015 Syarah Hikmah Ke-15 – Syarah al-Hikam – KH. Sholeh Darat

شَرْحَ
AL-HIKAM
Oleh: KH. SHOLEH DARAT
Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufarohah
Penerbit: Penerbit Sahifa

Syarah al-Hikam

KH. Sholeh Darat
[Ditulis tahun 1868]

SYARAH HIKMAH KE-15

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَ أَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا.

Amal perbuatan itu laksana kerangka yang tegak, sedangkan ruh (jiwa)-nya ialah adanya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan itu.

 

Beraneka ragamnya jenis amal perbuatan itu adalah karena bermacam-macam kondisi spiritual yang datang pada hati seorang murīd. Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

 

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَ أَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا.

Amal perbuatan itu laksana kerangka yang tegak, sedangkan ruh (jiwa)-nya ialah adanya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan itu.

 

Amal zhāhir itu bagaikan kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di dalamnya. Sesungguhnya amal perbuatan itu bagaikan kerangka tanpa ruh, sehingga tidak bisa bermanfaat, sementara ruhnya bisa didapatkan dengan ikhlas di dalam amal tersebut. Kerangka barulah bisa bermanfaat setelah adannya ruh.

Ketahuilah, makna ikhlas itu bermacam-macam, sebab berbedanya amal yang dikerjakan. Berikut adalah tiga tingkatan ikhlas:

Pertama, ikhlasnya ‘Ābidīn, yaitu orang yang ahli ibadah hendaknya menjaga amalnya dari riyā’ khafiy (riyā’ yang samar) dan riyā’ jaliy (riyā’ yang jelas), menjaganya dari sifat ‘ujub, yakni beramal hanya karena Allah, seraya mengharap pahala dari-Nya, dan merasa takut akan siksa neraka. Namun, pada tingkatan ini masih me-nisbat-kan amal perbuatan pada dirinya, berharap dengan amal perbuatan yang dikerjakan bisa mendapatkan surga dan selamat dari siksa neraka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ.

Hanya kepada-Mulah kami menyembah (bukan selain-Mu). Dan hanya kepada Engkaulah, hamba memohon pertolongan (bukan kepada yang lainnya). (Qs. al-Fātiḥah [1]: 5).

Kedua, ikhlasnya Muḥibbīn, yaitu orang-orang yang mencintai Allah, beramal karena Allah dengan tujuan untuk memuliakan Allah, tidak untuk meminta pahala kepada-Nya, tidak pula untuk berlindung dari siksa neraka. Yakni, me-nisbat-kan amal perbuatan pada dirinya sebagaimana perkataan waliyullāh, seorang perempuan yang bernama Rābi‘ah al-Adawiyah: “Hamba tidak menyembah-Mu karena takut akan siksa-Mu, juga bukan karena mengharap akan surga-Mu, akan tetapi hamba menyembah-Mu karena ingin memuliakan engkau (wahai Tuhan)”, hal ini yang dijelaskan oleh firman Allah: “Hanya kepada-Mulah kami menyembah (bukan selain-Mu).”

Dan ketiga, ikhlasnya ‘Ārifīn, yaitu orang yang mengenal Tuhan-Nya, bahwa Allah-lah yang menggerakkan dan mendiamkan dirinya, ia tidak mempunyai daya upaya dan kehendak. Dengan demikian, ia menyaksikan bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan dan kehendak, maka tidak ada amal yang dilakukan kecuali billāh. Yakni, dengan kehendak dan kuasa Allah, bukan atas kehendak dan kuasa dirinya, sehingga ia tidak sekali-kali berharap pada amal perbuatannya. Maka, maqām ini lebih utama daripada dua tingkatan ikhlas yang sudah disebutkan di atas, inilah yang dimaksud firman Allah: “Dan hanya kepada Engkaulah, hamba memohon pertolongan (bukan kepada yang lainnya).

Dengan demikian, ikhlas itu hukumnya fardhu pada tiap-tiap amal, sebab amal tidak akan bermanfaat jika tidak disertai ikhlas. Maka, hendaklah engkau menempati salah satu tingkatan ikhlas yang ada tiga, jika engkau tidak menempati salah satu di antaranya (ikhlāsh) maka itu dinamakan riyā’. Riyā’ itu hukumnya ḥarām di setiap amal, karena amal tidak akan sah, jika disertai dengan riyā’.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ucapanmu “Aku sengaja shalat zhuhur” atau lainnya, itu bukan dinamakan niat, akan tetapi suara hati atau lisan saja. Sesungguhnya hakikat daripada niat adalah kesadaran, kemantapan, serta kecondongan hati pada perkara zhāhir yang menjadi inti sebuah tujuan. Baik tujuan itu merupakan tujuan duniawī ataupun tujuan ukhrawī. Tujuan yang paling rendah (nilainya) itu adalah mengingat neraka, merasa takut pada (siksa) neraka, dan menginginkan surga beserta kenikmatannya. Maka, ketika mengingat semua hal tersebut, menjadi sah-lah niat atau tujuannya. Tujuan yang paling mulia adalah menyengaja memuliakan Allah karena sudah menjadi hak orang yang mulia itu dilayani dan ditaati. Dan keikhlasan niat akan menjadi bersih jika tujuannya jauh dari tujuan selain Allah, dengan demikian, surga atau neraka itu jangan dijadikan sebagai tujuan. Jika seorang tidak ikhlas (dalam beramal) maka itu dinamakan musyrik. Jangan merasa ikhlas, jangan merasa bisa beramal, jangan merasa benar di dalam beramal, sehingga niat yang benar adalah lillāh, billāh, minallāh, dan ilallāh (karena Allah, karena perintah Allah dan mengikuti Rasūlullāh, dari fadhal Allah, dan bertujuan karena ingin bertemu dengan Allah). Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *