BAB I
مَسْئَلَةٌ إِذَا قِيْلَ لَكَ:
مَا الْإِيْمَانُ؟
فَالْجَوَابُ آمَنْتُ بِاللهِ وَ مَلَائِكَةِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ الْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى.
S: “Apabila ditanyakan kepada engkau: “Apakah Īmān itu?”.”
J: “Īmān adalah kepercayaan saya pada keberadaan Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, hari kiamat dan taqdīr-Nya, yang baik maupun yang buruk semuanya dari Allah ta‘ālā.”
Apabila engkau, orang mu’min ditanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hakikat Īmān yang berarti kepercayaan, maka anda harus menjawab dengan mengatakan: “Saya telah mempercayai dan mengakui adanya Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitabNya, para rasūl-Nya, hari kiamat dan taqdīr-Nya, yang baik maupun tidak baik.”
Jawaban seperti ini berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dari ‘Umar r.a. dari hadits malaikat Jibrīl dan juga berdasar hadits yang diriwayatkan Imām Bukhārī dari Abū Hurairah r.a.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ (ص) بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ مَلَائِكَتِهِ وَ بِلِقَائِهِ وَ بِرُسُلِهِ وَ تُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ.
“Bersumber dari Abū Hurairah r.a., ia berkata: “Pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w. berkumpul bersama orang banyak, tiba-tiba ada seorang lelaki menghadap pada beliau seraya bertanya: “Apakah Īmān itu?” Beliau menjawab: “Īmān ialah kepercayaan kepada Allah, malaikat-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasūl-Nya dan hari kebangkitan.” (HR. Bukhārī).
Pengertian hadits di atas ialah keharusan mempercayai keberadaan Allah dan sifat-sifatNya yang mesti dimiliki-Nya, mempercayai keberadaan malaikat-malaikatNya, yaitu hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mempercayai bahwa orang yang ber-īmān di akhirat nanti dapat melihat-Nya, mempercayai bahwa para rasūl Allah adalah orang-orang yang jujur dan benar, segala yang mereka beritakan berasal dari Allah s.w.t. dan mempercayai hari kebangkitan, yaitu kebangkitan orang-orang yang telah mati dari kubur mereka.
Sebagian ‘ulamā’ berkata: “Orang yang ketika kecil belajar mengatakan saya telah īmān kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasūl-Nya, hari kiamat dan kepada taqdīr-Nya yang baik dan tidak baik dan ia memberitahukan bahwa yang demikian itu adalah īmān, hanya saja ia tidak menjelaskannya dengan baik, maka orang tersebut belum dapat dihukumi ber-īmān.”
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat: “Īmān seseorang ketika dalam keadaan sekarat, saat melihat bakal tempatnya di surga atau di neraka itu tidak diterima, karena tidak melakukan apa yang diperintahkan secara ikhtiar dengan sadar, bukan karena terpaksa. Setiap hamba ketika menghadapi sakarat-ul-maut itu dilihatkan bakal tempatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w.:
عَنِ النَّبِيِّ (ص) أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ لَنْ يَمُوْتَ حَتَّى يَرَى مَوْضِعَهُ فِي الْجَنَّةِ أَوْ فِي النَّارِ.
“Bersumber dari Nabi s.a.w. bahwasanya beliau bersabda: “Sesungguhnya setiap hamba Allah itu tidak akan mati sebelum ia diperlihatkan tempatnya di surga atau di neraka.”
Masalah īmān pada waktu sakarat-ul-maut itu berbeda dengan masalah taubat, sebab taubat pada saat sakarat-ul-maut itu tiba masih dapat diterima jika sebelumnya ber-īmān berdasarkan hadits Nabi s.a.w.:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ (ر) أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) تُقْبَلُ تَوْبَةُ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.
“Bersumber dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Taubat hamba yang ber-īmān itu tetap diterima selama rūḥnya belum sampai di keronngkongannya.”
Perlu diketahui, bahwa īmān seseorang kepada Allah itu ada tiga (3) macam yaitu:
Īmān Taqlīdī, ialah mempercayai keesaan Allah s.w.t. dengan cara taqlīd (mengikuti) keterangan ‘ulamā’ tanpa mengerti dalil atau pembuktian. Īmān seperti ini rawan berubah akibat ulah orang-orang yang berusaha merusaknya.
Īmān Taḥqīqī ialah kemantapan hati pada keesaan Allah s.a.w., yang jika ditentang atau diusik oleh siapapun, maka tak berubah sedikit pun.
Īmān Istidlālī ialah īmān yang disertai bukti dari makhluk yang ada ini membuktikan adanya yang menciptakan, suatu bangunan menunjukkan adanya yang membangun, kotoran unta menunjukkan adanya unta, karena keberadaan sesuatu (akibat) tanpa sebab adanya pencipta adalah sesuatu yang tidak masuk akal (muḥāl).