SILANG PENDAPAT MEMILIH TA’WĪL ATAU TAFWĪDH
Pada contoh di atas, dalam memahami lafazh istiwā’ (secara harfiah bermakna “bersembunyi”), wajh (secara harfiah bermakna “wajah”), ‘ain (secara harfiah bermakna “mata”), yad (secara harfiah bermakna “tangan”) dan ushbu‘ (secara harfiah bermakna “jari”) yang makna zhāhir-nya memunculkan kejanggalan sebab berakibat tasybīh, para ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapinya,
Pendapat pertama, kita harus mengimani keberadaan ayat-ayat atau hadits tersebut sebagaimana sampai kepada kita. Dan kita menyerahkan arti makna yang dikehendaki dari ayat atau hadits tersebut dengan penyerahan sepenuhnya kepada Allah. Kita tidak boleh menafsirkannya, akan tetapi dengan tetap senantiasa mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak. Sikap ini dikenal dengan sikap tafwīdh, yakni penyerahan arti makna yang dikehendaki kepada Allah. Dan ini adalah pendapat ulama’ generasi salaf. Sikap tafwīdh semacam ini dinilai lebih aman.
Pendapat kedua, kita men-ta’wīl-kan dengan makna yang layak dengan sifat keagungan Allah. Istiwā’ kita ta’wīl sebagai “berkuasa”, wajh kita ta’wīl dengan “dzāt”, ‘ain kita ta’wīl dengan “pengawasan”, yad kita ta’wīl dengan “kekuasaan”, dan makna-makna lain yang layak bagi Allah. Sikap ini dikenal dengan sikap ta’wīl. Dan ini adalah pendapat ulama’ generasi khalaf. Sikap ta’wīl semacam ini dinilai lebih membutuhkan pengetahuan.
Meski demikian, kedua pendapat ini sepakat bahwa ketidaktahuan kita terhadap perincian secara detil makna dari lafazh-lafazh yang mutasyābih tersebut tidak sampai mencacatkan akidah kita terhadap makna global yang dikehendaki dari lafazh tersebut.