[Fasal]
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(فَضْلٌ: وَ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ جَائِزٌ بَثَلَاثَةِ شَرَائِطَ: أَنْ يَبْتَدِىءَ لُبْسَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الْطَّهَارَةِ، وَ أَنْ يَكُوْنَا سَاتِرَيْنِ لِمَحَلِّ الْغَسْلِ مِنَ الْقَدَمَيْنِ، وَ أَنْ يَكُوْنَا مِمَّا يُمْكِنُ مُتَابَعَةُ الْمَشْيِ عَلَيْهِمَا.)
[Mengusup dua muzah hukumnya “boleh” dengan tiga syarat: –
Yang menjadi dalil diperbolehkannya mengusap muzah, yaitu sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dari sahabat Jarīr r.a. Beliau berkata: Aku melihat Rasūlullāh s.a.w. kencing, kemudian berwudhu’ dan mengusap kedua muzahnya.
Ulama Ahli Hadits, ketika melihat Haditsnya Jarīr ini terheran-heran. Sebab sahabat Jarīr masuk Islam baru sesudah turun surat al-Mā’idah. Jadi ayat al-Mā’idah yang menerangkan wajibnya membasuh kedua kaki tidak dapat me-nāsikh (membatalkan) kewenangan mengusap muzah.
Imām Nawawī dan Ulama lainnya berkata (dan ini telah disepakati oleh Ulama-ulama yang diperhitungkan kesepakatannya): Bahwa mengusap muzah itu boleh pada waktu di rumah (dalam negeri) maupun ketika bepergian (musāfir). Baik ada keperluan maupun tidak ada keperluan. Bahkan diperbolehkan bagi perempuan yang kerjanya cuma menunggu rumah saja, dan bagi orang yang lumpuh yang tidak boleh berjalan. Wallāhu a‘lam.
Kaum Rāfidhah dan orang-orang yang mengikuti mereka sangat mengingkari terhadap kewenangan mengusap muzah. Demikian pula kaum Syī‘ah dan kaum Khawārij. Imām Ḥasan al-Bishrī berkata: Aku ini pernah menerima Hadits dari sebanyak tujuh puluh sahabat Rasūlullāh s.a.w., yang kesemuanya menerangkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. itu mengusap kedua muzah.
Mengusap muzah itu telah diriwayatkan dari sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang banyaknya tidak terhitung. Akan tetapi apakah membasuh kedua kaki itu lebih utama? Sebab menurut yang asal, yang menjadi fardhunya wudhu’ itu adalah membasuh kaki. Hal ini telah dikatakan oleh Ulama Syāfi‘iyyah dan sekelompok sahabat Rasūlullāh s.a.w., seperti ‘Umar bin Al-Khaththāb dan putranya yaitu ‘Abdullāh, dan Abū Ayyūb al-Anshārī. Ataukah mengusap muzah itu yang lebih utama? Seperti apa yang dikatakan oleh sekelompok Tābi‘īn, seperti asy-Sya‘bī, Ḥammād, dan al-Ḥakam. Masalah ini ada khilāf.
Dari Imām Aḥmad mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua riwayat. Qaul yang rajih di antara keduanya ialah bahwa mengusap muzah itu lebih utama. Riwayat yang kedua mengatakan bahwa mengusap muzah dan membasuh kaki itu sama saja. Riwayat yang kedua ini dipilih oleh Imām Ibnul-Mundzir. Beliau termasuk di antara Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Wallāhu a‘lam.
Pada bab ini terdapat banyak Hadits yang In Syā’ Allāh akan saya terangkan pada tempatnya masing-masing.
Apabila kamu benar-benar telah mengetahui semua masalah ini, kamu juga perlu mengetahui bahwa kewenangan mengusap muzah itu mempunyai dua syarat. Syarat yang pertama, mengusap muzahnya harus sesudah sempurna bersuci. Jadi andaikata seseorang membasuh sebelah kaki lalu memakai muzah kemudian membasuh yang sebelahnya lagi, lalu memakai muzahnya yang lain, maka tidak diperbolehkan mengusap muzah (mengikut cara ini), karena memakainya sebelum sempurnanya suci.
Lalu andaikata, pada permulaan memakainya sudah dalam keadaan suci, namun belum sempat muzah itu sempurna dipakainya tiba-tiba ia berhadas, maka tidak sah mengusapnya. Demikian ini telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī di dalam kitab al-Umm. Sebab yang diperlukan itu kesempurnaan pemakaiannya, bukan asal sudah masuk betisnya. Imām Syāfi‘ī mengambil hujjah beberapa Hadits untuk menetapkan ketidakwenangan mengusap muzah itu. Antaranya Hadits yang diriwayatkan dari al-Mughīrah r.a. Al-Mughīrah berkata:
سَكَبْتُ الْوَضُوْءَ لِرَسُوْلِ اللهِ (ص)، فَلَمَّا انْتَهَيْتُ إِلَى رِجْلَيْهِ أَهْوَيْتُ إِلَى الْخُفَّيْنِ لأَنْزِعَهُمَا قَالَ دَعْهُمَا، فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ.
“Aku menuangkan air wudhu’ kepada Rasūlullāh s.a.w. Ketika sampai pada gilirannya membasuh kaki, aku membungkuk hendak mencopot kedua muzah beliau, tapi beliau bersabda: Biarkanlah, jangan dicopot! Sebab aku memasukkannya ketika dalam keadaan suci.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Lafazh wadhū’ dalam Hadits tersebut, dibaca fatḥah wāw-nya. Dalam Hadits tersebut, Rasūlullāh s.a.w. mengemukakan ta‘līl (alasan) terhadap kewenangan mengusap muzah dengan sucinya kedua kaki waktu mengenakan muzah. Padahal hukum itu selalu berputar menurut ‘illat-nya.
Ada hujjah lain yang lebih jelas daripada Hadits ini, yaitu Hadits yang diriwayatkan dari Imām Syāfi‘ī dari al-Mughīrah r.a. Al-Mughīrah berkata:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ: أَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا أَدْخَلْتَهُمَا طَاهِرَتَيْنِ.
“Aku mengajukan sesuatu kepada Rasūlullāh s.a.w.: Ya Rasūlullāh, Apakah boleh aku mengusap dua muzah? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Ya, boleh. Jika kamu memasukkan kedua kaki itu dalam keadaan suci.”
Syarat yang kedua ialah muzahnya harus masih layak untuk diusap. Kelayakan muzah untuk diusap mempunyai beberapa syarat:
Mengenai kewenangan mengusap muzah yang sobek, menurut Imām Syāfi‘ī terdapat dua wajah. Qaul qadīm mengatakan, boleh jika sobeknya tidak keterlaluan. Sebab mengusap muzah itu termasuk Rukhshah (kemurahan – keringanan). Muzah yang sobek biasanya terjadi pada waktu bepergian, dan pada saat bepergian itu sulit sekali memperbaiki muzah menurut kebiasaannya. Jadi andaikata kita melarang mengusap muzah, tentu akan mempersempit pintu Rukhshah.
Qaul yang azhhar wajahnya mengatakan, tidak boleh mengusap muzah yang sobek dengan alasan yang telah diterangkan di muka. Sebab yang kelihatan itu wajib dibasuh. Andaikata muzah yang luar saja yang sobek, atau yang dalam saja, boleh mengusap. Demikian itu apabila yang masih tersisa cukup kuat. Apabila tidak, tidak boleh mengusap menurut qaul yang shaḥīḥ.
Dikiaskan dengan masalah ini, yaitu andaikata muzah yang luar mengalami robek, dan muzah yang dalam juga ada yang robek tetapi tidak persis letaknya. Jadi diperbolehkan mengusap jika yang dalam masih cukup kuat. Jika tidak, maka tidak boleh mengusap.
Andaikata yang robek itu bagian tapak kaki, tetapi kemudian diikat dengan tali, maka apabila setelah diikat masih ada bagian kaki yang kelihatan, tidak sah mengusapnya. Jika tidak ada yang kelihatan, boleh mengusap menurut qaul yang shahih yang telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī. Jadi kalau muzah itu ada yang berlubang pada tempat yang fardhu (pada tempat yang wajib dibasuh), batal mengusapnya seketika, walaupun tidak kelihatan. Sebab andaikata dipakai untuk berjalan, tentu akan kelihatan.
Syaikh Abū Ḥāmid berkata: Patokan kuatnya muzah untuk dibuat mondar-mandir berdasarkan perkiraan (kurang lebih), bukan berdasarkan kepastian, ialah sejauh jarak perjalanan yang membolehkan qashar. Syaikh Abū Ḥāmid berkata: Dikira jarak tiga mil. Qaul yang pertama itu lebih mu‘tamad (dapat dibuat patokan).
Muzah yang kuat untuk dipakai berjalan-jalan itu tidak dibedakan antara muzah yang terbuat dari kulit atau dari rambut, atau dari kapuk atau dari bulu, semua sama saja, asal kuat. Adapun apabila tidak kuat untuk dipakai berjalan-jalan, karena sesak misalnya, seperti muzah yang terbuat dari kain yang tipis dan lain sebagainya, demikian juga kaus kakinya orang-orang yang berusaha mengamalkan ilmu tashawwufnya yang tidak dapat mencegah dari rembesan air yang masuk ke dalamnya, itu semua tidak boleh diusap. Atau karena kuatnya, seperti muzah yang terbuat dari besi, juga tidak boleh diusap.
Difaham dari kata-kata pengarang “‘Alal-Khuffain”, sesuatu yang tidak disebut muzah, tidak boleh diusap. Sehingga andaikata ada seseorang yang mengikatkan kulit lulang (sejenis tumbuhan yang memanjat) pada kedua kakinya hingga tidak kelihatan dan boleh dipakai berjalan-jalan, orang tersebut tidak boleh mengusap kulit yang diikatkan itu menurut madzhab yang kuat. Dan Imām Nawawī telah memastikan ketidakwenangan ini di dalam kitab ar-Raudhah.
Di dalam kitab adz-Dzakhā’ir ada keterangan begini: Atau kulit itu sudah disamak tetapi kemudian menjadi najis, selama belum disucikan. Karena muzah itu tidak boleh dipakai untuk mengerjakan shalat. Demikian pula menurut keterangan Imām Nawawī. Beliau menerangkan hal tersebut di dalam kitab Syarḥ al-Muhadzdzab. Wallāhu a‘lam.