011 Allah Tidak Dapat Dipandang Dengan Mata Kepala – Telaga Ma’rifat

TELAGA MA‘RIFAT
Mempertajam Mata Hati Dan Indra Keenam
Syekh Ibnu ‘Atha’

Alih Bahasa: Ust. Muhammad Nuh, LC
Penerbit: Mitrapress

11

ALLAH TIDAK DAPAT DIPANDANG DENGAN MATA KEPALA

 

11. مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى وُجُوْدِ قَهْرِهِ سُبْحَانَهُ أَنْ حَجَبَكَ عَنْهُ بِمَا لَيْسَ بِمَوْجُوْدٍ مَعَهُ

Di antara tanda-tanda yang menunjukkan kepadamu akan adanya kekuasaan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah Dia dapat menghalangi kamu dari melihat kepada-Nya dengan apa yang tidak wujud bersama-Nya.

 

Jika kita telah mempelajari ilmu ma‘rifat, kemudian dapat berpikir sehingga mampu menelaah keghaiban (di balik kehendak Allah atas diri kita), mampu menunaikan ibadah, ber‘amal shalih dan memelihara hati dari kotoran-kotoran yang tercela, maka hendaknya berhenti sampai di situ. Janganlah kita berharap lebih tinggi lagi, yaitu ingin melihat Allah dengan mata kepala. Itu tak mungkin. Justru hanya dapat merusak akidah saja.

Tujuan mempelajari ilmu ma‘rifat bukan untuk melihat Allah dengan mata telanjang. Tetapi untuk menjernihkan hati dan menajamkan indra keenam, sehingga mampu menangkap apa yang tersirat dari yang tersurat.

Kadang-kadang orang menempuh jalan makrifat kemudian mengaku-ngaku dapat melihat Dzāt Allah. Itu omong kosong. Sesungguhnya yang tampak bukanlah “wajah” Allah, melainkan ilusi-ilusi yang mempermainkan pikirannya kemudian mempengaruhi pandangan matanya.

Apabila menempuh ‘amal ma‘rifat dan ilmu tashawwuf hendaknya seseorang memasang niat, bahwa dirimu ingin berbakti kepada Allah karena kecintaannya.

Sadarlah bahwa godaan para auliya’ itu sungguh luar biasa banyaknya. Tiupan-tiupan dan jebakan syaithan selalu mengintai. Mulai dari yang sederhana sampai dalam bentuk yang benar-benar halus. Jangan mengira karena ‘amal yang kita lakukan dapat menjadi penyebab utama dibukakan hijab sehingga bisa melihat Allah.

Jangan pula tertipu oleh orang-orang yang berlagak sebagai sufi dan menempuh jalan ma‘rifat, lalu ia melakukan amalan-amalan berlebihan , kemudian mengaku bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Itu omong kosong. Kita ditipu.

Atau mungkin diri kita merasa pernah mengalami kejadian yang hebat, seakan-akan dapat berbicara dengan Tuhan, maka hal itu merupakan tipuan syaithan. Manusia di dunia ini mustahil bisa menatap wajah Allah. Jangankan manusia setingkat kita, Nabi Muḥammad saja tak pernah menatap Dzāt Allah. Nabi Musa a.s. tersungkur manakala melihat tanda-tanda Dzāt Allah. Padahal yang ditampakkan kepadanya itu hanya kecil; hanya sedikit.

Hijab Allah merupakan bukti kebesaran Allah s.w.t. Manusia bisa mengenal Penciptanya melalui pengamatan ciptaan-Nya; yakni alam sekitar ini (makhluk di dunia). Karenanya, Allah selalu mengetahui makhluknya, Dia selalu mengintai kita sekalipun manusia bersembunyi di lubang semut. Tetapi Allah Yang karena Kebesaran-Nya luar biasa sampai-sampai kita tak mampu melihat “bentuknya”.

Dalam al-Qur’ān diterangkan: “Dia Yang paling awal dan Yang paling akhir, Yang paling zhahir dan Yang paling batin. Dan Dia Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ḥadīd [57]: 3).

Jika manusia mengaku dapat melihat Dzāt Allah, maka sesungguhnya ia terjebak dalam khayalan. Padahal Allah tidak bisa dikhayalkan atau dibayangkan dengan sesuatu. “Tiada ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syūrā [42]: 7).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *