يَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. و اخْتُلِفَ هَلْ تَجُوْزُ الرُّؤْيَةُ فِي الدَّنْيَا وَ فِي الْمَنَامِ.
Allah dapat dilihat oleh orang-orang mu’min di hari Kiamat. Dan masih diperdebatkan, apakah mungkin melihat Allah di dunia, dan di saat dalam mimpi.
MENYAKSIKAN ALLAH S.W.T. DI AKHIRAT.
Orang-orang mu’min akan dapat melihat Allah kelak di hari kiamat, sebelum maupun sesudah masuk surga. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits shahih, di antaranya hadits yang diriwayatkan dari Abū Hurairah r.a. sebagai berikut:
قَالَ أُنَاسٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَقَالَ: هَلْ تُضَارُّوْنَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُوْنَهَا سَحَابٌ؟ قَالُوْا: لَا، يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: هَلْ تُضَارُّوْنَ فِي الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ دُوْنَهُ سَحَابٌ؟ قَالُوْا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذلِكَ. (رواه البخاري).
“Orang-orang bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apakah kami akan melihat Tuhan kami di hari kiamat?” Rasūl bersabda: “Apakah kalian kesulitan melihat matahari yang tak terhalang mendung?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasūlullāh”. Rasūl bertanya lagi: “Apakah kalian kesulitan melihat bulan purnama yang tak terhalang mendung?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasūlullāh” Rasūl bersabda: “Maka kalian akan melihat-Nya pada hari kiamat sejelas itu.” (HR. Bukhārī).
Hadits di atas sesuai dengan firman Allah:
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رِبِّهَا نَاظِرَةٌ. (القيامة: 22-23)
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23).
Hadits dan ayat di atas tidak bertentangan dengan ayat berikut:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَ هُوَ يُدْرِكُ الْأْبْصَارَ وَ هُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الأنعام: 103).
“Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An‘ām: 103).
Karena yang dikehendaki dengan idrāk yang dinafikan dalam ayat ini adalah iḥāthah (memandang secara menyeluruh). Idrāk lebih khusus maknanya daripada ru’yah (melihat). Dan, tidak serta-merta, menafikan yang lebih khusus berarti menafikan yang lebih umum. Arahan idrāk dengan makna semacam ini lebih baik daripada mengarahkan idrāk semakna dengan ru’yah, lalu men-takhshīsh-nya. (461).
Kemudian, dengan melihat Allah, dicapai sebuah inkisyāf (terbukanya pengetahuan) secara sempurna, dengan praktik yang terbebas (munazzah) dari unsur berhadap-hadapan, arah dan tempat (472). Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak dapat melihat Allah. Sebagaimana firman Allah:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوْبُوْنَ. (المطففين: 15)
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dair Tuhan mereka.” (al-Muthaffifīn: 15).
Pembahasan di atas terkait dengan melihat Allah di akhirat. Bagaimana halnya melihat Allah di dunia, dalam keadaan terjaga ataupun dalam mimpi? Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama’, dalam masing-masing kasus.
Catatan: