1.
Poin penting pemaknaan puasa adalah bahwa dengan berpuasa seorang telah melakukan sebuah tindakan mengakrabi Allah s.w.t. Hal ini dapat kita lihat dalam sebuah hadits qudsi yang populer di mana Allah s.w.t. menyebut dengan gamblang bahwa ‘amal puasa yang dilakuan seorang Mu’min adalah untuk-Nya, bukan untuk yang lain. Allah s.w.t. berfirman:
“Bagi mereka sendirilah ‘amal yang dikerjakan anak cucu Adam, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Dan Aku sendirilah yang akan memberi balasannya.” (Hadits Qudsi, riwayat Abū Hurairah).
Dalam kitab Madārij-us-Sālikīn dikisahkan seorang sufi Abū Yazīd al-Busthāmī bermunajat kepada Allah: “Ya Allah bagaimanakah caranya berjalan menuju ke hadirat-Mu?” Saat itu terdengar bisikan menyusup ke jiwanya: “Ketahuilah bahwa nafsu adalah gunung yang tinggi dan besar. Dialah yang menghalangi perjalananmu menuju Allah, tidak ada jalan lain untuk sampai pada Allah kecuali melewati gunung itu terlebih dahulu.”
Nafsu adalah penghalang bagi seorang hamba untuk mencapai Tuhannya. Hal ini telah ditegaskan Rasūlullāh s.a.w. saat perang Badar usai. Perang yang dirasa sahabat paling hebat yang pernah mereka alami ternyata belum apa-apa dibanding perang melawan hawa-nafsu.
Konteks jihad melawan hawa-nafsu yang diisyaratkan Rasūlullāh s.a.w. dapat kita temui di dalam ‘amaliah puasa. Pengekangan jasmani manusia dari makan, minum, dan berhubungan seksual tak lain bertujuan agar manusia dapat menjalin hubungan akrab dengan Allah s.w.t. Hal inilah yang kemudian membawa kita pada konsep taqwa, yakni satu keadaan di mana seorang Muslim mengerti bagaimana seharusnya bersikap kepada Allah s.w.t. agar Dia senantiasa menyayangi kita dan tidak murka.
Untuk sampai ke derajat taqwa, puasa diperlukan sebagai latihan. Puasa akan mengasuh kemampuan seorang Muslim dalam mengendalikan nafsu seraya memberi nutrisi bagi rohaninya. Manusia memang dikaruniai nafsu hewani, namun di luar itu, manusia juga tercipta dari cahaya Tuhan (Nūr Ilāhī). Makan, minum, dan berhubungan seksual adalah pemenuhan bagi nafsu hewani seorang manusia. Kebutuhan ini adalah kebutuhan primer karena kelangsungan hidup manusia tergantung dari pemenuhan ini. Namun terkadang kemudian kebutuhan ini dipenuhi secara berlebihan yang mengakibatkan seseorang terlalu gemar hingga lupa daratan, akibatnya Nūr Ilāhī dalam dirinya tertutupi. Untuk itu, maka puasa diperlukan untuk melatih seorang untuk mengendalikan hawa-nafsunya. Jika seseorang dapat mengendalikan nafsunya, niscaya Nūr Ilāhī dalam dirinya akan berkilau.
Seseorang yang berhasil mengendalikan hawa-nafsunya dan sukses pula memunculkan Nūr Ilāhī dalam dirinya akan membawanya pada keakraban dengan Allah s.w.t. Keakraban yang dimaksud tidak bersifat temporer atau hanya berlangsung di bulan Ramadhān saja. Buah latihan puasa Ramadhān akan dinikmati di bulan-bulan lain dan sepanjang hidup seseorang. Jika taqwa sudah diraih, maka tak ada halangan lagi bagi seorang Muslim menuju ke hadirat Allah s.w.t.
Selain mengakrabi Allah s.w.t., puasa juga terkait penyucian jiwa. Tak ada satu orang pun yang menolak hal ini. Rasūlullāh s.a.w. sendiri bersabda bahwa puasa adalah amanat, dan hendaklah setiap orang menjaga amanatnya itu. Puasa dilakukan tak hanya menyertakan fisik tapi juga batin yang berada dalam kejernihan dan menuju ke kesuciannya.
Pesan penting puasa yang menyertakan batin di dalamnya inilah yang kemudian membuat terang makna ayat ayat ke 183 surah al-Baqarah [2] yang sudah sering kita dengar:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 183).
Puasa adalah sarana menuju taqwa, suatu kondisi tertinggi dari penyucian jiwa. Sehingga dapat dikatakan jika orang sudah berpuasa tapi perilaku dan gerak hatinya tak mencerminkan ketaqwaan maka ia dapat dikatakan belum berpuasa. Taqwa menurut al-Ghazālī memiliki jalan tersendiri, dan puasa adalah salah satu jalan meraih taqwa itu. Taqwa adalah cermin nyata cahaya al-Qur’ān dan Hadits yang mengajarkan porsi utuh tentang tanggung-jawab manusia secara pribadi maupun sosial.
Karenanya, taqwa menuntut tanggunjawab mengerjakan ‘amal-‘amal sosial (fardhu kifāyah). Amalan ini tak dapat dipisahkan dari amalan fardhu dan sunnah pribadi. Inilah jalan ibadah untuk mencapai maqām iḥsān (kedudukan mulia), yakni selalu mengerjakan segala perbuatan yang baik dan menghindari kemaksiatan.
Puasa, ketaqwaan, serta kesabaran mengendalikan nafsu, semuanya bermuara pada hati. Maka mengamalkan puasa berarti menyambut sebuah pengembaraan penting bagi setiap hati. Menuju kesuciannya dan menuju ridha Allah s.w.t., Sang Pencipta tiap-tiap hati.
Siapa saja yang menyelesaikan ibadah wajib di bulan Ramadhān atau senantiasa membiasakan diri mengamalkan puasa sunnah di luar puasa Ramadhān berarti memenangkan dirinya, kesucian kemanusiannya, serta menjadi dekat dengan Allah s.w.t. Seorang Muslim yang selesai menjalankan puasa dengan makna terdalamnya akan lahir kembali dan menjadi Muslim yang gagah, bernilai, serta memiliki kekuatan untuk hidup sesuai kehendak Allah s.w.t.
Berpuasa akan memberikan siraman wewangian kepada jiwa manusia yang keharumannya dapat dicium setiap saat. Puasa memberikan sumber energi yang dapat bermanfaat dalam keseharian kita.
Menurut al-Ghazālī, manusia tak dapat melindungi benteng jiwanya dari serangan musuh kecuali dengan mengetahui serta menutup setiap celah dan pintu-pintu benteng itu. Orang yang tidak mengetahui keadaan benteng jiwanya tidak akan mungkin dapat menjaganya.
Melindungi hati dari bisikan syaithan adalah sebuah kewajiban, bahkan fardhu ‘ain bagi setiap hamba yang mukallaf. Pintu-pintu masuk syaithan tak lain adalah sifat-sifat manusia sendiri yang berjumlah banyak. Di sinilah puasa berperan, sebab pintu-pintu masuk syaithan dalam diri beberapa di antaranya dapat dicegah lewat puasa. Al-Ghazālī, sebagaimana dijelaskan Sa‘īd Ḥawwā’ dalam Tazkiyat-un-Nafs, menyebut ada beberapa pintu besar tempat masuk syaithan, di mana salah satunya adalah marah, syahwat, tamak, dan kenyang.
Kemarahan adalah poin pertama pintu masuk syaithan. Ketidakmampuan mengendalikan ammarah adalah tanda kelemahan akal dan kegagalan dalam mengendalikan diri. Hal ini adalah bencana bagi jiwa. Apabila manusia marah, maka syaithan akan mempermainkannya seperti halnya anak kecil mempermainkan bola.
Demikian juga dengan syahwat. Keadaan syahwat yang butuh pelampiasan dan “ledakan” seperti halnya ammarah jika gagal dikendalikan oleh akal yang salim (sempurna) akan menuai bencana pula. Syahwat yang tak hanya bersifat batin tapi juga materi ini hanya akan membuat manusia gelap mata dan tak mendengarkan lagi kebaikan-kebaikan dalam dirinya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Cinta kepada sesuatu membuatmu buta dan tuli.” (HR. Imām Tirmidzī).
Hasrat terhadap harta, lawan jenis, serta kedudukan yang lazim ada pada setiap manusia pada level buruknya akan melahirkan ketamakan dan kedengkian. Dua hal ini adalah pintu masuk syaithan yang besar. Ketamakan akan membuat orang menjadi zhalim dan kedengkian adalah pintu bagi manusia melakukan apa pun – sekalipun itu dosa yang nyata – guna mewujudkan ambisinya. Jika seseorang mendapatkan uang seratus juta, maka ia aka merasa memerlukan uang dalam jumlah yang sama lagi untuk memuaskan hasratnya, demikian seterusnya.
Kenyang dengan makanan adalah pintu besar berikutnya. Makan yang kenyang – sekalipun makanan itu halal – dapat menguatkan berbagai syahwat yang akan mempersilahkan syaithan untuk masuk menyerang jiwa.
Ada enam sifat tercela yang mengikuti manusia jika banyak makan. Pertama, menghilangkan rasa takut kepada Allah s.w.t. dari dalam hatinya. Kedua, menghilangkan rasa-sayang terhadap sesama makhluk dari dalam hatinya karena ia mengira bahwa mereka semua kenyang. Ketiga, menjadikan malas melakukan ketaatan. Keempat, ia menjadi tidak tanggap apabila mendengar perkataan hikmah. Kelima, apabila menyampaikan pesan atau hikmah maka penyampaiannya tidak menyentuh hati banyak orang. Keenam, menimbulkan banyak penyakit.
Dengan berpuasa, pintu-pintu syaithan akan dapat kita meminimalisasi. Menahan diri untuk tidak makan berlebihan akan membawa manusia mampu menahan ammarah dan syahwatnya. Begitu pun jiwa akan lebih nyaman dan tenang dalam beribadah karena tak terlalu banyak makanan yang mengendah dalam lambung. Sebagai contoh, mungkin kita dapat melihat orang-orang shalih. Walaupun mereka berbadan kecil, tapi mereka memancarkan aura keteduhan dan ketenangan karena mereka selalu menjaga puasa yang membuat jiwa mereka sangat stabil dan bersahaja. Puasa yang mereka lakukan juga membuat syaithan menjauh dari mereka.