Bab: Tayammum (2231).
105. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa boleh bertayammum dengan tanah yang suci ketika tidak ada air atau ketika takut menggunakannnya (2242). Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.: (فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا) “Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).
Para ahli bahasa mengatakan: “Tayammum adalah menyengaja. Kata ini diambil dari ucapan “Rumahku di depan (amama) rumah si fulan”, yakni di hadapannya.”
106. Mereka berbeda pendapat tentang tanah yang suci.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tayammum boleh dengan menggunakan segala jenis tanah meskipun yang tidak diproses, seperti kapur, kapur batu dan warangan (bahan mineral yang mengandung unsur arsenikum).”
Mālik menambahkan: “Tayammum juga boleh dengan menggunakan sesuatu yang menempel di tanah seperti tanaman.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Tayammum tidak boleh denggan selain tanah.” Pendapat inilah yang sesuai dengan perkataan para ahli bahasa. (2253).
107. Mereka sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya Tayammum.
Adapun sifat niat dalam Tayammum adalah berniat agar dapat menunaikan shalat fardhu, bukan untuk menghilangkan hadats. (2264).
108. Mereka sepakat bahwa benda yang tidak dapat diolah seperti besi, tembaga, dan timah tidak disebut tanah sehingga tidak boleh bertayammum dengannya. (2275).
109. Mereka sepakat bahwa Tayammum tidak bisa menghilangkan hadats secara terus-menerus. Apabila orang yang telah bertayammum melihat air sebelum masuk waktu shalat maka Tayammum-nya batal dan wajib menggunakan air. Seandainya Tayammum dapat menghilangkan hadats secara terus-menerus tentunya dia tidak wajib menggunakan air. (2286).
110. Mereka berbeda pendapat tentang kadar yang menjadikan Tayammum sah.
Abū Ḥanīfah berkata dalam riwayat yang terkenal darinya Tayammum dilakukan dengan dua kali pukulan, pukulan pertama untuk seluruh wajah dan pukulan kedua untuk kedua tangan sampai siku.
Ada beberapa riwayat yang berbeda dari Imām asy-Syāfi‘ī tentang hal ini. Dan Qaul Qadīm-nya dia berkata: “Tayammum ada dua kali pukulan. Pertama untuk wajah dan kedua untuk kedua telapak tangan.” Sedangkan dalam Qaul Jadīd-nya dia berkata: “Kadar yang menjadikan Tayammum sah adalah mengusap seluruh wajah dan mengusap kedua tangan sampai kedua siku dengan dua kali pukulan atau beberapa pukulan (ke tanah).”
Syaikh Abū Isḥāq berkata: “Pendapat inilah yang berlaku dalam madzhab Syāfi‘ī.”
Abū Ḥāmid al-Isfirāyinī (2297) membantah Qaul Qadīm dan tidak mengakuinya. Dia berkata: “Pendapat yang sesuai teks Imām asy-Syāfi‘ī (Manshūsh) (2308) adalah pendapat ini baik yang Qadīm (lama) maupun yang Jadīd (baru), sebagaimana madzhab Abū Ḥanīfah.”
Mālik – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – dan Aḥmad berkata: “Kadarnya adalah satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, di mana bagian dalam jari-jemari untuk wajah, sementara bagian dalam telapak tangan untuk kedua telapak tangannya. (2319).
Aku mengatakan (23210): Pendapat inilah yang paling tepat dan paling sesuai dengan kondisi musafir yang pakaiannya sempit sehingga sulit mengeluarkan lengannya dari dalam pakaiannya secara umum. Bagi orang yang bertayammum dengan dua kali pukulan hendaknya memindahkan pukulan kedua ke tempat yang tidak dipukul pada pukulan pertama, untuk menghindari dan sebagai sikap hati-hati barangkali ada tanah yang telah dipakainya yang jatuh ke tanah tersebut (yang dipukul pertama kali).
Mālik berkata (23311) dalam riwayat lain seperti perkataan Abū Ḥanīfah. Begitu pula Imām asy-Syāfi‘ī dalam riwayat yang terkenal dari keduanya.
Hendaknya orang yang bertayammum melepas cincin dari tangannya agar tidak menghalangi antara tanah dengan kulit jarinya.
111. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang bertayammum untuk shalat fardhu maka dia boleh menunaikan shalat fardhu tersebut lalu menunaikan shalat-shalat sunnah lalu meng-qadha’ shalat-shalat yang tertinggal sampai masuk waktu shalat lain. Kecuali Mālik dan asy-Syāfi‘ī yang mengatakan: “Dia hanya boleh menunaikan shalat fardhu dan shalat-shalat sunnah saja dan tidak boleh meng-qadha’ shalat-shalat yang tertinggal. Dia hanya boleh bertayammum untuk setiap satu kali shalat fardhu, karena seseorang tidak boleh menunaikan lebih dari satu shalat fardhu dengan satu Tayammum.” (23412).
112. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang bertayammum dengan niat shalat sunnah, apakah dia boleh menunaikan shalat fardhu dengannya?
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh menunaikan shalat fardhu dengan Tayammum tersebut. Begitu pula bila seseorang berniat melakukan Thaharah mutlak, dia tidak boleh menunaikan shalat fardhu dengannya.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia boleh menunaikan shalat fardhu dengan Tayammum tersebut dalam dua kondisi, dan dia juga boleh menunaikan dua shalat fardhu atau lebih dengan Tayammum tersebut.” (23513).
113. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang bertayammum karena kondisi cuaca yang sangat dingin (sehingga tidak bisa menggunakan air), baik ketika sedang menetap (muqim) maupun ketika sedang dalam perjalanan.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila orang sehat yang muqim atau musafir takut menggunakan air karena sakit atau orang yang sakit takut bertambah parah sakitnya bila menggunakan air, baik ketika muqim maupun ketika dalam perjalanan, maka dia boleh bertayammum dan shalat dengan Tayammum tersebut tidak perlu mengulanginya lagi.”
Mālik juga mengatakan demikian dengan menambahkan: “Apabila dia tidak takut dingin dan takut tidak akan mendapatkan waktu bila mencari air, maka dia boleh bertayammum dan shalat dengan Tayammum tersebut tidak perlu mengulanginya lagi, meskipun dia dalam kondisi menetap (muqīm).” Demikianlah menurut salah satu riwayat darinya.
Ada pula riwayat lain yang terkenal dari Mālik tentang wajibnya mengulangi shalat tersebut: “Apabila dia khawatir sakitnya bertambah parah dan tertunda kesembuhannya bila menggunakan air maka dia boleh bertayammum.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila seseorang bertayammum karena sakit sementara dia bisa mendapatkan air, karena dia khawatir bila menggunakan air akan menyebabkan sakitnya bertambah parah atau tertunda kesembuhannya, apakah dia boleh bertanyammum?”
Dalam hal ini ada dua pendapat Imām asy-Syāfi‘ī:
Pertama, dia tidak boleh bertayammum kecuali bila dia khawatir sakitnya bertambah parah bila menggunakan air.
Kedua, dia boleh bertayammum. Apabila orang yang sehat bertayammum karena dingin yang menusuk tulang lalu dia menunaikan shalat sementara posisinya sedang muqīm, maka dia wajib mengulangi shalatnya. Dalam hal ini hanya ada satu pendapat beliau. Sedangkan bila orang tersebut statusnya musafir, maka berkenaan dengan keharusan mengulang shalatnya ada dua pendapat darinya.
Aḥmad berkata: “Apabila orang muqim yang sehat bertayammum karena dingin yang menusuk tulang atau takut sakit lalu dia shalat, maka dia harus mengulangi shalatnya.”
Demikianlah menurut salah satu riwayat darinya. Sedangkan menurut periwayat lain dia berkata: “Dia tidak perlu mengulang shalatnya.”
Adapun bila dia seorang musafir atau sedang sakit maka dia boleh bertayammum lalu shalat dan tidak perlu mengulangi shalatnya. Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya. (23614).
114. Mereka sepakat bahwa orang yang terkena janabat boleh bertayammum sebagaimana orang yang terkena hadats juga boleh bertayammum, asalkan dengan syarat-syaratnya. (23715).
115. Mereka sepakat bahwa apabila musafir membawa air dan takut kehausan, maka dia boleh menggunakan air tersebut hanya untuk minum dan boleh bertayammum. (23816).
116. Mereka berbeda pendapat tentang berturut-turut dan tertib dalam Tayammum,
Abū Ḥanīfah berkata: “Keduanya tidak wajib.”
Mālik berkata: “Berturut-turut wajib tapi tertib tidak wajib.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tertib wajib hukumnya.”
Sedangkan tentang berturut-turut ada dua pendapat: Qaul Jadīd mengatakan bahwa ia tidak wajib dan hanya sunnah.
Aḥmad berkata: “Tertib wajib hukumnya.”
Sedangkan tentang berturut-turut ada dua riwayat darinya. Pertama, hukumnya wajib. Kedua, hukumnya sunnah. (23917).
117. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang mendapati waktu shalat tanpa menemukan air dan tanah.
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia tidak perlu shalat sampai menemukan air atau tanah.”
Sedangkan dari Mālik ada tiga riwayat. Pertama, seperti di atas. Kedua, dia shalat sesuai kondisinya dan harus mengulang bila dia mendapatkan air atau tanah. Ini adalah pendapat asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Jadīd-nya dan juga salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad, sedangkan Qaul Qadīm-nya adalah seperti madzhab Abū Ḥanīfah. Adapun menurut riwayat kedua dari Aḥmad, dia harus shalat dan tidak perlu mengulangnya. Inilah riwayat ketiga dari Mālik. (24018).
118. Mereka sepakat bahwa apabila orang yang terkena hadats bertayammum lalu menemukan air sebelum masuk waktu shalat maka Tayammum-nya batal dan wajib menggunakan air.
119. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang melihat air ketika sedang shalat.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Shalat dan Tayammum-nya batal.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Dia tetap meneruskan shalatnya dan hukumnya sah. Hanya asy-Syāfi‘ī mensyaratkan sahnya shalat dengan Tayammum ini bila pelakunya seorang musafir. (24119).
120. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang melihat air setelah selesai shalat maka dia tidak perlu mengulang shalatnya meskipun waktunya masih ada, bila dia seorang musafir yang sedang mengadakan perjalanan jauh yang mubah. (24220).
121. Mereka berbeda pendapat tentang mencari air, apakah ia syarat dalam Tayammum atau bukan?
Abū Ḥanīfah berkata: “Ia bukan syarat.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia merupakan syarat dalam Tayammum.”
Adapun dari Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat seperti dua madzhab di atas. (24321).
122. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang sebagian tubuhnya sehat sementara sebagian lain terluka.
Abū Ḥanīfah berkata: “Yang jadi acuan adalah yang paling banyak. Yang sehat bisa dibasuh sementara anggota yang luka tidak perlu dibasuh, hanya saja tetap disunnahkan mengusapnya. Apabila bagian yang sehat lebih sedikit, maka dia boleh bertayammum dan tidak perlu membasuh bagian lainnya (yang terluka).”
Mālik berkata: “Bagian yang sehat dibasuh, sementara bagian yang terluka cukup diusap dan tidak perlu bertayammum.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Bagian yang sehat dibasuh, sementara bagian yang terluka ditayammum.” (24422).
123. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang lupa menggunakan air dalam perjalanannya dan langsung bertayammum lalu shalat, lalu setelah itu dia teringat.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Dia tidak perlu mengulang shalatnya.”
Sedangkan dari Aḥmad ada dua riwayat tentang mengulangnya, sementara dari asy-Syāfi‘ī juga ada dua pendapat. (24523).
124. Mereka sepakat bahwa seseorang tidak boleh bertayammum untuk shalat dua Hari Raya (‘Īdain) dan shalat jenazah saat muqīm, meskipun dia takut ketinggalan dua shalat tersebut. Kecuali Abū Ḥanīfah yang membolehkannya saat muqīm. Begitu pula Mālik dalam shalat jenazah. (24624).
Catatan: