Ādam dan Ḥawwā’, sebagai suami istri, sebagai manusia pertama, dan sebagai nenek-moyang kita, hidup rukun bersama. Tiap kali melahirkan, Siti Ḥawwā’ selalu beranak kembar yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sampai sepuluh kali. Pada kehamilan yang kesebelas yakni yang terakhir, Siti Ḥawwā’ hanya melahirkan satu anak laki-laki yang diberi nama Syīts, yang kemudian menjadi Nabi. Dengan demikian, anak-anak mereka berjumlah dua puluh satu, terdiri atas sepuluh perempuan dan sebelas laki-laki.
Di bawah asuhan ayah ibunya yang penuh cinta kasih, tumbuhlah anak-anak mereka dengan cepatnya. Nabi Ādam dan Ḥawwā’ tidak membeda-bedakan kasih sayang di antara anak-anaknya. Ketika menginjak usia dewasa, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Ādam agar mengawinkan putra-putrinya. Qābīl dikawinkan dengan adiknya Hābīl yang bernama Labuda. Sedang Hābīl dikawinkan dengan adiknya Qābīl yang bernama Iqlima. Inilah syarat yang telah ditentukan Allah. Cara ini disampaikan Nabi Ādam kepada putera-puterinya. Namun Qābīl menolak mentah-mentah. Ia tidak mau dikawinkan dengan Labuda yang berwajah tidak secantik adiknya sendiri yaitu Iqlima.
Ini adalah perselisihan pertama kali yang melahirkan permusuhan dan pertumpahan darah. Ini adalah bukti kebenaran firman Allah s.w.t. ketika Ādam terusir dari surga bahwa akan terjadi perselisihan dan permusuhan di antara anak-cucu Ādam. Rupanya Qābīl telah termakan bujukan Iblīs, ia lebih memperturutkan hawa nafsu daripada akalnya. Ia tidak mau menerima syariat yang ditetapkan Nabi Ādam.
Nabi Ādam adalah ayah yang bijaksana. Ia terus menasehati Qābīl agar menerima keputusan yang berasal dari Allah, namun Qābīl tetap menolak. Akhirnya Ādam memerintahkan kepada Qābīl dan Hābīl mempersembahkan qurban. Biarlah Allah sendiri yang akan menentukan masalah itu. Maka dengan disaksikan seluruh anggota keluarga Ādam, Qābīl dan Hābīl mempersembahkan qurban di atas bukit. Qābīl mempersembahkan hasil pertaniannya. Ia sengaja memilih hasil gandum dari jenis yang jelek. Sedang Hābīl mempersembahkan seekor kambing terbaik dan yang paling ia sayangi. Dengan berdebar-debar mereka menyaksikan dari jauh. Tak lama kemudian nampak api besar menyambar kambing persembahan Hābīl. Sedangkan gandum persembahan Qābīl tetap utuh, berati qurbannya tidak diterima.
Qābīl sangat kecewa melihat kenyataan itu. Ia terpaksa menerimanya. Maka berlangsunglah perkawinan itu. Qābīl dengan Labuda, Hābīl dengan Iqlima. Hari-hari berlalu. Iblīs datang merasuki pikiran Qābīl. Ia membisikkan sesuatu. Bahwa jika Qābīl dapat membunuh Hābīl tentulah ia akan dapat mengawini Iqlima yang cantik jelita. Hal ini terus menerus dilakukan oleh Iblīs tanpa jemu dan bosan.
Pada dasarnya nafsu Qābīl memang ingin memilik Iqlima, maka ia turuti bisikan Iblīs itu. Pada suatu hari, ketika Hābīl mengembalakan ternaknya di tempat yang sepi. Jauh dari pemukiman Nabi Ādam dan Ḥawwā’, tiba-tiba tanpa setahu Hābīl saudaranya itu memukul kepalanya dengan keras sekali. Maka matilah Hābīl. Inilah pembunuhan pertama atas ummat manusia di bumi. Iblīs tertawa kesenangan, ia sudah mempunyai teman. Allah s.w.t. menceritakan hal ini dalam al-Qur’ān:
وَ اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَ لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ. لَئِنْ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِيْ مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ تَبُوْءَ بِإِثْمِيْ وَ إِثْمِكَ فَتَكُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَ ذلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ. فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيْهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
Artinya:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Ādam (Hābil dan Qābil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Hābil) dan tidak diterima dari yang lain (Qābil). Ia berkata (Qābil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Hābīl: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa.” “Sesungguhnya kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.” “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” Maka hawa nafsu Qābil menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (QS. al-Mā’idah: 27-30).
Setelah Hābīl mati, Qābīl merasa kebingungan. Diguncang-guncangkan tubuh saudaranya itu, tentu saja tak mau bergerak. Lalu ia bawa ke sana ke mari. Ia benar-benar kacau, tak tahu harus dikemanakan mayat saudaranya itu. Ia merasa menyesal, air matanya berlinangan.
Pada saat Qābīl kebingungan, Allah memberikan ilham melalui burung gagak. Ada dua ekor burung gagak yang berebut hendak mematuk mayat Hābīl. Burung gagak itu bertarung. Salah seekor tewas dalam pertarungan itu. Lalu burung gagak yang masih hidup menggali tanah. Burung gagak yang mati ditarik ke dalam tanah dan ditimbuninya.
فَبَعَثَ اللهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِيْ سَوْءَةَ أَخِيْهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِيْنَ
Artinya:
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qābīl) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qābīl: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (QS. al-Mā’idah: 31).
Demikianlah riwayat Qābīl yang akhirnya dapat menguburkan mayat saudaranya, Hābīl. Dengan demikian, Qābīl menjadi orang pertama yang membunuh sesamanya, sedangkan Hābīl menjadi orang pertama yang terbunuh oleh sesamanya di muka bumi ini.
Nabi Ādam a.s. wafat dalam usia seribu tahun, dan setahun kemudian wafat pula istrinya (Ḥawwā’). Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Nabi Ādam a.s. dimakamkan di Makkah, berdekatan dengan makam istrinya. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī disebutkan: “Sesungguhnya Allah s.w.t. menciptakan Ādam pada hari Juma‘at, dan diturunkan ke bumi pada hari Juma‘at. Begitu pula ketika Nabi Ādam bertaubat kepada Allah setelah memakan buah terlarang pada hari Juma‘at; dan wafat pada hari Juma‘at pula.
3. Manusia tidak dapat luput dari salah dan lupa. Kita harus segera sadar dan bertaubat serta memohon ampun kepada Allah, bila melakukan dosa dan kesalahan.