KITĀB SHALĀT (2861)
Bab: Sifat Shalāt (2872).
157. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalāt merupakan salah satu rukun Islam yang lima.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا.
“Sesungguhnya shalāt itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisā’ [4]: 103). (2883).
158. Mereka sepakat bahwa shalāt ada lima waktu dalam sehari semalam. (2894).
159. Mereka sepakat bahwa shalāt lima waktu semuanya berjumlah 17 raka‘at, yaitu:
(a). Shalāt Shubuḥ 2 raka‘at;
(b). Shalāt Zhuhur 4 raka‘at;
(c). Shalāt ‘Ashar 4 raka‘at;
(d). Shalāt Maghrib 3 raka‘at; dan
(e). Shalāt ‘Isyā’ 4 raka‘at. (2905).
160. Mereka sepakat bahwa Allah s.w.t. mewajibkan shalāt lima waktu atas setiap muslim dan muslimah yang bāligh dan berakal, dengan syarat bahwa muslimah harus bebas dari haidh dan nifās. (2916).
161. Mereka sepakat bahwa kewajiban shalāt lima waktu tidak gugur dari orang mukallaf dari golongan laki-laki yang berakal lagi bāligh sampai maut menjemput. Begitu pula dari golongan perempuan, kecuali yang telah kami kecualikan yaitu yang sedang mengalami dua hadats (haidh dan nifās). Hanya saja Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila seseorang tidak bisa memberi isyarat dengan kepalanya maka kewajiban shalāt gugur darinya.” (2927).
162. Mereka sepakat bahwa apabila ada orang yang wajib menuanaikan shalāt (dari golongan yang diperintahkan menunaikannya) tidak mau menunaikannya karena mengingkari kewajibannya maka dia menjadi kafir dan wajib dibunuh sebagai murtad. (2938).
163. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan shalāt tapi meyakini kewajibannya.
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Dia harus dibunuh.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia harus dipenjara seumur hidup sampai mau shalāt dan tidak perlu dibunuh”
164. Mereka berbeda pendapat tentang alasan membunuhnya.
Mālik berkata: “Dia dibunuh sebagai hukuman Ḥadd baginya.”
Ibnu Ḥabīb (2949) – salah seorang ulama Mālikiyyah – berkata: “Dia dibunuh karena sudah kafir.”
Tidak ada perbedaan riwayat dari Mālik bahwa orang tersebut dibunuh dengan pedang.
Apabila orang yang meninggalkan shalāt yang mengakui kewajibannya dibunuh sebagai hukuman Ḥadd baginya, maka menurut madzhab Mālik harta orang tersebut tetap diwariskan, dan dia juga tetap dishalāti dan berlaku atasnya hukum orang mati yang beragama Islam.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila seseorang meninggalkan shalāt dengan tetap meyakini kewajibannya maka dia wajib dibunuh sebagai hukuman Ḥadd baginya, dan hukum yang berlaku baginya adalah hukum orang mati yang beragama Islam.”
Kemudian para pengikutnya berbeda pendapat, kapan dia dibunuh? Abū ‘Alī Ibnu Abī Hurairah (29510) berkata: “Menurut zhahir perkataan asy-Syāfi‘ī, dia dibunuh ketika waktu shalāt yang pertama telah sempit (tinggal sedikit). Demikianlah yang disebutkan oleh pengarang al-Ḥāwī.” (29611).
Abū Sa‘īd al-Ishthakhrī berkata: “Dia dibunuh bila meninggalkan shalāt keempat saat waktunya sempit.”
Abū Isḥāq al-Isfirāyīnī (29712) berkata: “Dia dibunuh bila meninggalkan shalāt kedua saat waktunya sempit, tapi sebelum dibunuh dia harus disuruh bertobat terlebih dahulu.” (29813).
165. Mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya.
Syaikh Abū Isḥāq asy-Syīrāzī berkata: “Menurut pendapat yang sesuai teks perkataan Imām asy-Syāfi‘ī (Manshūsh), dia dibunuh dengan pedang. Hanya saja Abul-‘Abbās (29914) bin Suraij berkata: “Dia tidak dibunuh dengan pedang, tapi dipukul dengan kayu sampai mau shalāt atau sampai tewas.” (30015).
166. Mereka berbeda pendapat, apakah orang yang meninggalkan shalāt kafir meskipun meyakini kewajibannya?
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Dia kafir bila meninggalkannya, berdasarkan yang dipahami dari zhahir hadits.” (30116).
Ada pula yang mengatakan: “Dia tidak dihukumi kafir. Maksud hadits tersebut adalah berkaitan dengan keyakinan.”
Aḥmad berkata: “Orang yang meninggalkan shalāt karena malas dan meremehkan tanpa mengingkari kewajibannya harus dibunuh.” Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya.
Kemudian terdapat beberapa riwayat yang berbeda darinya tentang kapan dia wajib dibunuh. Dalam hal ini ada tiga riwayat:
Pertama, apabila seseorang meninggalkan satu shalāt sampai waktu shalāt kedua telah sempit (tinggal sedikit) dan dia telah diajak menunaikannya tapi tidak mau, maka dia harus dibunuh. Demikianlah pendapat yang sesuai teks perkataannya. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas pengikutnya.
Abū Isḥāq (30217) Ibnu Syaqīla, salah seorang ulama Ḥanābilah merinci masalah ini dengan mengatakan: “Apabila dia meninggalkan shalāt sampai datang waktu shalāt lain yang tidak bisa dijama‘, seperti meninggalkan shalāt Shubuh sampai masuk waktu Zhuhur, atau meninggalkan shalāt ‘Ashar sampai masuk waktu Maghrib, maka dia harus dibunuh (dihukum mati). Sedangkan bila dia meninggalkan satu shalāt sampai masuk waktu shalāt lain yang antara keduanya bisa dijama‘, seperti shalāt Maghrib dengan shalāt ‘Isyā’ atau shalāt Zhuhur dengan shalāt ‘Ashar, maka dia tidak dibunuh (tidak dihukum mati).”
Kedua, apabila seseorang meninggalkan tiga shalāt secara berturut-turut hingga datang waktu shalāt keempat dan waktunya sempit (tinggal sedikit), lalu dia diajak menunaikannya tapi tidak mau, maka dia harus dibunuh.
Ketiga, dia harus diajak shalāt selama 3 hari. Bila dia mau shalāt maka dilepaskan. Tapi bila tidak mau maka harus dibunuh. Pendapat ini diriwayatkan oleh al-Marwazī dan dipilih oleh al-Khiraqī (30318). Dia harus dibunuh dengan pedang menurut satu riwayat.
Juga terdapat dua riwayat yang berbeda dari Aḥmad, apakah orang tersebut wajib dibunuh sebagai hukuman Ḥadd atau karena dia telah kafir?
Pertama, dia dibunuh karena kafir seperti orang murtad dan berlaku atasnya hukum-hukum orang murtad, seperti tidak boleh diwariskan hartanya, tidak boleh dishalāti dan hartanya menjadi Fai. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pengikutnya.
Kedua, dia dibunuh sebagai hukuman Ḥadd atasnya dan berlaku atasnya hukum orang mati yang beragama Islam. Pendapat ini dipilih oleh Abū ‘Abdillāh bin Baththah. (30419).
167. Mereka sepakat bahwa shalāt fardhu termasuk kewajiban yang tidak bisa diwakilkan, baik dengan jiwa maupun harta. (30520).
168. Mereka sepakat bahwa tidak boleh menunda shalāt sampai waktunya habis bagi orang yang ingat dan mampu melakukannya, tidak memiliki ‘udzur (halangan) dan tidak berniat menjama‘. (30621).
Ulama ahli bahasa berkata: “Doa menurut masyarakat ‘Arab adalah shalāt. Allah s.w.t. berfirman: (وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ) “dan doakanlah mereka” (QS. at-Taubah [9]: 103). Maksudnya adalah, berdoalah untuk mereka. Dinamakan shalāt karena di dalamnya terdapat doa. Ada pula yang mengatakan: “Kata shalāt berasal dari kalimat (صَلَّيْتُ الْعُوْدَ) artinya adalah aku melunakkannya batang kayu. Jadi orang yang shalāt adalah orang yang khusyu‘ dan lunak. Ada pula yang mengatakan bahwa shalāt berasal dari kata “Shalawī”, yaitu tulang belakang yang bisa naik saat ruku‘ dan sujud. (30722).
Catatan: