01 Pengertian, Hukum, Hikmah & Keistimewaan Ibadah Puasa – Sudah Sahkah Puasa Anda?

SUDAH SAHKAH PUASA ANDA?
 
Penulis: Ust. Segaf Hasan Baharun, S. HI.

 
Penerbit: YAYASAN PONDOK PESANTREN DARULLUGHAH WADDA‘WAH

BAB I

PENGERTIAN, HUKUM, HIKMAH DAN KEISTIMEWAAN IBADAH PUASA

A. Pengertian Ibadah Puasa.

Defenisi puasa adalah menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar shādiq sampai terbenamnya matahari disertai dengan niat untuk berpuasa.

B. Hukum-hukum Ibadah Puasa

1. Wajib.

  1. Puasa bulan Ramadhān.
  2. Apabila dia bernadzar.
  3. Puasa kaffārah karena melanggar sumpah atau lainnya.
  4. Puasa di dalam haji sebagai ganti dari fidyah.
  5. Untuk mengqadhā’ puasa Ramadhān yang ditinggalkan.
  6. Di waktu akan mengerjakan shalat Istisqā’, apabila Imām/Ulil-Amri memerintahkan untuk berpuasa.

2. Sunnah.

Contoh puasa sunnah adalah: puasa hari ‘Arafah, puasa Senin-Kamis dan lain-lain.

3. Makruh.

Berpuasa pada hari Jum‘at atau Sabtu saja tanpa disambung dengan hari sebelum atau sesudahnya hukumnya makruh. Demikian juga puasa dahr (puasa setiap hari) apabila akan melalaikan kewajibannya.

4. Haram tetapi sah Puasanya.

Yaitu puasa seorang istri tanpa seidzin suami.

5. Haram dan tidak Sah Puasanya.

  1. Berpuasa pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa maka hukum puasanya haram dan tidak sah. Adapun hari yang diharamkan tersebut adalah:
  1. Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri (1 Syawwāl)/ ‘Īd-ul-Adhḥā (10 Dzul-Ḥijjah).
  2. Hari Syakk (30 Sya‘bān apabila sebagian orang mengatakan telah melihat bulan sabit di bulan Ramadhān, namun yang diberi berita masih ragu, dan tidak ada pernyataan dari pemerintah).
  3. Hari Tasyrīq (tanggal 11, 12, 13 bulan Dzul-Ḥijjah).
  1. Bagi wanita yang sedang haidh atau nifas.
  2. Puasa sunnah tanggal 16-30 Sya‘bān, kecuali apabila disambung dengan hari sebelum hari 16, atau menjadi kebiasaannya seperti puasa Senin Kamis. Begitu pula jika puasa wajib, maka tidak haram.

C. Keistimewaan Ibadah Puasa.

Ibadah puasa adalah rukun Islam yang keempat, dan merupakan ibadah yang murni untuk Allah, karena ibadah lainnya seperti shalat, shadaqah, sujud dan lain-lain juga dilakukan oleh orang kafir, seperti shalatnya orang Nasrani atau sujudnya orang yang menyembah patung dan shadaqah karena patung. Akan tetapi ibadah puasa tidak dilakukan kecuali untuk Allah s.w.t., oleh karenanya Allah berfirman di dalam hadits qudsinya yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): قَالَ اللهُ تَعَالَى: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَ أَنَا أَجْزَى بِهِ. (متفق عليه)

Yang artinya:

“Dari Abū Hurairah r.a. berkata: Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: Allah s.w.t. berfirman: “Semua amal anak Ādam untuk dirinya kecuali ibadah puasa, maka sesungguhnya dia adalah untuk-Ku dan Aku akan memberi imbalan karenanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Ayat dan hadits yang menerangkan tentang keitstimewaan ibadah puasa cukup banyak, di antaranya:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: 39)

Yang artinya:

Sesungguhnya diberikan pahala bagi orang yang sabar tanpa hitungan.” (az-Zumar: 39).

Menurut sebagian ahli tafsir, yang dimaksud dengan ash-Shābirīn di dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berpuasa. Bersabda Rasūlullāh s.a.w.:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ؟ فَيَقُوْمُوْنَ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. (متفق عليه)

Yang artinya:

Sesungguhnya di dalam surga ada suatu pintu yang dinamakan ar-Rayyān masuk ke dalamnya orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak masuk ke dalamnya selain mereka. Maka dikatakan “di mana orang-orang yang berpuasa?” Maka bangkitlah mereka, tidak masuk ke dalamnya seorangpun kecuali mereka, dan setelah mereka masuk ditutuplah pintu tersebut. Sehingga tidak masuk ke dalamnya seorangpun.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda di dalam haditsnya yang lain, yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيْ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلَّا بَاعَدَهُ اللهُ بِذلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا. (متفق عليه)

Yang artinya:

Tidak seorangpun dari hamba Allah yang berpuasa satu hari karena Allah, kecuali dijauhkan karenanya oleh Allah dirinya dari api neraka dengan jarak perjalanan tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih).

D. Hikmah Ibadah Puasa.

Allah s.w.t. tidak menggariskan suatu hukum atau suatu syariat kecuali pasti mengandung hikmah yang kembali kepada kita dengan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, baik sudah diketahui oleh manusia atau belum.

Begitu pula ibadah puasa, tidak lepas dari hikmah-hikmah yang sangat berarti bagi kita. Di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Ibadah puasa membersihkan jiwa kita dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, serta melatihnya untuk melaksanakan semua ibadah dengan sempurna, walaupun yang demikian itu mengharuskannya meninggalkan kemauan-kemauan hawa-nafsunya. Karena kalau dia mau, bisa saja seorang yang berpuasa makan, minum dan berjima‘ tanpa diketahui seorangpun, akan tetapi dia tinggalkan itu semua, demi mendapatkan ridha Allah s.w.t.
  2. Ibadah puasa melatih jiwa kita untuk selalu mengedepankan ridha Allah s.w.t. dan melatihnya untuk bersabar, di mana kita mempunyai keinginan-keinginan yang timbul dari hawa-nafsu, akan tetapi kita bersabar untuk mengekangnya, sehingga dengan kesabaran, kita mengekang hawa-nafsu dengan berpuasa akan bermanfaat untuk kebersihan hati kita. Oleh karenanya Baginda Rasūl s.a.w. bersabda:

صُوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحْرَ الصُّدُوْرِ. (رواه البزار)

Artinya:

Berpuasa pada bulan kesabaran (bulan Ramadhān) dan tiga hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15) dapat menghilangkan penyakit hati.” (HR. al-Bazzār).

  1. Ibadah puasa dapat meredam nafsu seks manusia, sebagaimana sabda Rasūl s.a.w.:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرَجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)

Artinya:

Wahai para pemuda, barang siapa mampu di antara kalian untuk menikah, maka menikahlah karena nikah itu dapat lebih memejamkan mata dan menjaga kemaluan seseorang. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu dapat meredamnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).

  1. Ibadah puasa melatih kita untuk selalu bersyukur akan nikmat-nikmat Allah s.w.t. karena biasanya seseorang akan mensyukuri suatu nikmat setelah tiada. Begitu pula orang yang berpuasa, ketika berpuasa seakan dia orang yang tidak punya, dan tatkala berbuka seakan dia orang yang kaya, sehingga akan kita dengar orang yang berpuasa ketika berbuka mengucapkan kalimat Alḥamdulillāh dari lubuk hatinya sebagai tanda syukurnya, yang mana hal itu jarang kita rasakan tatkala seseorang tidak berpuasa.
  2. Ibadah puasa memberitahu kita penderitaan orang-orang miskin, di mana kita diperintahkan untuk berpuasa dalam waktu-waktu tertentu, untuk ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang-orang miskin yang hampir setiap hari mereka merasakan hal itu, sehingga timbul rasa iba kita untuk membantu mereka. Oleh karenanya Rasūlullāh s.a.w. lebih dermawan ketika Ramadhān, karena merasakan sendiri bagaimana penderitaan orang yang tidak punya.
  3. Ibadah puasa menjaga kesehatan badan kita, di mana ilmu kedokteran membuktikan bahwa di dalam perut kita ada baksil-baksil yang tidak akan mati kecuali dengan puasa, sehingga setelah berpuasa sebulan akan mati semua baksil dan tahan sampai tahun berikutnya.
  4. Ibadah puasa bulan Ramadhān adalah merupakan kesempatan emas untuk umat Rasūlullāh s.a.w. dalam mengumpulkan banyak pahala, di mana pada bulan itu terdapat lailat-ul-qadar, di mana Allah menggambarkan dalam al-Qur’ān, satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah s.w.t.:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (الْقدر: 3).

Yang artinya:

Dan lailat-ul-qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (al-Qadr: 3).

Dan juga dengan ibadah puasa tersebut kita dapat meleburkan dosa sebagaimana sabda Rasūl s.a.w.:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبَهِ. (متفق عليه)

Yang artinya:

Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhān karena iman dan mengharapkan pahala Allah semata, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Pada bulan itu juga terdapat shalat Tarawih yang juga dapat meleburkan dosa-dosa kita, sebagaimana sabda Rasūl s.a.w.:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه)

Yang artinya:

Barang siapa melaksanakan shalat Tarawih karena iman dan mengharapkan pahala Allah semata, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Pada bulan itu juga semua kebaikan akan dilipat-gandakan oleh Allah s.w.t. Pekerjaan sunnahnya akan dihitung oleh Allah sebagai pekerjaan fardhu. Dan banyak lagi hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, maka beruntunglah mereka yang menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

E. Bentuk Awal Kewajiban Puasa Ramadhān

Sebagaimana diketahui, bahwa kebanyakan syariat agama Islam diwajibkan setelah hijrahnya Rasūl s.a.w. ke kota Madīnah, dan tidak disyariatkan suatu syariat di kota Makkah kecuali shalat. Karena di kota Makkah, tahapan yang terjadi adalah tahapan penanaman akidah tauhid dalam hati mereka, dan menjauhkan ajaran-ajaran jahiliyyah. Adapun setelah hijrah, kaum muslimin sudah berjumlah banyak, berkekuatan dan mempunyai kedaulatan tersendiri untuk melakukan segala aktifitas agama dengan bebas. Oleh karena itu umumnya semua syariat ditetapkan di kota Madīnah.

Dan itupun melalui beberapa tahapan, tidak langsung. Seperti ibadah puasa ini melalui dua tahapan. Tahapan pertama, adalah tahapan bebas memilih. Yaitu, ibadah puasa bagi setiap orang, bebas memilih antara dua pilihan. Yaitu, antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah (memberi makan satu orang miskin). Jadi boleh puasa dan boleh tidak asalkan membayar fidyah.

Sedangkan tahapan kedua, adalah tahapan mewajibkan. Yaitu, wajib atas semua orang muslim untuk berpuasa, kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk melaksanakannya karena usianya sudah tua atau sakit parah yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa, maka cukup membayar fidyah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *