BAB I
Defenisi puasa adalah menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar shādiq sampai terbenamnya matahari disertai dengan niat untuk berpuasa.
Contoh puasa sunnah adalah: puasa hari ‘Arafah, puasa Senin-Kamis dan lain-lain.
Berpuasa pada hari Jum‘at atau Sabtu saja tanpa disambung dengan hari sebelum atau sesudahnya hukumnya makruh. Demikian juga puasa dahr (puasa setiap hari) apabila akan melalaikan kewajibannya.
Yaitu puasa seorang istri tanpa seidzin suami.
Ibadah puasa adalah rukun Islam yang keempat, dan merupakan ibadah yang murni untuk Allah, karena ibadah lainnya seperti shalat, shadaqah, sujud dan lain-lain juga dilakukan oleh orang kafir, seperti shalatnya orang Nasrani atau sujudnya orang yang menyembah patung dan shadaqah karena patung. Akan tetapi ibadah puasa tidak dilakukan kecuali untuk Allah s.w.t., oleh karenanya Allah berfirman di dalam hadits qudsinya yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): قَالَ اللهُ تَعَالَى: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَ أَنَا أَجْزَى بِهِ. (متفق عليه)
Yang artinya:
“Dari Abū Hurairah r.a. berkata: Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: Allah s.w.t. berfirman: “Semua amal anak Ādam untuk dirinya kecuali ibadah puasa, maka sesungguhnya dia adalah untuk-Ku dan Aku akan memberi imbalan karenanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Ayat dan hadits yang menerangkan tentang keitstimewaan ibadah puasa cukup banyak, di antaranya:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: 39)
Yang artinya:
“Sesungguhnya diberikan pahala bagi orang yang sabar tanpa hitungan.” (az-Zumar: 39).
Menurut sebagian ahli tafsir, yang dimaksud dengan ash-Shābirīn di dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berpuasa. Bersabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ؟ فَيَقُوْمُوْنَ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. (متفق عليه)
Yang artinya:
“Sesungguhnya di dalam surga ada suatu pintu yang dinamakan ar-Rayyān masuk ke dalamnya orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak masuk ke dalamnya selain mereka. Maka dikatakan “di mana orang-orang yang berpuasa?” Maka bangkitlah mereka, tidak masuk ke dalamnya seorangpun kecuali mereka, dan setelah mereka masuk ditutuplah pintu tersebut. Sehingga tidak masuk ke dalamnya seorangpun.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda di dalam haditsnya yang lain, yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيْ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلَّا بَاعَدَهُ اللهُ بِذلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا. (متفق عليه)
Yang artinya:
“Tidak seorangpun dari hamba Allah yang berpuasa satu hari karena Allah, kecuali dijauhkan karenanya oleh Allah dirinya dari api neraka dengan jarak perjalanan tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Allah s.w.t. tidak menggariskan suatu hukum atau suatu syariat kecuali pasti mengandung hikmah yang kembali kepada kita dengan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, baik sudah diketahui oleh manusia atau belum.
Begitu pula ibadah puasa, tidak lepas dari hikmah-hikmah yang sangat berarti bagi kita. Di antaranya adalah sebagai berikut:
صُوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحْرَ الصُّدُوْرِ. (رواه البزار)
Artinya:
“Berpuasa pada bulan kesabaran (bulan Ramadhān) dan tiga hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15) dapat menghilangkan penyakit hati.” (HR. al-Bazzār).
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرَجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)
Artinya:
“Wahai para pemuda, barang siapa mampu di antara kalian untuk menikah, maka menikahlah karena nikah itu dapat lebih memejamkan mata dan menjaga kemaluan seseorang. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu dapat meredamnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (الْقدر: 3).
Yang artinya:
“Dan lailat-ul-qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (al-Qadr: 3).
Dan juga dengan ibadah puasa tersebut kita dapat meleburkan dosa sebagaimana sabda Rasūl s.a.w.:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبَهِ. (متفق عليه)
Yang artinya:
“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhān karena iman dan mengharapkan pahala Allah semata, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Pada bulan itu juga terdapat shalat Tarawih yang juga dapat meleburkan dosa-dosa kita, sebagaimana sabda Rasūl s.a.w.:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه)
Yang artinya:
“Barang siapa melaksanakan shalat Tarawih karena iman dan mengharapkan pahala Allah semata, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Pada bulan itu juga semua kebaikan akan dilipat-gandakan oleh Allah s.w.t. Pekerjaan sunnahnya akan dihitung oleh Allah sebagai pekerjaan fardhu. Dan banyak lagi hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, maka beruntunglah mereka yang menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Sebagaimana diketahui, bahwa kebanyakan syariat agama Islam diwajibkan setelah hijrahnya Rasūl s.a.w. ke kota Madīnah, dan tidak disyariatkan suatu syariat di kota Makkah kecuali shalat. Karena di kota Makkah, tahapan yang terjadi adalah tahapan penanaman akidah tauhid dalam hati mereka, dan menjauhkan ajaran-ajaran jahiliyyah. Adapun setelah hijrah, kaum muslimin sudah berjumlah banyak, berkekuatan dan mempunyai kedaulatan tersendiri untuk melakukan segala aktifitas agama dengan bebas. Oleh karena itu umumnya semua syariat ditetapkan di kota Madīnah.
Dan itupun melalui beberapa tahapan, tidak langsung. Seperti ibadah puasa ini melalui dua tahapan. Tahapan pertama, adalah tahapan bebas memilih. Yaitu, ibadah puasa bagi setiap orang, bebas memilih antara dua pilihan. Yaitu, antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah (memberi makan satu orang miskin). Jadi boleh puasa dan boleh tidak asalkan membayar fidyah.
Sedangkan tahapan kedua, adalah tahapan mewajibkan. Yaitu, wajib atas semua orang muslim untuk berpuasa, kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk melaksanakannya karena usianya sudah tua atau sakit parah yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa, maka cukup membayar fidyah.