banyak, di antaranya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Yang artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhān, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’ān sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ (ص): قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (متفق عليه)
Yang artinya:
“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhān karena iman dan mengharapkan pahala Allah semata, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Juga Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ (ص): قَالَ: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ. (رواه البخاري و مسلم)
Yang artinya:
“Apabila datang bulan Ramadhān dibuka pintu-pintu surga, dan ditutup pintu-pintu neraka dan diikat syaithan-syaithan.” (HR. Bukhārī dan Muslim).
Ditentukannya bulan Hijriyyah sebagai bulan puasa, tepatnya pada bulan Ramadhān, mempunyai hikmah-hikmah tertentu, di antaranya sebagaimana berikut:
Kepastian masuknya bulan Ramadhān dapat diketahui dengan salah satu dari 5 perkara di bawah ini:
Apabila sudah pasti masuknya bulan Sya‘bān, kemudian berlalu 30 hari dari bulan ini, maka kita dapat memastikan bahwa hari setelahnya adalah hari pertama bulan Ramadhān, baik tampak atau tidak tampak bulan pada malam itu. Karena bulan ‘Arab tidak lebih dari 30 hari, untuk itu wajib kita memastikan masuknya bulan Sya‘bān sehingga kita ambil jika bulan tidak tampak pada malam 30 Sya‘bān atau langit diliputi mendung sehingga kita tidak dapat memastikan tampaknya bulan pada malam 30 Sya‘bān. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ إِنْ غَابَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ. (رواه البخاري مسلم)
Yang artinya:
“Berpuasalah karena melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya. Dan apabila samar atas kalian maka genapkanlah Sya‘bān 30 hari.” (Hadits diriwayatkan Shaḥīḥ Bukhārī Muslim).
Yang dimaksud dengan seorang ‘adil syahadah adalah yang terkumpul pada orang itu empat syarat:
Maka apabila terkumpul pada orang itu syarat-syarat di atas, dan menyaksikan bulan pada malam 30 Sya‘bān kemudian dia bersaksi di depan qādhī (kalau sekarang Departemen Agama) dengan berkata: “Demi Allah saya bersaksi bahwa saya melihat bulan di tempat …….. di arah ……..”, maka dengan hal itu dapat dipastikan bahwa hari itu adalah awal Bulan Ramadhān dan wajib atas kaum muslimin yang ada di kota itu dan kota-kota lainnya di dalam negeri itu dengan syarat satu pemerintahan dan satu mathla‘ (satu mathla‘ adalah terbit matahari dan condongnya serta terbenamnya di dalam waktu yang sama satu beda sedikit) untuk menunaikan ibadah puasa tersebut.
Dan cukup satu saksi untuk menentukan masuknya bulan Ramadhān, lain halnya kesaksian dalam keluarnya bulan Ramadhān dan bulan-bulan lainnya maka disyaratkan 2 (dua) orang saksi. Dan hal itu untuk berhati-hati dalam ibadah puasa.
Hukum jika seseorang bepergian ke negara yang berbeda awal dan akhirnya Ramadhānnya.
Apabila seseorang berada pada negara yang sudah masuk bulan Ramadhān, maka dia wajib berpuasa. Kemudian dia bepergian ke negara lain yang jatuh bulan Ramadhān (puasa) sehari setelah di negerinya. Hukumnya: “Dia wajib mengikuti hukum puasa mereka. Walaupun dia harus berpuasa selama 31 hari. Begitu pula sebaliknya, apabila dia berada di negeri yang terlambat memulai puasa, kemudian dia pergi ke negeri yang lebih dahulu puasanya, maka dia wajib berhari-raya bersama mereka dan wajib mengqadhā’ satu hari sebagai gantinya. Begitu pula apabila dia berangkat dari negaranya dalam keadaan berpuasa, kemudian sesampainya ke negara yang dituju, di negara tersebut masih siang, padahal kalau dihitung waktunya, seharusnya dia sudah berbuka. Dalam hal ini, dia wajib mengikuti waktu berbuka di negeri itu. Walaupun dia harus berpuasa lebih panjang dari biasanya.”
Bagi orang yang menyaksikan tampaknya bulan pada malam 30 Sya‘bān, maka wajib atas dirinya untuk menunaikan ibadah puasa, walaupun kesaksiannya tidak diterima karena dianggap orang yang fasik dan lain-lain. Dan wajib berpuasa atas orang yang mempercayainya.
Apabila kita mendapat informasi dari orang yang mempunyai sifat ‘adil riwayat, yaitu orang yang mempunyai sifat ‘adil syahadah selain syarat laki-laki dan syarat orang itu merdeka, misalnya jika seorang wanita berkata bahwa dia melihat bulan pada malam 30 Sya‘bān, atau berkata bahwa pemerintah atau DEPAG telah menetapkan bahwa besok adalah awal bulan Ramadhān, maka hukumnya:
“Apabila dia tidak pernah terdengar berbohong, maka wajib atas orang yang diberitahu untuk menunaikan ibadah puasa hari itu, dengan syarat dia yakin bahwa dia tidak berbohong.”
Dan apabila dia dikenal pernah berbohong walaupun hanya satu kali, maka hukumnya:
“Apabila kita mempercayai bahwa dia berkata jujur dalam kabar itu, maka wajib bagi kita untuk berpuasa pada hari itu, walaupun yang membawa berita itu seorang yang fasiq atau anak kecil yang belum baligh.”
Bagi orang yang tidak dapat memastikan masuknya bulan Ramadhān karena dia berada di penjara, atau dalam hutan, atau menjadi tawanan dan lain sebagainya, sedangkan dia tahu Ramadhān terjadi pada musim hujan atau musim dingin, maka dia harus berijtihad dengan mencari tanda-tanda yang menunjukkan akan masuknya bulan Ramadhān, misalnya dengan mendengar suara sirine, dentuman meriam atau melihat lampu-lampu yang digantung di masjid, atau gema dzikir-dzikir yang secara khusus dikumandangkan pada waktu menyambut bulan Ramadhān atau tanda-tanda lainnya. Dan jika dia yakin hari itu adalah bulan Ramadhān, maka dia wajib berpuasa, seandainya dia berpuasa dengan ijtihad itu bertepatan dengan yang sebenarnya maka sahlah puasanya, sedangkan kalau dia memulai puasa sebelum masuk bulan Ramadhān, maka puasanya menjadi puasa sunnah. Dan wajib atasnya menunaikan puasa Ramadhān jika tiba saatnya. Atau jika dia berpuasa setelah puasa Ramadhān maka puasanya menjadi qadhā’ bagi Ramadhān yang telah berlalu.