01 Kisah Nabi Adam A.S. – Godaan Iblis dan Turunnya Adam ke Bumi – Kisah 25 Nabi & Rasul (2/3)

KISAH 25 NABI DAN RASŪL
Diserti Dalil-dalil al-Qur’ān
 
Penyusun: Mahfan, S.Pd.
Penerbit: SANDRO JAYA

Rangkaian Pos: 01 Kisah Nabi Adam A.S. - Kisah 25 Nabi & Rasul

Godaan Iblīs dan Turunnya Ādam ke Bumi.

Sejak pembangkangan Iblīs terhadap perintah Allah s.w.t. untuk bersujud kepada Ādam, Allah menetapkan bahwa Iblīs adalah musuh Ādam dan keturunannya. Iblīs pun berjanji hendak menjerumuskan Ādam dan keturunannya dalam kesesatan. Allah s.w.t. secara tegas mengingatkan kepada Ādam harus berhati-hati terhadap tipu-dayanya sehingga tidak tergoda dan terjerumus ke dalam kesesatan.

Iblīs telah bersumpah untuk menyesatkan Ādam dan keturunannya. Ia berdaya upaya agar Ādam terusir dari surga. Kebetulan pada saat itu Ādam dan Ḥawwa’ sedang merasa haus dan lapar. Iblīs datang sambil berkata. “Hai Ādam, tampaknya kau dan istrimu sedang lapar dan haus. Makanlah buah di hadapanmu itu. Lihat, warnanya begitu indah dan segar, baunya pun sangat harum tentu rasanya sangat lezat.” Ādam tahu, buah di hadapannya memang tampak lain daripada yang lain. Tapi buah itu adalah buah larangan. Iblīs membujuk Ḥawwa’, tapi Ḥawwa’ juga tak berani makan buah itu.

Iblīs kecewa dan merasa sakit hati. Tapi ia tidak putus asa. Pada suatu saat ia mendekati Ādam lagi. Kali ini ia berkata: “Mengapa Tuhan melarangmu makan buah ini? Tak lain agar kalian tidak jadi malaikat. sebab jika kalian makan buah itu kalian akan menjadi penghuni kekal di surga ini. Percayalah, aku adalah seorang teman yang memberi nasihat baik.” Pendirian Ādam tidak tergoyahkan. Ia tetap tak mau menuruti godaan Iblīs untuk makan buah Khuldi.

Pada suatu kesempatan Iblīs datang lagi. Ia memilih waktu tepat. Ādam dan Ḥawwa’ baru saja berjalan-jalan keliling surga. Mereka kelelahan. Saat itulah Iblīs berkata: “Hai Ādam, ketahuilah sebenarnya hanya golongan malaikat sajalah yang boleh makan buah itu. Sebab dengan makan buah itu para malaikat akan mengalami hidup kekal tanpa mengalami kematian.”

Ādam dan Ḥawwa’ mulai mendengar perkataan Iblīs. “Kami telah mendengar rahasia Allah sebelum kalian diciptakan,” Sambung Iblīs. “Bahwa kalian takkan hidup lama. Beberapa waktu lagi kalian akan dimatikan. Nah jika kalian ingin hidup kekal abadi di surga ini makanlah buah itu, rasanya sungguh lezat tak ada duanya di surga ini. Sungguh bodoh jika kalian tidak mau menerima nasihatku.”

Ādam dan Ḥawwā’ mulai tertarik. Iblīs meneruskan bujukannya. “Aku bersumpah di hadapan kalian. Demi Allah aku sebenarnya hanya memberi nasihat, karena aku merasa kasihan kepada kalian berdua. Larangan Tuhan itu tak lain adalah supaya kalian tidak bisa hidup kekal di surga ini.”

Ḥawwā’ yang terkena bujukan Iblīs itu berkata kepada Ādam. “Rupanya ia benar ucapan Iblīs itu. Ia telah bersumpah dengan nama Allah. Ḥawwa’ yang lemah hatinya kemudian menghampiri pohon buah Khuldi dan memetik buahnya. Pada saat itu Ādam dan Ḥawwā’ sedang merasa lelah, haus dan lapar. Terlebih setelah mendengar ucapan Iblīs bahwa buah khuldi itu rasanya paling lezat di surga. Keduanya pun lupa pada peringatan Allah. Keduanya lalu memakan buah itu. Rasanya memang lezat hingga keduanya lupa pada larangan Allah. Allah mencela perbuatan mereka dan berfiirman: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu, dan Aku katakan kepadamu; Sesungguhnya syaithan itu adalah musuhmu yang nyata.”

Allah s.w.t. menceritakan hal ini dalam al-Qur’ān, firman-Nya:

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُوْرِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْءَاتِهِمَا وَ قَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخَالِدِيْنَ. وَ قَاسَمَهُمَا إِنِّيْ لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ. فَدَلَّاهُمَا بِغُرُوْرٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءَاتُهُمَا وَ طَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَ نَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَ أَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَآنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ.

Artinya:

Maka syaithan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduannya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaithan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (syaithan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua,” maka syaithan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu; “Susungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS. al-A‘rāf: 20-22)

Ādam dan Ḥawwā’ sangat menyesal. Terlebih setelah memakan buah itu aurat mereka terbuka. Mereka berlarian ke sana ke mari sembari menutupi auratnya dengan dedaunan surga. Mereka sangat malu dan takut mendengar firman Allah.

Namun akhirnya Ādam dan Ḥawwā’ sadar bahwa mereka tak mungkin dapat menyembunyikan diri dari hadapan Allah Yang Maha Tahu. Ādam dan Ḥawwā’ pun meminta ampun kepada Allah:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَ إِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

Artinya:

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A‘rāf: 23)

Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun, taubat Ādam dan Ḥawwā’ diterima, keduanya diampuni Allah. Allah s.w.t. berfirman:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Artinya:

Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 37)

Tetapi atas kesalahan itu mereka harus keluar dari surga yang penuh dengan kenikmatan. Ini sudah sesuai dengan kehendak Allah yang memang menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, sebagai penghuni dan pengatur planet bumi. Allah s.w.t. berfirman:

قَالَ اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَ مَتَاعٌ إِلَى حِيْنٍ

Artinya:

Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.” (QS. al-A‘rāf: 24)

Demikianlah, Ādam dan Ḥawwā’ harus turun dari surga. Sewaktu diturunkan ke bumi keduanya berada di tempat yang terpisah jauh. Konon Ādam diturunkan di Tanah Hindia, sedang Ḥawwā’ di Tanah ‘Arab.

Di bumi mereka harus menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan kehidupan. Wajah bumi yanng belum tersentuh tangan manusia keadaannya sangat menyeramkan. Gunung-gunung menjulang tinggi, jurang-jurang terjal menganga lebar, pohon-pohon raksasa tumbuh berserakan, binatang-binatang buas baik yang besar maupun yang kecil berkeliaran di mana-mana. Untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin dan sengatan serangga, Ādam dan Ḥawwā’ memakai kulit binatang sebagai pakaiannya.

Selama bertahun-tahun keduanya saling mencari dan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan yang ditempuh sangat sukar dan penuh bahaya. Derita dan sengsara benar-benar mereka rasakan. Akhirnya mereka bertemu di Padang ARAFAH setelah saling mencari selama empat puluh tahun. Betapa terharunya Ādam melihat keadaan istrinya yang telah kepayahan. Sengsara menapak jalan yang sulit dan kejam. Mereka berpelukan, menangis penuh haru.

Kini mulailah babak baru bagi kehidupan cikal-bakal anak manusia. Ādam dan Ḥawwā’ tinggal di sebuah gua yang besar dan lebar. Gua itu terletak di dataran tinggi sehingga tak gampang diserang binatang buas. Dengan bekal yang telah diberi Allah, Ādam mulai mengelola alam di sekitarnya. Ia menjinakkan binatang untuk diternakkan, mengelola lahan pertanian dan perkebunan buah-buahan. Tantangan alam yang keras telah menggerakkan akal pikiran Ādam agar dapat mempertahankan kehidupan dengan keadaan yang lebih baik.

Apakah karena kesalahan Nabi Ādam sehingga seluruh ummat manusia harus menderita hidup di dunia? Bukan? Nabi Ādam memang diciptakan Allah sebagai khalifah atau pengelola bumi dan isinya. Hanya saja, setelah diciptakan Nabi Ādam ditempatkan di surga, setelah itu beliau harus ke tempat tujuan yaitu bumi.

Namun dari sini kita harus pandai-pandai dan waspada terhadap bujuk rayu Iblīs dan syaithan. Mereka akan berusaha dengan segala macam cara untuk menjerumuskan manusia ke lembah dosa. Salah satu jurus Iblīs yang paling ampuh untuk meruntuhkan iman manusia ialah menjadikan baik suatu perbuatan maksiat atau dosa dalam pandangan manusia. Padahal dosa adalah dosa, maksiat adalah maksiat, barang tetap haram itu sudah jelas, jika dilanggar berarti kita menuruti bujukan syaithan yang musuh nyata bagi semua ummat manusia. Bukan syaithannya yang nyata tapi ucapan dan perbuatan yang bertentangan dengan agama itulah yang nyata dan dapat dipahami oleh manusia agar dihindarinya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *