012 Syarat Shalat Ke-4 – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

SYARAT SHALAT KE-4

 

(وَ رَابِعُهَا: مَعْرفَةُ دُخُوْلِ وَقْتٍ) يَقِيْنًا أَوْ ظَنًّا. فَمَنْ صَلَّى بِدُوْنِهَا لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَ إِنْ وَقَعَتْ فِي الْوَقْتِ، لِأَنَّ الْاِعْتِبَارَ فِي الْعِبَادَاتِ بِمَا فِيْ ظَنِّ الْمُكَلَّفِ، وَ بِمَا فِيْ نَفْسِ الْأَمْرِ، وَ فِي الْعُقُوْدِ بِمَا فِيْ نَفْسِ الْأَمْرِ فَقَطْ. (فَوَقْتُ ظُهْرٍ مِنْ زَوَالِ) الشَّمْسِ (إِلَى مَصِيْرِ ظِلِّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، غَيْرَ ظِلِّ اسْتِوَاءٍ) أَيِ الظِّلِّ الْمَوْجُوْدِ عِنْدَهُ، إِنْ وُجِدَ. وَ سُمِّيَتْ بِذلِكَ لِأَنَّهَا أَوَّلَ صَلَاةٍ ظَهَرَتْ. (فَـــــ) وَقْتُ (عَصْرِ) مِنْ آخِرِ وَقْتِ الظُّهْرِ (إِلَى غُرُوْبِ) جَمِيْعِ قَرْصِ شَمْسٍ، (فَــــــ) وَقْتُ (مَغْرِبٍ) مِنَ الْغُرُوْبِ (إِلَى مَغِيْبِ الشَّفَقِ) الْأَحْمَرِ، (فَــــــ) وَقْتُ (عِشَاءٍ) مِنْ مَغِيْبِ الشَّفَقِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ يَنْبَغِيْ نَدْبُ تَأْخِيْرُهَا لِزَوَالِ الْأَصْفَرِ وَ الْأَبْيَضِ، خُرُوْجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ ذلِكَ. وَ يَمْتَدُّ (إِلَى طُلُوْعِ (فَجْرٍ) صَادِقٍ، (فَـــــ) وَقْتُ (صُبْحٍ) مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ الصَّادِقِ لَا الْكَاذِبِ (إِلَى طُلُوْعِ) بَعْضِ (الشَّمْسِ)، وَ الْعَصْرُ هِيَ الصَّلَاةُ الْوُسْطَى، لِصِحَّةِ الْحَدِيْثِ بِهِ. فَهِيَ أَفْضَلُ الصَّلَوَاتِ، وَ يَلِيْهَا الصُّبْحُ، ثُمَّ الْعِشَاءُ، ثُمَّ الظُّهْرُ، ثُمَّ الْمَغْرِبُ، كَمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا مِنَ الْأَدِلَّةِ. وَ إِنَّمَا فَضَّلُوْا جَمَاعَةَ الصُّبْحِ وَ الْعِشَاءِ لِأَنَّهَا فِيْهِمَا أَشَقُّ. قَالَ الرَّافِعِيُّ: كَانَتِ الصُّبْحُ صَلَاةَ آدَمَ، وَ الظُّهْرُ صَلَاةَ دَاوُدٍ، وَ الْعَصْرُ صَلَاةُ سُلَيْمَانَ، وَ الْمَغْرِبُ صَلَاةَ يَعْقُوْبٍ، وَ الْعِشَاءُ صَلَاةَ يُوْنُسٍ، عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ. اِنْتَهَى.

(Syarat shalat ke empat) adalah mengetahui masuknya waktu shalat dengan yakin (11) atau praduga. Maka siapapun orang yang shalat dengan tanpa mengetahu waktunya, maka shalatnya tidak sah walaupun dilakukan tepat berada pada waktunya, (22) sebab yang dijadikan penilaian dalam urusan sebuah ibadah adalah sesuai dengan praduga orang mukallaf dan realitanya. Sedang dalam urusan akad adalah sesuai dengan realita saja. (Waktu Zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari) ke arah barat sampai menjadi samanya bayangan setiap benda selain bayangan yang ada pada waktu istiwā’, jika memang ada. (33) Dinamakan dengan itu sebab shalat Zhuhur adalah shalat yang tampak dilakukan pertama kali dalam Islam. (Waktu ‘Ashar) dimulai dari akhir waktu Zhuhur (44) (sampai tenggelamnya) seluruh bulatan matahari. (Waktu Magrib) dimulai sejak tenggelamnya matahari berakhir sampai tenggelamanya mega merah. (55) (Waktu ‘Isyā’) dimulai dari tenggelamnya mega merah. Guru kita berkata: “Sebaik disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Isyā’ sampai tenggelamnya mega kuning dan putih untuk keluar dari perbedaan ulama,” yang mewajibkan hal itu. Waktu ‘Isyā’ memanjang sampai (terbitnya fajar) shādiq. (Waktu Shubuḥ) dimulai dari terbitnya fajar shādiq (66) sampai (terbitnya sebagian matahari). Shalat ‘Ashar adalah shalat Wusthā sebab shaḥīḥnya hadits yang menerangkan hal itu (77). Dan shalat Wusthā adalah shalat yang paling utama dari shalat yang lain, kemudian disusul shalat Shubuḥ, ‘Isyā’, Zhuhur dan Maghrib seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita dari beberapa dalil. Sedang lebih diunggulkannya jamā‘ah shalat Shubuḥ dan ‘Isyā’ dari shalat yang lainnya sebab kedua shalat jamā‘ah di waktu tersebut lebih berat. Imām Rāfi‘ī mengatakan: Shalat Shubuḥ adalah shalatnya nabi Ādam a.s., Zhuhur adalah shalatnya nabi Dāūd a.s., Maghrib adalah shalatnya nabi Ya‘qūb a.s. dan ‘Isyā’ adalah shalatnya nabi Yūnus a.s. – selesai –

وَ اعْلَمْ أَنَّ الصَّلَاةَ تَجِبُ بِأَوَّلِ الْوَقْتِ وُجُوْبًا مُوْسِعًا، فَلَهُ التَّأْخِيْرُ عَنْ أَوَّلِهِ إِلَى وَقُتٍ يَسَعُهَا بِشَرْطٍ أَنْ يَعْزِمَ عَلَى فِعْلِهَا فِيْهِ، وَ لَوْ أَدْرَكَ فِي الْوَقْتِ رَكْعَةً لَا دُوْنَهَا فَالْكُلُّ أَدَاءٌ وَ إِلَّا فَقَضَاءٌ. وَ يَأْثَمُ بِإِخْرَاجِ بَعْضِهَا عَنِ الْوَقْتِ وَ إِنْ أَدْرَكَ رَكَعَةً. نَعَمْ، لَوْ شَرَعَ فِيْ غَيْرِ الْجُمُعَةِ وَ قَدْ بَقِيَ مَا يَسَعُهَا جَازَ لَهُ بِلَا كَرَاهَةٍ أَنْ يُطَوِّلَهَا بِالْقِرَاءَةِ أَوِ الذِّكْرِ حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ وَ إِنْ لَمْ يُوْقِعْ مِنْهَا رَكَعَةً فِيْهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا، أَوْ كَانَتْ جُمُعَةً، لَمْ يَجُزِ الْمَدُّ، وَ لَا يُسَنُّ الْاِقْتِصَارُ عَلَى أَرْكَانِ الصَّلَاةِ لِإِدْرَاكِ كُلِّهَا فِي الْوَقْتِ.

Ketahuilah, bahwa shalat wajib dilakukan di awal waktu dengan kewajiban yang diperluas, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk mengakhirkan dari awal waktu sampai waktu yang mencukupi untuk melaksanakannya dengan syarat berniat untuk melaksanakannya di akhir waktunya. (88) Jikalau seseorang menemukan satu rakaat di dalam waktunya, bukan kurang dari satu raka‘at, maka semuanya dihitung adā’ (tertunaikan – terlaksanakan) dan jika tidak menemukan satu raka‘at, maka dihitung qadhā’. Berdosa hukumnya mengeluarkan sebagian shalat dari waktunya walaupun menemukan satu raka‘at. (99) Benar berdosa, namun jika seseorang mengerjakan shalat selain shalat juma‘at, sedang waktu masih mencukupi, (1010) maka diperbolehkan baginya – tanpa hukum makruh – untuk memanjangkan bacaan dan dzikir shalat sampai keluar waktunya – walaupun orang tersebut tidak sampai menemukan satu rakaat menurut pendapat yang mu‘tamad – . Jika waktunya tidak cukup untuk mengerjakan shalat atau adanya shalat tersebut adalah shalat juma‘at, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memanjangkannya. Tidak disunnahkan untuk meringkas hanya mengerjakan rukun-rukun shalat untuk menemukan seluruh shalat di dalam waktunya.

[فَرْعٌ]: يُنْدَبُ تَعْجِيْلُ صَلَاةٍ وَ لَوْ عِشَاءً لِأَوَّلِ وَقْتِهَا، لِخَبَرِ: “أَفْضَلُ الْأعْمَالِ الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا”. وَ تَأْخِيْرُهَا عَنْ أوَّلِهِ لِتَيَقُّنِ جَمَاعَةٍ أَثْنَاءَهُ، وَ إِنْ فَحُشَ التَّأْخِيْرُ مَا لَمْ يَضِقِ الْوَقْتُ، وَ لِظَنِّهَا إِذَا لَمْ يَفْحَشَ عُرْفًا، لَا لِشَكٍّ فِيْهَا مُطْلقًا. وَ الْجَمَاعَةُ الْقَلِيْلَةُ أَوَّلُ الْوَقْتِ أَفْضَلُ مِنَ الْكَثِيْرَةِ آخِرَهَ. وَ يُؤَخِّرُ الْمُحْرِمُ صَلَاةَ الْعِشَاءِ وُجُوْبًا لِأَجْلِ خَوْفِ فَوَاتِ حَجَّ بِفَوْتِ الْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ لَوْ صَلَّاهَا مُتَمَكِّنًا، لِأَنَّ قَضَاءَهُ صَعْبٌ. وَ الصَّلَاةُ تُؤَخَّرُ لِأَنَّهَا أَسْهَلُ مِنْ مَشَقَّتِهِ، وَ لَا يُصَلِّيْهَا صَلَاةَ شِدَّةِ الْخَوْفِ. وَ يُؤَخِّرُ أَيْضًا وُجُوْبًا مَنْ رَأَى نَحْوَ غَرِيْقٍ أَوْ أَسِيْرٍ لَوْ أَنْقَذَهُ خَرَجَ الْوَقْتُ.

(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk bersegera melakukan shalat – walaupun shalat ‘Isyā’ – diawal waktunya sebab hadits Nabi: Lebih utama-utamanya amal adalah shalat diawal waktunya. Disunnahkan mengakhirkannya dari awal waktu (1111) sebab yakinnya jamā‘ah di tengah waktu – walaupun terlalu dalam mengakhirkan selama tidak sempit waktunya – dan sebab ada dugaan jamā‘ah ketika tidak terlalu secara umumnya, bukan karena keraguan adanya jamā‘ah secara mutlak. Shalat jamā‘ah yang jumlahnya sedikit di awal waktu lebih utama dibanding dengan jamā‘ah yang banyak di akhir waktu. Wajib bagi seseorang yang iḥrām untuk mengakhirkan shalat ‘Isyā’ sebab ditakutkan kehilangan haji dengan hilangnya waktu wuquf di ‘Arafah jikalau shalat ‘Isyā’ tersebut dilakukan seperti umumnya karena mengqadha’i haji sangatlah sulit. Shalat diakhirkan sebab shalat lebih mudah dari kesulitan haji. Tidak diperbolehkan untuk melakukan shalat ‘Isyā’ tersebut dengan cara shalat Syiddat-ul-Khauf (sangat takut). (1212) Wajib pula mengakhirkan shalat (1313) bagi seseorang yang melihat semacam orang yang tenggelam atau orang yang ditawan jikalau ia menyelamatkannya, maka waktu shalat akan keluar.

[فَرْعٌ]: يُكْرَهُ النَّوْمُ بَعْدَ دُخُوْلِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَ قَبْلَ فِعْلِهَا، حَيْثُ ظَنَّ الْاِسْتِيْقَاظِ قَبْلَ ضِيْقِهِ، لِعَادَةٍ أَوْ لِإِيْقَاظِ غَيْرِهِ لَهُ، وَ إِلَّا حَرُمَ النَّوْمُ الَّذِيْ لَمْ يُغْلَبْ فِي الْوَقْتِ.

(Cabangan Masalah). Dimakruhkan tidur setelah masuknya waktu shalat (1414) dan sebelum melakukannya, sekira ada dugaan terbangun sebab kebiasaan atau dibangunkan orang lain sebelum sempitnya waktu. Jika tidak ada dugaan terbangun, maka haram untuk tidur selama tidak ngantuk berat di waktu shalat. (1515).

[فَرْعٌ]: يُكْرَهُ تَحْرِيْمًا صَلَاةٌ لَا سَبَبَ لَهَا، كَالنَّفْلِ الْمُطْلَقِ وَ مِنْهُ صَلَاةُ التَّسَابِيْحِ، أَوْ لَهَا سَبَبٌ مُتَأَخِّرٌ كَرَكْعَتَيْ اسْتِخَارَةٍ وَ إِحْرَامٍ بَعْدَ أَدَاءِ صُبْحٍ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ كَرُمْحٍ، وَ عَصْرٍ حَتَّى تَغْرُبَ، وَ عِنْدَ اسْتِوَاءِ غَيْرَ يَوْمِ الْجُمُعَةِ. لَا مَا لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ كَرَكْعَتَيْ وُضُوْءٍ وَ طَوَافٍ وَ تَحِيَّةٍ وَ كُسُوْفٍ، وَ صَلَاةِ جَنَازَةٍ وَ لَوْ عَلَى غَائِبٍ، وَ إِعَادَةٍ مَعَ جَمَاعَةٍ وَ لَوْ إِمَامًا، وَ كِفَائِتَةِ فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ لَمْ يُقْصَدْ تَأْخِيْرُهَا لِلْوَقْتِ الْمَكْرُوْهِ لِيُقْضِيْهَا فِيْهِ أَوْ يُدَاوِمُ عَلَيْهِ. فَلَوْ تَحَرَّى إِيْقَاعَ صَلَاةِ غَيْرَ صَاحِبَةِ الْوَقْتِ فِي الْوَقْتِ الْمَكْرُوْهِ مِنْ حَيْثُ كَوْنُهُ مَكْرُوْهًا فتَحْرُمُ مُطْلَقًا وَ لَا تَنْعَقِدُ، وَ لَوْ فَائِتَةً يَجِبُ قَضَاؤُهَا فَوْرًا لِأَنَّهُ مُعَانِدٌ لِلشَّرْعِ.

(Cabangan Masalah). Makruh taḥrīim (1616) melakukan shalat tanpa sebab – seperti shalat mutlak, sebagaimana adalah shalat tasbīḥ atau memiliki sebab, namun diakhirkan seperti dua rakaat shalat istikhārah dan iḥrām – setelah melakukan shalat Shubuḥ sampai naiknya matahari seperti tombak, setelah shalat ‘Ashar sampai tenggelamnya matahari, pada saat waktu istiwā’ (17[^17) selain di hari juma‘at, bukan shalat yang memiliki sebab yang diawalkan seperti dua rakaat wudhu’, thawaf, tahiyyat, kusuf, shalat janazah – walaupun bagi mayit yang tidak di tempat (ghaib) – shalat yang diulangi secara berjamā‘ah – walaupun menjadi imam – , dan seperti shalat fardhu dan sunnah yang telah lewat dari waktunya yang tidak dimaksud untuk mengakhirkannya di waktu yang dimakruhkan agar diqadha’ di waktu itu atau agar selalu mengqadha’ di waktu tersebut. Jikalau seseorang menanti menjalankan shalat yang tidak memiliki waktu di waktu yang dimakruhkan dari sisi waktu yang makruh, maka hukumnya haram secara mutlak dan tidak sah shalatnya – walaupun shalat itu adalah shalat yang telah lewat dari waktunya yang wajib untuk segera diqadha’ sebab telah menentang syari‘at. (18[^18]).

 

Catatan:


  1. 1). Keyakinan masuknya waktu shalat dapat diperoleh dengan mengetahui waktu tersebut dengan sendirinya atau dengan perkataan orang yang dapat dipercaya yang mengetahui waktu shalat dan lain sebagainya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 136 Darul Fikr. 
  2. 2). Jika hal itu mampu dilakukan, jika tidak mampu mengetahui waktu shalat, maka shalat dilaksanakan untuk menghormati waktu shalat, kecuali orang tersebut memiliki shalat qadha’, maka shalatnya sah untuk qadha’ tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 136 Darul Fikr. 
  3. 3). Sebagian negara tidak terdapat bayangan waktu istiwā’ seperti kota Makkah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 137 Darul Fikr. 
  4. 4). Tidak disyaratkan adanya tambahan waktu pemisah di antara keduanya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 138 Darul Fikr. 
  5. 5). Hal itu dapat diketahui dengan mendaki pucuk gunung, atau pepohonan dan terlihatnya warna gelap dari arah timur. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 138 Darul Fikr. 
  6. 6). Cahaya yang melintang di langit, bukan membujur. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 138 Darul Fikr. 
  7. 7). Yakni hadits: (شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر) I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 139 Darul Fikr. 
  8. 8). Dengan demikian jikalau seseorang meninggal sebelum melakukannya, maka ia tidak berdosa. Berbeda jikalau tidak berniat melakukannya di akhir waktu, maka ia berdosa. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 140 Darul Fikr. 
  9. 9). Tanpa ada perkhilafan ulama’, sedang ulama’ yang berpendapat berbeda tidaklah dianggap seperti keterangan dalam Majmū‘.I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 140 Darul Fikr. 
  10. 10). Sekira semua rukun shalat dapat dikerjakan dalam waktunya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 140 Darul Fikr. 
  11. 11). Kesimpulannya: Kesunnahan mengawalkan shalat itu berlaku selama tidak ada hal yang menghalanginya. Jika ada yang menghalangi seperti contoh-contoh yang telah disebutkan, maka tidaklah disunnahkan di awal waktu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 141 Darul Fikr. 
  12. 12). Artinya: Tidak diperbolehkan bagi seorang yang iḥrām yang takut kehilangan haji dengan kehilangan waktu wuquf di ‘Arafah untuk melakukan shalat ‘Isyā’ dengan cara Syiddat-ul-Khauf (sangat takut) yakni shalat sebisa mungkin dengan cara berjalan, naik kendaraan atau yang lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 141 Darul Fikr. 
  13. 13). Baik shalat ‘Isyā’ atau yang lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 141 Darul Fikr. 
  14. 14). Begitu pula ḥarām sebelum waktunya shalat jikalau tidak ada dugaan terbangun di waktu yang masih mencukupi untuk mengerjakan bersuci dan shalat sempurna. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 142 Darul Fikr. 
  15. 15). Jika ngantuk berat sekira kesadarannya hilang dan tidak mungkin untuk menolaknya, maka jika telah ada niat untuk melaksanakannya hukumnya tidaklah berdosa dan tidak makrūh. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 139 Darul Fikr. 
  16. 16). Perbedaan makrūh taḥrīm dan ḥarām padahal keduanya sama-sama berdosa adalah bahwa makrūh taḥrīm didasarkan dengan sebuah dalil yang mungkin dita’wil sedangkan ḥarām didasarkan dengan dalil yang Qath‘ī. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 143 Darul Fikr. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *