Bab: Mandi (2041).
92. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa wajib mandi bila dua khitan (kemaluan laki-laki dan perempuan) bertemu (terjadi persetubuhan). (2052).
Tata cara mandi: Membasuh (membersihkan) kotoran yang ada di tubuh, lalu membersihkan dubur (pantat) baik berak maupun tidak berak, kemudian berniat (dan tempat niat adalah di hati sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya) menunaikan mandi wajib karena janabat atau menghilangkan hadats besar, lalu menyebut Nama Allah s.w.t. dan berwudhu’ seperti wudhu’ shalat, kemudian menyiramkan air ke atas kepala dan seluruh tubuh. (2063).
Aku (al-Wazīr) mengatakan: Disunnahkan memakai kain sarung (yang menutupi separoh tubuh bagian bawah) saat mandi janabat dan diusahakan menjaganya agar tidak terkena kotoran. Apabila dia mengambil kain lain setelah menghilangkan kotoran maka itu lebih baik, karena orang beriman dilarang menampakkan auratnya meskipun dalam kondisi sepi. Apabila kondisinya terpaksa dan dia tidak menemukan kain sarung maka dia harus menutupi tubuhnya dengan apapun dan tidak boleh berdiri kecuali setelah memakai pakaiannya, lalu setelah itu hendaknya dia membasuh kedua kakinya seraya bergeser dari tempatnya. (2074).
Apabila seseorang hanya berniat dan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya dan kepalanya maka hukumnya sah menurut Aḥmad dan Abū Ḥanīfah setelah berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Bila dia tidak berkumur dan tidak menghirup air ke dalam hidung maka hukumnya sah menurut Mālik dan asy-Syāfi‘ī. Hanya saja Mālik mensyaratkan agar tubuhnya digosok menurut riwayat yang kuat darinya. (2085). Wallāhu a‘lam.
93. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang berbuat maksiat kepada Allah dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan binatang.
Mereka berkata: “Dia wajib mandi.” Kecuali Abū Ḥanīfah yang berkata: “Tidak wajib mandi kecuali bila spermanya keluar.” (2096).
94. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang sudah mandi janabat lalu keluar sperma setelah itu.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila spermanya keluar setelah kencing maka tidak perlu mandi lagi, sedangkan bila ia keluar sebelumnya maka harus mandi.”
Diriwayatkan pula pendapat yang sama dari Aḥmad.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia wajib mandi secara mutlak dengan keluarnya sperma.”
Diriwayatkan pula pendapat yang sama dari Mālik dan Aḥmad.
Mālik berkata: “Dia tidak perlu mandi secara mutlak,”
Diriwayatkan pula pendapat yang sama dari Aḥmad. (2107).
95. Mereka sepakat bahwa tidak wajib mandi dengan berpindahnya sperma (keluar tidak pada saat/waktunya). Kecuali Aḥmad yang mewajibkan mandi dengan berpindahnya sperma (keluarnya sperma setelah mandi janabat). (2118).
96. Mereka berbeda pendapat tentang kewajiban mandi bagi orang yang baru masuk Islam.
Mālik dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – berkata: “Hukumnya wajib.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya sunnah,”
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam al-Umm: “Apabila orang kafir musuk Islam, aku sangat menganjurkan agar dia mandi dan mencukur kepalanya.” (2129).
[……] (21310).
97. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa haidh (21411) mewajibkan mandi, begitu pula darah nifas. (21512). Adapun lahirnya anak, ia mewajibkan mandi menurut Mālik dan Aḥmad serta salah satu pendapat dari beberapa pendapat fuqahā’ Syāfi‘īyyah. (21613).
98. Mereka sepakat bahwa apabila sperma keluar dengan syahwat maka wajib mandi. (21714).
99. Mereka berbeda pendapat apabila sperma keluar tanpa syahwat.
Asy-Syāfi‘ī berkata “Wajib mandi.”
Sedangkan ulama lainnya berkata: “Tidak wajib mandi.” (21815).
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya najis, kecuali bila basah maka harus dicuci, sedangkan bila kering maka cukup digosok (dengan kain).”
Mālik berkata: “Hukumnya najis, jadi harus dicuci baik yang basah maupun yang kering.”
Perkataan Imām Mālik di atas menunjukkan bahwa membersihkan sperma dari kain setelah habis bermimpi hukumnya wajib. Pendapat ini disepakati dengan tetap menghukuminya sebagai najis.
Asy-Syāfi‘ī berkata “Hukumnya suci, baik basah maupun kering.”
Aḥmad berkata dalam salah satu dari dua riwayat darinya: “Hukumnya suci”, seperti pendapat Asy-Syāfi‘ī. Sedangkan dalam riwayat lain dia berkata: “Hukumnya najis”, seperti madzhab Abū Ḥanīfah, sehingga yang basah dicuci dan yang kering digosok. (21916).
101. Mereka sepakat bahwa madzi hukumnya najis. Kecuali menurut riwayat dari Aḥmad dalam sebagian riwayat bahwa hukumnya seperti sperma.
102. Mereka sepakat bahwa apabila madzi keluar maka penis harus dibersihkan lalu berwudhu’. Kecuali menurut salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad. Dia berkata: “Orang tersebut harus membersihkan penisnya dan buah pelirnya lalu berwudhu’.” (22017).
103. Mereka sepakat bahwa apabila keluar sesuatu yang jarang dari Qubul dan Dubur maka wajib berwudhu’, seperti madzi, darah haidh, beser, nanah, nanah campur darah, cacing dan batu empedu. Kecuali Mālik yang berkata: “Tidak wajib berwudhu’ kecuali bila yang keluar madzi. Bila yang keluar benda lain maka tidak wajib berwudhu’.” (22118).
104. Mereka sepakat bahwa seseorang tidak wajib berwudhu’ bila ia mengonsumsi makanan yang tersentuh api (dibakar dengan api dsb.) (22219).
Catatan: