الْقُرْآنُ كُلَامُهُ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ عَلَى الْحَقِيْقَةِ لَا الْمَجَازِ مَكْتُوْبٌ فِيْ مَصَاحِفِنَا مُحْفُوْظٌ فِيْ صُدُوْرِنَا مَقْرُوْءٌ بِأَلْسِنَتِنَا.
Al-Qur’ān adalah kalām Allah, bukan makhluk ciptaan. Secara hakikat, bukan majāz, al-Qur’ān tertulis di mushḥaf-mushḥaf kita, tersimpan di dada-dada kita, terbaca melalui lisan-lisan kita.
AL-QUR’ĀN KALĀM ALLAH S.W.T..
Al-Qur’ān adalah kalam Allah ta‘ālā. Tentang sifat kalām bagi Allah ini, ada beragam pendapat:
1. Pendapat kalangan Asy‘ariyyah, bahwa kalām adalah sifat yang qadīm yang menetap pada dzāt Allah, yang bukan berupa huruf dan suara.
2. Pendapat Mu‘tazilah, mereka mengingkari sifat kalām;
3. Pendapat golongan Karāmiyyah, bahwa kalām Allah tersusun dari huruf dan suara yang ḥādits (baru, tidak qadīm) yang menetap pada dzāt Allah;
4. Pendapat kalangan Ḥanābilah, bahwa kalām Allah tersusun dari huruf dan suara yang qadīm.
Perbedaan ini bermula dari dua qiyās yang berbeda. (431):
Qiyās pertama:
Muqaddimah sughrā : Kalām adalah sifat Allah.
Muqaddimah kubrā : Setiap sesuatu yang merupakan sifat Allah adalah qadīm.
Natījah : Kalām Allah adalah qadīm.
Qiyās kedua:
Muqaddimah sughrā : Kalām Allah tersusun dari huruf dan suara.
Muqaddimah kubrā : Setiap sesuatu yang tersusun dari huruf dan suara adalah ḥādits (baru).
Natījah : Kalām Allah adalah ḥādits (baru).
Terkait perdebatan dengan kedua qiyās di atas, serta kebenaran muqaddimah-muqaddimah-nya, berikut penjelasannya:
- Kalangan Ḥanābilah menyangkal pernyataan bahwa setiap yang tersusun dari huruf dan suara adalah ḥādits (baru).
-
Kalangan Mu‘tazilah menyangkal bahwa setiap sesuatu yang tersusun dari suara adalah sifat Allah.
-
Kalangan Karāmiyyah menyangkal bahwa setiap sesuatu yang merupakan sifat Allah adalah qadīm.
Selanjutnya, antara Kalangan Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalām lafzhiy adalah sesuatu yang ḥādtis. Perselisihan di antara keduanya terletak pada penetapan adanya kalām nafsiy. Asy‘ariyyah mengakui adanya kalām nafsiy, sedangkan Mu‘tazilah tidak mengakui keberadaannya.
Catatan:
- 43). Ḥasan bin Muḥammad al-‘Aththār, Ḥāsyiyah al-‘Aththār vol. II hal. 459. ↩