[Fasal]
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(فَضْلٌ: وَ الْأَغْسَالُ الْمَسْنُوْنَةُ سَبْعَةَ عَشَرَ غُسْلًا: الْجُمُعَةُ، وَ الْعِيْدَانِ، وَ الْاِسْتِسْقَاءُ، وَ الْكُسُوْفُ، وَ الْخُسُوْفُ.)
[Mandi-mandi yang disunnatkan ada tujuh belas. Yaitu mandi Jum‘at, mandi dua hari raya, mandi Istisqa’, mandi gerhana matahari dan mandi gerhana bulan].
Mandi disunnatkan karena beberapa hal. Di antaranya mandi Jum‘at. Sebagai hujjah atas kesunnatan mandi Jum‘at ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
مَنْ أَتَى مِنْكُمُ الجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ.
“Barang siapa yang hendak mendatangi (shalat) Jum‘at, hendaklah ia mandi.” (Riwayat Muslim).
Hadits tersebut, oleh sebagian Ulama dibuat hujjah untuk menetapkan wajibnya mandi Jum‘at. Beliau berkata: Kalimat perintah “hendaklah ia mandi”, menunjukkan wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kalimat wajib ini telah disebut dengan jelas di dalam Hadits lain. Lafazhnya:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ.
“Mandi Jum‘at hukumnya wajib bagi tiap-tiap orang yang sudah baligh.”
Sekelompok Ulama salaf ada yang menyatakan wajibnya mandi Jum‘at. Mereka meriwayatkan wajibnya mandi Jum‘at tersebut dan sebagian sahabat r.a. Wajibnya mandi Jum‘at adalah qaul-nya Ulama Zhāhiriyyah dan diriwayatkan oleh Ibn-ul-Mundzir dari Imām Mālik. Dan oleh al-Khaththābī dari Imām Mālik dan al-Ḥasan al-Bashrī.
Menurut madzhab Syāfi‘ī, mandi Jum‘at hukumnya sunnat. Seperti apa yang dikatakan oleh Jumhur Ulama dahulu kala maupun yang sekarang. Yaitu yang terkenal dari madzhab Imām Mālik dan para sahabatnya. Yang dijadikan hujjah oleh Jumbur Ulama ialah Hadits yang shaḥīḥ-shaḥīḥ.
Di antara Hadits-hadits tersebut ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَ نِعْمَتْ، وَ مَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ.
“Barang siapa yang berwudhu’ pada hari Jum‘at, itu adalah perbuatan yang baik. Dan barang siapa yang mandi, perlu diketahui bahwa mandi itu lebih utama daripada wudhu’.”
Imām Nawawī berkata: Hadits ini Hadits shaḥīḥ.
Di antara Hadits yang menerangkan kesunnatan mandi Jum‘at ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang artinya: “Hendaknya kamu mandi Jum‘at.” Di antaranya lagi ialah Haditsnya ‘Utsmān ketika beliau masuk ke masjid, dan pada waktu itu, ‘Umar bin al-Khaththāb sedang berkhutbah dan ‘Utsmān meninggalkan mandi. (Hadits ini disebut oleh Imām Muslim). Kemudian ‘Utsmān dibiarkan oleh ‘Umar dan para muslimin yang hadir pada shalat Jum‘at itu. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam menghuraikan dan menetapkan hukum. Andaikata mandi itu wajib, tentu ‘Utsmān tidak akan dibiarkan oleh ‘Umar dan ia tentu dipaksa mandi oleh para hadirin Jum‘at. Jadi kalau begitu perintah mandi Jum‘at ditanggungkan kepada hukum sunnat. Karena hasil dari mengumpulkan berbagai dalil tadi. Dan kata wājib dalam Hadits di muka, diartikan untuk mengukuhkan. Seperti ucapan: ḥaqquka wājibun ‘alayya. Artinya: Hakmu adalah wajib atasku.
Caranya mandi Jum‘at adalah sebagaimana yang telah diterangkan di muka. Bermula waktunya ialah dengan terbitnya fajar hari Jum‘at menurut madzhab yang kuat. Menurut madzhab yang syadz (langka) dan madzhab ini banyak ditentang oleh sebagian banyak Ulama, disebutkan bahwa masuknya waktu mandi Jum‘at ialah sebelum terbitnya fajar seperti mandi hari raya.
Disunnahkan, mandinya hendaknya apabila sudah mendekati berangkat menuju Jum‘at (masjid). Sebab yang dimaksudkan mandi ialah supaya bau-bau yang tidak sedap akan hilang. Yaitu bau-bau yang timbul dari sebab berdesak-desakan, kotoran dan lain-lain.
Apakah mandi Jum‘at itu disunnatkan kepada seluruh umat Islam sebagaimana mandi hari raya ataukah tidak? Menurut qaul yang shaḥīḥ, mandi Jum‘at hanya disunnatkan bagi orang-orang yang mendatangi shalat Jum‘at saja. Baik orang itu wajib Jum‘at maupun tidak.
Andaikata orang itu junub sesudah mandi Jum‘at, sebab jima‘ atau sebab lainnya, janābah-nya tidak membatalkan mandi Jum‘atnya. Jadi orang tersebut cukup mandi untuk janābah.
Andaikata orang itu tidak dapat mandi karena tidak ada air atau karena pada tubuhnya terdapat luka, orang itu boleh bertayammum (sebagai ganti mandinya) dan dia mendapatkan fadhilah dari mandi Jum‘atnya. Demikian kata sebagian Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Yaitu qaul yang shaḥīḥ. Dikiaskan dengan mandi-mandi sunnat lainnya ketika tidak berdaya untuk mandi. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandi dua hari raya. Yaitu hari raya Adhḥā dan hari raya Fithri. Jadi bagi setiap orang Islam disunnatkan mandi untuk menyambut dua hari raya tersebut. Sebab kata Ibnu ‘Abbās r.a.:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ يَوْمَ الْأَضْحَى.
“Adalah Rasūlullāh s.a.w. mandi pada hari raya Fithri dan pada hari raya Adhḥā.”
‘Umar dan ‘Alī r.a. juga mandi untuk menyambut dua hari raya tersebut. Demikian pula Ibnu ‘Umar. Lain daripada alasan tersebut, hari raya adalah merupakan tempat berkumpulnya orang Islam. Jadi disunnatkan mandi, yakni dikiaskan dengan mandi Jum‘at.
Mandi hari raya boleh dikerjakan sesudah terbit fajar, tanpa ada khilāf. Dan boleh dikerjakan sebelum terbit fajar menurut qaul yang rājiḥ. Akan tetapi hanya pada separuh malam yang akhir menurut qaul yang rājiḥ. Ada yang mengatakan, boleh dikerjakan pada keseluruhan malam. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan lagi ialah mandi istisqa’ (mandi untuk melaksanakan shalat istisqa’ – memohon turunnya hujan). Mandi istisqa’ sangat disunnatkan, karena untuk menghilangkan bau-bau yang tidak sedap. Sebab istisqa’ adalah tempat dianjurkan berkumpul. Jadi disamakan dengan Jum‘at.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandi gerhana matahari dan gerhana bulan. Untuk melafazhkan gerhana boleh menggunakan Kāf (Kusuf) dan boleh menggunakan Khā’ (Khusuf). Artinya, manakala sinar matahari dan bulan telah lenyap. Ada yang mengatakan: Kalau Kusuf dengan “kāf” artinya gerhana matahari, dan kalau Khusuf dengan “khā’” artinya gerhana rembulan. Demikian kata al-Jauhari. Akan tetapi beliau juga menandaskan bahwa kusuf dan khusuf semuanya menggunakan arti gerhana matahari dan gerhana bulan.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْغُسْلُ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ، وَ الْكَافِرُ إِذَا أَسْلَمَ، وَ الْمَجْنُوْنُ إِذَا أَفَاقَ، وَ الْمُغْمَى عَلَيْهِ إِذَا أَفَاقَ.)
[Dan sunnat mandi bagi seseorang seusai memandikan mayyit, dan mandinya orang kafir tatkala masuk Islam. Juga mandinya orang gila dan orang ayan ketika keduanya telah sembuh].
Mandi karena setelah memandikan mayyit itu hukumnya wajib atau sunnat? Ada dua qaul. Menurut qaul qadīm, hukumnya wajib. Sebab memandikan mayyit itu wajib. Menurut qaul jadīd tidak wajib, tetapi sunnat.
Yang menjadi dalil bagi disunnatkannya mandi setelah memandikan mayyit ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ، وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Barang siapa yang memandikan mayyit hendaknya ia mandi, dan barang siapa yang memikul mayyit hendaknya berwudhu’.”
At-Tirmidzī berkata: Hadits ini bagus, tetapi Imām Aḥmad mengatakan ia mauqūf, riwayatnya terhenti kepada Abū Hurairah. Oleh karena itulah, maka Imām Aḥmad tidak mengatakan wajib.
Imām Syāfi‘ī berkata: Andaikata Hadits ini Hadits shaḥīḥ, tentu aku akan mengatakan bahwa mandi setelah memandikan mayyit itu wajib.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandinya orang kafir ketika masuk Islam. Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah menyuruh Qais bin ‘Āshim dan Tsumāmah bin ‘Utsāl agar mereka berdua mandi. Ketika itu keduanya baru masuk Islam. Tetapi Nabi Muḥammad tidak mewajibkan mandi Terbukti pernah ada segerombolan orang yang masuk Islam tetapi Nabi Muḥammad s.a.w. tidak memerintahkan mereka mandi. Lain daripada itu, Islam itu adalah taubat dari maksiat. Jadi tidaklah diwajibkan mandi, sama sebagaimana taubat dari maksiat-maksiat yang lain.
Apa yang telah disebutkan tadi hanya orang-orang kafir yang pada waktu kufurnya tidak pernah mengalami junub. Jika orang kafir itu pada waktu kufurnya mengalami junub, menurut madzhab yang kuat, wajib mandi setelah masuk Islam. Sebab niatnya orang kafir tidak sah pada waktu kufurnya.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandinya orang gila setelah sembuh. Demikian juga orang ayan. Sebab orang gila dan orang ayan itu adalah tempat yang boleh diduga-duga adanya keluar mani.
Imām Syāfi‘ī berkata: Setiap orang yang gila, tentu keluar air mani. Sebagian Ulama berkata: Jika pada ghalibnya orang yang gila itu keluar air mani, maka sebaiknyalah mandi itu wajib baginya. Sebagaimana tidur yang boleh merusak wudhu’, karena tidur itu menjadi tempat yang boleh diduga-duga adanya hadas.
Para Jumhur Ulama pula mengatakan bahwa mandinya orang gila ketika sembuh itu sunnat, mereka memberikan alasan bahwa tidur adalah tempat yang disangka-sangka tanpa adanya tanda-tanda hadas sesudah terjaga. Sedangkan mani itu merupakan sesuatu yang nyata yang boleh dilihat. Wallāhu a‘lam.